Dentingan melodi bergema seantero ruang ini. Bersama
lilin putih, bersinar menembus kelam nya malam. Rintik air hujan
jatuh membasahi perih, seakan ia tau bahwa aku sendiri menyaga
sepiku yang tak berujung. Kini aku hanya bersama lilin, mengarungi
malam tanpa satu bintang bahkan satu cita yang membara cinta.
Bersama surat ini aku tertawa sekaligus menangis. Tertawa karena aku
tau hal ini konyol bagi aku sendiri dan mungkin bagi kita. Menangis
karena aku, sudah sangat jauh darimu. Hentikanlah.
Sekarang sudah malam, mana mungkin kau datang dan
membawakan aku segelas susu hangat. Mustahil. Tapi yakinlah satu
detikpun aku tak mau enyah jika aku berada disamping mu. Tapi
bagaimana? Kau sibuk dengan duniamu. Dan aku tak tau sibuk dengan
siapa? Percuma ada cinta, jika satu diantara pasangan itu terluka.
Percuma ada rasa, kalau saja menyambungkan jiwa saja tak mampu.
“Aku mau sendiri, biarkan aku menjaga rasa ini.”
Perasaan ini membunuh kita, mengubur kisah kita, dan …. Aghh !!
hentikanlah, jangan buat aku meneteskan air mata lagi. Ucapanmu itu
selalu terniang ditelingahku masuk ke hati dan meresap ke jiwa. “Kita
jalani hidup kita, dan berfikirlah jernih, dia tidak mungkin datang
lagi.” Aku muak denga pikirannya tentang cinta sejtai atau apalah.
“Dia tidak mungkin pergi begitu saja” Ingin rasanya menjawab bahwa
“Orang sudah mati tidak mungkin datang lagi.”
“Aku mengerti kamu, berdua akan jauh lebih baik kan?”
keraguannya muncul seketika ucapan itu terlontar. “Aku tidak tau?
Dan kurang yakin dengan perasaan ini?” cukup mau sampai kapan mau
begini. “Tapi…” ia memotong dan langsung “Tapi, aku harus pergi.
Maafkan aku Bino. Tapi aku harus pergi” pergi? Dia mau pergi ketika
semua waktu ku habis hanya untuk dia. “aghhhh!!!!!!!!!!!!!!!!”
Kenyataan terkadang pahit tapi rasa manis tidak akan
pernah terasa tanpa kita merasakan rasa pahit itu sendiri. Dan kini
aku melangkah menjalani waktu dengan sejengkal harapa dan segudang
impian menyatukan cinta yang telah hancur menjadi utuh lagi.