• PELUKIS Tanpa Lukisan

    By: Alief Nauval

     

    Agus dan Rini adalah sepasang suami istri yang mempunyai anak semata wayang, Andi. Andi bercita-cita menjadi pelukis. Entah dari mana keinginan itu datang, dia sangat ingin melukis untuk banyak orang. Tetapi, cita-cita itu tak disetujui oleh kedua orangtuanya.
    "Apa benar kamu ingin jadi pelukis, Di?" tanya Agus dan Rini.
    "Ya" jawab Andi polos.
    "Yang benar kamu?"
    "Ya ayah, ya ibu".
    Agus dan Rini terlihat heran dan agak terkejut mendengar hal itu. Mereka terdiam sejenak dan Agus mencoba menasehati anaknya, Andi.
    "Apakah kamu sudah yakin dengan cita-citamu itu, nak? Kamu harus berpikir panjang. Coba kamu bayangkan jika karya kamu sudah tak laku lagi di masyarakat, mau makan apa kamu nanti? Kami ini sayang sama kamu, nak! Kami hanya ingin yang terbaik untuk kamu, bercita-citalah setinggi-tingginya. Kalau bisa lebih sukses dari ayah dan ibu. Tidakkah kau berpikir untuk mempunyai pekerjaan yang lebih menjanjikan?" tanya Agus.
    "Saya sangat yakin dengan pilihan saya ini, yah," jawab Andi.
    "Kenapa? Apakah kamu tahu bagaimana nasib pelukis-pelukis di zaman sekarang ini? Ini sudah era globalisasi, banyak profesi-profesi lain yang lebih menjamin! Dokter, polisi, bahkan presiden? Tidakkah kau berpikir ke situ? Coba pikir lagi matang-matang!" sahut ayah kesal.
    "Tidak, pokoknya tetap pelukis," tegas Andi.
    Perasaan Agus mulai memanas, dia dan istrinya pun pergi ke kamar. Mereka mengalami perdebatan kecil disana.
    "Mas sih, terlalu memanjakan anak. Jadinya begini," kata Rini.
    "Salah lagi," jawab Agus pasrah.
    "Coba Mas tidak memanjakan Andi dari kecil dulu? Sekarang, dia tak bisa dinasehati dan tak patuh kepada kita," sahut Rini kesal.
    Agus terdiam dan tak lagi berkata-kata. Rini memang selalu menyalahkan suaminya, apapun masalahnya. Tetapi, Agus sudah kebal dengan kebiasaan istrinya itu.

    Berharap anak mereka akan mengurungkan niatnya, Agus dan Rini tak menyinggung tentang masalah tersebut kepada anaknya selama hampir 3 bulan.
    *****

    Tiga bulan kemudian...
    Minggu pagi yang cukup cerah, ketika Andi dan orangtuanya sedang sarapan. Agus dan Rini merasa inilah waktu yang tepat untuk membahas masa depan Andi yang telah ditunda cukup lama.
    "Bagaimana Di, pasti pikiranmu sudah lebih matang tentang masa depan kamu. Ayah yakin, kamu tahu yang terbaik buat kamu sendiri," kata Agus.
    "Maksudnya apa yah ?" sahut Andi.
    "Itu, tentang cita-cita kamu ?" jawab ayahnya.
    "Saya kan sudah bilang yah, saya tetap mau jadi pelukis. Kok ditanya lagi sih yah ?" jawab Andi jengkel.
    Perasaan Agus sangat kesal, penantian yang cukup lama ternyata hasilnya nihil. Agus dan Rini mencoba untuk mencari jalan keluar masalah ini. Mereka sangat tidak setuju, jika anak mereka hanya menjadi pelukis. Kesejahteraan anak mereka di masa depan bakal tak terjamin. Mereka juga bingung bukan main, kenapa Andi sangat ingin menjadi pelukis. Padahal, Andi jarang melukis di rumah. Apa ada pengaruh dari teman-teman Andi di sekolah, pikir mereka. Terlebih lagi, teman dekat Andi , Roy, memang hobi melukis.
    "Apakah cita-cita anak kita ini ada kaitannya dengan teman dekat dia ya, Neng? Roy, setahu Mas dia sangat suka melukis," kata Agus kepada istrinya.
    "Mungkin juga, Mas," jawab Rini.
    "Bagaimana kalau kita larang Andi berteman dengan dia lagi ?" kata Agus.
    "Betul juga, Mas!" sahut Rini semangat.
    *****

    Tanpa basa-basi lagi, dua hari kemudian saat Andi pulang dari sekolah, mereka langsung menemui Andi dan...
    "Andi! Pokoknya kamu tak usah berteman dengan teman akrab kamu itu lagi. Si Roy, dia membawa dampak buruk untukmu !" kecam orangtuanya.
    "Memang kenapa Yah? Bu? Dia baik kepadaku, dan dia tak pernah berbuat jahat kepadaku!" jawab Andi kesal.
    "Pokoknya kami tak mau tahu, stop berteman dengan dia! Ini menyangkut masa depan kamu, Di!" kecam orangtuanya lagi.
    "Ayah dan ibu jahat! Pokoknya aku tak mau!"
    Keadaan di rumah hari itu sangat panas, pertumpahan air mata pun tak terelakkan. Andi merasa sangat bersedih karena larangan dari orangtuanya. Di sisi lain, Agus dan Rini merasa sangat emosi. Pikiran mereka bercampur aduk, mereka kesal karena Andi tak menuruti kehendak mereka, mereka juga merasa menyesal karena membuat Andi tampak sangat terrpukul.
    Setelah kajadian itu, hubungan Andi dan orangtuanya tak belangsung baik. Andi masih merasa sangat terpukul dan sedih. Seperti ada gap diantara mereka. Agus dan Rini pun masih merasa kesal terhadap Andi. Namun, Agus dan Rini mempunyai ide baru untuk membuat Andi seperti semula dan mengurungkan niatnya menjadi pelukis.
    "Bagaimana kalau Andi kita kasih hadiah, kalau saja dia bisa terhibur dan pikirannya bisa berubah," kata Agus.
    "Benar juga, Mas! Tapi apa?" jawab Rini semangat.
    "Hmm... Bagaimana kalau kita beri dia laptop?" jawab Agus.
    "Bagus Mas! Tapi, uangnya dari mana Mas?" sahut Rini bingung.
    "Demi masa depan anak kita, aku siap mengorbankan tabunganku," jawab Agus percaya diri.
    "Wah, semoga hasilnya bagus ya. Semoga Andi berubah pikiran," kata Rini penuh harapan.
    *****

    Agus pun membeli laptop baru untuk Andi, dia rela mengorbankan tabungannya untuk masa depan anaknya yang lebih baik. Sesampainya di rumah, dia langsung menemui Andi tanpa sepengetahuan istrinya. Dengan penuh harapan, dia menemui Andi di kamar anaknya itu.
    "Andi, ayah punya hadiah untukmu. Tapi kamu juga harus beri ayah hadiah ya!" kata Agus semangat.
    "Maksudnya yah?" jawab Andi bingung.
    "Ya, ayah punya laptop buat kamu," kata Agus.
    "Terima kasih, yah! Tapi hadiah apa yang harus kuberikan untuk ayah?" jawab Andi gembira.
    "Kamu harus mengurungkan niat kamu untuk menjadi pelukis ya!" harap Agus.
    "Ayah, sudah berapa kali ayah melarangku untuk menjadi pelukis? Aku tak akan megurungkan niatku ini, pokoknya aku tetap ingin menjadi pelukis!" sahut Andi kesal.
    "Ya sudah, sini kembalikan laptop tadi. Kamu memang anak tak tahu di untung!" teriak Agus lantang.
    Selepas kejadian itu, Agus langsung cerita kepada istrinya. Tetapi, reaksi istrinya berbeda. Dia malah memarahi Agus dan kecewa dengan perbuatan Agus tersebut.
    "Mas, kalau mau memberi hadiah kepada anak, jangan diambil lagi dong! Mas tidak pikir, seberapa sakit hati anak kita dengan kejadian ini!" kata Rini kesal.
    "Ya, tadinya saya tidak berpikir sejauh itu. Mas juga menyesal, Neng," jawab Agus lesu.
    "Bagaimana kalau Andi sangat sedih dan terjadi apa-apa dengan dia? Ayo kita minta maaf kepadanya, sebelum terjadi apa-apa!" Rini tampak cemas.
    "Ya sudah, ayo Neng!" sahut Agus.
    Tetapi, hal itu sudah terlambat. Dengan tekanan yang diterima Andi selama ini, dia merasa sangat terpukul. Dia memutuskan untuk kabur meninggalkan rumah. Kamarnya disusunnya rapi dan di atas bantal, ditinggalkannya sebuah surat kecil untuk kedua orangtuanya.
    "Tolong, relakan aku menjadi memilih masa depanku sendiri."
    Tangan Rini gemetar memegang surat kecil itu dan diam seribu bahasa dalam sekejap. Kertas tak berharga tersebut, sekejap langsung berubah seperti lebih berharga dari uang satu milyar bahkan lebih. Pikirannya kacau, tak terbayang bagi mereka untuk kehilangan Andi.
    Kejadian ini membuat Rini sangat terkejut dan sedih, begitu pun Agus. Mereka sangat menyesal dengan apa yang telah mereka lakukan kepada anak semata wayangnya itu.

    Tetapi itu sepuluh tahun yang lalu...
    Sekarang, Agus dan Rini sudah rapuh. Waktu mengubah semuanya tanpa terduga. Sekarang Andi menjadi tulang punggung keluarganya. Dia menjadi seorang seorang motivator yang sukses. Wajahnya tak asing lagi di saluran televisi nasional bahkan mancanegara.
    Ia seorang pelukis bagi banyak orang di dunia. Ia melukis inspirasi untuk banyak orang dan memberikan solusi untuk jutaan orang di dunia. "Kata-kata yang keluar dari mulutnya, bagai lukisan luar biasa yang memberikan inspirasi bagi setiap orang yang mendengarnya," ucap promotor ketika Andi mendapat gelar profesor di sebuah perguruan tinggi terkemuka.
    *************************************************************