Akhir Bulan Oktober

            Hujan terus turun dari jalan kecil yang baru saja diaspal. Wangi hujan yang khas menyerebak di kota itu. Terlihat sayup di arah barat, matahari enggan memunculkan cahayanya. Lampu jalan di sudut pengkolan yang menguning seakan tak cukup menerangi jalan sempit itu. Pohon ek yang berdiri kokoh di depan bangunan bergaya eropa itu basah, daunya yang menerima titik air, lambat laun, dengan berat hati melepaskannya kembali, dan jatuh dalam tanah. Ombak laut yang berada di selatan kota ini terus mengeluarkan nyanyian sang Khalik kepada para pendengarnya.

Suasana yang kelam, sepi, bahkan dingin menusuk tulang ini tersirat dalam mukaku yang kaku, dan membiru. Angin dan hujan di bulan Oktober ini merupakan musim pengobat hati bagi orang-orang sepertiku inikarena akulah sang hujan, pikirku. Seringkali aku duduk di samping Paman Burchen sambil meminum susu olahan dari peternakannya sendiri. Saat itu aku sedang membalas surat dari kawanku tercinta, Santo. Dia terus menuliskan surat untukku di sepanjang bulan September, tapi selalu kujawab suratnya di bulan Oktober, karena aku tak punya energi untuk menulis surat di musim panas, karena aku baru mengeluarkan energi ku di musim hujan. Santo berkata di tulisannya,

‘datanglah bersamaku di rumah bergaya eropa di pengkolan jalan, dekat gereja yang selalu kita lewati bersama, di akhir bulan Oktober‘

 Aku tak tau maksud konkret dari ucapannya, karena tempat itu sebenarnya bukan rumahnya, melainkan rumah seorang bangsawan tua  yang tak begitu terkenal, serta haus kekayaan dan politik.

Aku menulis begini, ‘aku akan pergi denganmu, asalkan ada angin lembut yang berkenan memberi tahukan alasan engkau mengapa kita harus ada di situ?’. Aku melipat suratku, ku rekatkan dengan lilin, dan ku letakkan suratku di kotak pos surat depan rumah.

Aku kembali ke dalam rumah, melihat lagi Paman Burchen, dia sedang termenung, di depan sebuah penghangat ruangan. Entah apa memang itu kebiasaannya, tapi Paman Burchen membuatku iba. Ia tak pernah sekalipun menghidupkan lampu rumah ini  jikalau senja. Ia hanya menghidupkan lilin, di tengah ruangan, dan matanya terfokus pada cahaya mungil dari api lilin. Bila kutanya Paman Burchen, ia hanya tersenyum, dan berkata tidak apa-apa. Matanya yang sayu membuatku secara spontan berhenti bertanya, serta meninggalkannya lagi dalam renungannya. Aku kembali lagi ke kursi dekat jendela di kediamanku. Ku tatap lagi jalan itu. Hujan masih belum berhenti. Aku terhanyut dalam nyanyian hujan lagi.

 

***

            Pertengahan bulan Oktober di siang hari. Aku menghabiskan waktuku bersama Paman Burchen di halaman belakang. Kami mencoba untuk berkebun. Dengan memperhatikan kondisi tanah yang selalu basah, kami memutuskan untuk menanam tomat.

            Kami mulai menanam. Kami menargetkan untuk menanam sepuluh pohon tomat yang akan panen sekitar enam sampai delapan bulan kedepan. Paman Burchen matanya masih sayu. Aku tak sanggup menegurnya lagi. Entah apa yang ia pikirkan di dalam otak dan hatinya yang bagiku sangat jernih. Perut Paman Burchen yang besar kuamati semakin mengecil.

            Aku pun mulai bosan dengan jawaban ‘aku tak apa-apa’ dari Paman Burchen. Selama 14 tahun aku tinggal bersama Paman Burchen, aku selalu melihat Paman Burchen seperti ini pada bulan Oktober. Anehnya juga, Santo sahabatku tercinta selalu menuliskan misteri dalam tulisan-tulisannya yang wangi.

            Aku terus mencangkul tanah yang basah, sekalian mencangkul otak dan indraku untuk menghubungkan masalah di antara Santo dan Paman Burchen.

            Benih yang ditebar Paman Burchen jatuh di lubang tanah yang ku gali. Kuharap, aku dan Paman Burchen tidak perlu repot – repot menyiramnya lagi karena pasti Tuhan akan menyiramkannya lewat hujan sore ini.

            Selesai menanam, kulihat Paman Burchen menyandarkan punggungnya yang lebar di pojok mobil tua yang selalu ia gunakan untuk pergi ke peternakan. Aku turut duduk di sampingnya. Kulihat paman sedang mengambil secercah kertas tua di saku bajunya. Paman Burchen membacanya. Walaupun kukira kertas itu hanya berisi sekitar sepuluh-sebelas kata, tapi Paman Burchen membacanya berulang-ulang, hingga menghabiskan waktu hingga tujuh menit.

            “Seperti tulisan seorang wanita”, kataku.

            ”Ya, memang seorang wanita”, jawab Paman Burchen.

            Mata Paman Burchen kembali sayu. Aku selalu tersendat untuk bertanya ketika melihat matanya yang selalu seperti itu. Lagi-lagi sayu, dan berkaca-kaca. Ku mencoba melirik untuk membaca isinya.

                        Terimakasih untuk semuanya.

                                    Tunggulah aku di rumah Bangsawan Tua

                                                Akhir bulan Oktober.

            Aku tersentak. Ku mulai menjauh sekitar dua puluh sentimeter dari Paman Burchen. Hujan seketika jatuh dari awan kelam menyelimuti seluruh kota kecil ini. Guntur menggelegar, bagaikan hatiku yang berkecamuk antara tiga kata apa-mengapa-bagaimana. Kata-kata secarik surat itu mengingatkanku pada sepucuk surat wangi dari sahabatku tercinta.

 

***

            Angin Oktober yang semakin kencang memberi isyarat Paman Burchen dan aku untuk mengunci pintu erat-erat dan bersembunyi di balik penghangat ruangan. Mata sayu dari Paman Burchen selalu terlihat sejauh mata memandang. Kalender menunjukkan hampir menuju akhir bulan Oktober. Aku menuju jendela di ujung ruangan. Pohon ek yang menutupi gedung bergaya eropa itu, tetap berdiri tegak, menghalangi pandangan setiap mata untuk memperhatikan lebih dekat.

            Sayup-sayup ku teringat lagi oleh Santo. Karena sudah 6 tahun tak bertemu—kita hanya berkomunikasi lewat surat—aku masih mengandai-andai bagaimana wujud rupanya nanti. Waktu ku berumur empat tahun kuingat dia lebih tinggi lima inci dariku, berambut lurus pirang, dan kulitnya pucat. Dia selalu mengajakku bermain, tapi entahlah, aku selalu mengelak. Mungkin karena dia begitu aktif dan ceria, sehingga aku menyadari bahwa dia terlalu berbeda denganku yang selalu dingin dan egois, serta tak suka hal-hal yang melelahkan. Tapi entah kenapa pula, ada ikatan batin antara aku dan dia—sepeti seorang saudara yang tak mengenal satu sama lain.

            Di sisi lain otakku, aku masih berpikir tentang Paman Burchen, secarik kertas reyot di tangannya dan surat wangi dari Santo. Tiga hal yang memuakkan ini berputar-putar di sisi otakku ini dan membuatku mual.

            Dari kejauhan, kulihat pasutri yang sedang membawa bayinya. Angin kencang membuat si suami kesulitan merangkul istrinya sekaligus payung yang dibawa di tangan kirinya. Sang istri mendekap anaknya erat-erat, memasukkan mukanya sendiri dalam dekapannya untuk memberi kecupan pada bayinya agar tetap hangat. Sepertinya mereka mereka ingin membawa bayinya ke dokter, dua blok dari pengkolan jalan. Entah kenapa kuteringat dengan masa kecilku, serta orang tuaku yang selama ini entah kemana. Sebenarnya aku tak terlalu ingat dengan mereka serta masa kecilku, tapi aku masih ingat dekapan hangat dan lembut dari ibuku, lalu seakan-akan dekapannya berganti menjadi dekapan lengan yang kuat dan besar namun hangat, yang tidak lain adalah dekapan Paman Burchen. Masih kuingat ia menitikkan air mata saat menggendongku, dan menerima sesuatu dari tangan ibuku, bagaikan seperti sebuah surat, yang berbungkus kertas emas, seperti....

           

Krak!!!

           

            Hah! Lamunanku tersadar oleh suara derik kursi kayu yang diduduki oleh Paman. Ia seakan terburu-buru meninggalkan ruangan. Dia mengambil jaket tebalnya—sepertinya ia akan keluar rumah. Tapi diluar hujan dan berangin, pikirku. Aku ingin menegurnya, tetapi ia seperti tak memperdulikan aku unntuk saat ini. Ia dengan terburu-buru memakai topi penghangatnya, memakai sepatu boots-nya, serta melirik ke arah jam tangannya setiap dua detik. Jamnya menunjukkan jam lima tiga puluh sore. Aku bingung, dan hanya bengong melihat tingkahnya.

            Bagaikan seekor biri-biri yang sedang dikejar anjing, ia berlari keluar, tanpa permisidan tidak menutup pintu. Ia menerobos angin kencang seolah-olah ia sedang bertempur dengan seratus orang prajurut. Ia berlari, terkencot-kencot, berbelok ke pengkolan dan sepertinya ia akan menuju ke pohon ek besar itu.

            Aku terbelalak pula. Menyadari akan secarik kertas ruwet yang Paman Burchen selalu simpan.  Aku tersadar ini sudah mendekati—atau setidaknya—akhir bulan Oktober. Aku makin terbelalak. Jemariku beradu satu sama lain aku mondar-mandir di depan pintu rumahseperti seekor babi yang belum diberi makan. Aku pun berpikir, apa yang akan terjadi nanti. Apakah Santo akan datang? Apakah seorang wanita yang menuliskan kata misteri itu akan datang pula? Aku deg-degan, gugup luar biasa, dan hujan pun belum berhenti-berhenti. Kulihat jam dinding menujukkan sudah limabelas menit aku mondar-mandir di depan pintu. Sambil menggigit bibirku yang sebenarnya sudah tergores, aku mengambil jaket hangatku dan payung hitam yang berada di pojok ruangan. Sebenarnya payung itu kebesaran untuk manusia ceking seperti ku, karena mungkin payung itu cukup muat untuk melindungi dua hingga tiga orang. Tapi tak apalah, karena terlalu terburu-buru aku tak sempat mereflek untuk mengganti dengan payung yang lain.

            Ombak laut begitu tinggi, seperti mencoba menggapai angin. Aku melewati jalanan yang licin dan becek, bahkan hampir banjir, dengan tergopoh-gopoh. Ombak laut dan hujan seakan begitu berisik di telingaku. Entahlah, apa hanya perasaanku saja, tapi aku merasakan punggungku bagai dipenuhi dengan memori-memori aneh dan memusingkan. Rasa takut, heran, hawatir, penasaran, marah, malas, gugup, senang, terbelalak, ucapan maaf, tomat, dekapan maaf, kata ‘aku baik-baik saja’, mata sayu, musim hujan, surat wangi, bulan kemarin, lilin putih, tulisan seorang wanita...

            Sampai di kejauhan. Kulihat Paman Burchen duduk terjongkok, bagai seoranng yang sedang kehilangan pekerjaannya. Aku hampiri dia. Dia memegangi kepalanya, meremas-remas rambut putihnya serta di tangan kirinya, sepucuk kertas tua itu digenggamnya. Air matanya mengalir, bagai air hujan yang jatuh hari ini. Aku tak sempat berkata apa-apa padanya. Mulutku beku. Tiba-tiba, tangannya yang gemetaran, mengacung-acungkan kertas tua itu padaku. Mulutnya, dengan terbata-bata berkata, “ibumu! Ibumu!”.

            Mataku melotot, kaget, mungkin karena Paman Bunchen berkata sambil berteriak. Tapi hatiku benar-benar terguncang hebat, dan percikan hujan menembus  kulitku bagaikan serpihan es yang tajam, mengoyakkan, serta membekukan hati dan otakku. Secara refleks aku berpaling dari Paman Burchen, seakan tak kuasa menahan kepiluan. Aku menghadap gereja tua itu. Paman masih menangis, lalu pintu gereja itu terbuka, mendecit, bagaikan suara seorang nenek tua. Aku masih membeku, paman masih menangis. Terlihat di dalamnya, seorang bocah paru baya, jangkung, berambut pirang sebahu. Tidah salah lagi, Santo sudah datang.

            Angin berhembus bersama langkah kakinya, menuju ke arahku. Aku tak bergeming, bagai patung es. Paman pun masih belum berhenti menangis—bahkan bertambah kuat tangisannya. Santo mendekat, mendekat dan mendekat, hingga berdiri satu setengah meter dari hadapanku.

            “Terima kasih temanku, kau telah datang di sini, di akhir bulan Oktober ini. Kau harap kau bisa menjaga diri.”

            Ucapannya memekakkan telingaku. Aku tak berhenti untuk mematung. Aku merasakan hujan mulai berhenti menjadi gerimis. Namun Paman Burchen masih saja menangis. Santo pun berbalik, berbelok dari arah gereja, dan menuju ke arah gedung tua bergaya eropa itu. Dia makin menghilang dan menghilang dari pandangan, serta mulai memasuki halamannya, dan menuju pintu rumah itu.

            Hujan pun berhenti, bersamaan dengan menghilangnya Santo. Di balik kaca rumah itu terlihat bangsawan tua itu—dia tersenyum licik padaku. Aku tak melihatnya lagi, mungkin untuk seumur hidupku. Seiring dengan hujan yang tak terlihat lagi, yang mungkin untuk seumur hidupku juga.

 ___________________