Semburat Merah Terlihat Samar

 

Semburat merah terlihat samar-samar di atas bayangan awan kelabu di ufuk barat. Di depannya, mendekat ke arah gedung yang sedang aku tinggali ini, berjejerlah awan-awan berwarna kelabu, kehilangan warna putihnya. Aku termangu saja di dekat jendela, melihat semuanya. Sebenarnya aku ingin membaca habis buku anatomy yang sudah terbuka di atas mejaku. Namun kehilangan momen sore seperti ini serasa sangat menyayangkan bagiku. Aku masih membayang-bayang bagaimana keluargaku yang sedang ada di rumah, jauh dari tempatku sekarang tinggal. Apakah mereka sedang melihat awan juga? Aku tak tahu.

                Aku masih menggunakan baju kemeja berbungkus baju putih yang panjang hingga mencapai ujung betis. Rasanya sangat lelah telah bekerja seharian di rumah sakit. Aku memang baru lima bulan menjadi dokter umum di rumah sakit, empat blok dari tempat singgahku sekarang. Lima bulan berada di sini merupakan hal yang luar biasa buatku, namun banyak hal yang masih harus aku pelajari.

                Setelah kulihat jam beker di saping lengan kananku, aku mulai bangkit untuk menyelesaikan istirahtku. Aku berlekas keluar dari kamarku, menuju ke kamar mandi. Rasanya lelah sekali. Aku tidak tahu mengapa hari ini bisa berjalan begitu lelah. Mungkin karena musim yang sedang menuju ke musim hujan, dan membuat udara di sekelilingku lembab. Tidak enak rasanya seorang dokter pemula sepertiku ini dapat sakit dengan mudahnya. Aku segera mandi, dan mencoba untuk relax sebentar sehabis sholat.

Aku mengulur-ngulur waktu di kamar mandi. Memang beruntung rasanya aku mendapat penginapan yang sebegitu indah disini—satu kamar yang tidak begitu kecil, yang terdidiri dari dua kamar kecil di dalamnya, wastafel dan tempat untuk memasak, dan satu kamar mandi dengan shower. Aku sama sekali tidak menyangka dapat menggunakan kamar sebagus ini, karena dulunya aku berpikir bahwa bekerja di kota dan hidup di penginapan cukup berat juga. Namun menikmati kamar seperti ini tidaklah mudah, karena aku harus mendapatkan beasiswa dulu waktu kuliah, dan uang kuliah yang masih tersimpan aku usahakan untuk menyewa penginapan  yang agak bagus, dan aku pun beruntung.

                Setelah mandi aku sholat, mencoba tenang dan memusatkan pikiran. Aku merasa lebih tenang sekarang, namun otot-ototku masih tegang. Aku kasuk ke kamar yang lebih kecil, yang di dekat kamar mandi. Ini adalah kamar tidurku, sedangkan kamar yang satunya adalah kamarku untuk fokus bekerja. Aku memutuskan untuk istirahat sebentar, sebelum menyiapkan makan malam. Ku keluarkan MP3 kecilku dari lemari, beserta headsetnya. Aku senang mendengar musik, dan beberapa lagu pop barat, dan entah kenapa aku tidak terlalu suka dengan lagu-lagu Indonesia. Sekarang aku sedang mood mendengarkan lagu Michael Jackson, dan sudah sekian lama aku tidak mendengarkan lagu-lagunya. Ku putar lagu yang berjudul Childhood. Aku suka dengan lagu ini—mungkin karena lagu ini menceritakan perasaan yang sama denganku beberapa saat ini. Aku terhenyuk, dan ingin sekali rasanya tidur, tapi aku belum makan dan belum sholat isya’. Aku pun belum menyiapkan peralatan dan laporanku ke rumah sakit untuk besok. Jadi aku mencoba tidak tidur. Aku hanya merebahkan punggungku di kasur kecil, memejamkan mataku, dan membukanya kembali setiap 20 detik. Aku merasa lebih baik sekarang. Aku mencoba bangkit kembali dan melihat jam di atas rak lemari. Belum tiga puluh menit aku istirahat. Aku mencoba bangkit, dan menyiapkan makan malam.

                Aku selau teringat masa kecilku ketika aku selalu menemani ibuku memasak sesuatu. Aku sibuk sendiri memotong segala bahan yang disodorkan ibuku di hadapanku. Bawang, sayuran, kentang, wortel, tomat, daging pun, kupotong semua. Ibu lalu mengambilnya, dan memasukkan semuanya ke dalam panci besar. Menyenangkan sekali. Menghirup aroma sup ayam yang masih hangat mengepul, dan menikmati kuahnya yang nikmat. Aku benar-benar tidak akan melupakan hal itu.

                Aku memutuskan untuk menghangatkan beberapa bahan saja di microwave, dan menumis sayuran-sayuran yang sudah aku bersihkan hari minggu kemarin. Tidak banyak yang kumasak hari ini. Tapi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi keseharianku.  Aku menyantap makanku di ruang tengah. Ada meja kecil dan tv kecil di situ. Menyenangkan sekali rasaya bila ada seseorang yang menemaniku makan malam ini.

***

                Aku berjalan pagi-pagi sekali dari penginapan, dan merangkul segala dokumen yang harus kubawa. Aku memakai kemeja biru, kotak-kotak, da nada kancing di ujung kerahnya. Aku sudah menyetrika kemejaku sejak hari minggu, jadi sudah kupastikan kemejaku hari ini tidak kusut. Kuturuni jalan setapak di depan penginapan. Terlihat awan masih berwarna ungu tipis, matahari masih belum sepurna terbit. Aku menghirup udara yang masih segar, dan berjalan di samoing kiri jalan beraspal. Aku melewati banyak kedai-kedai makanan dan toko-toko di samping jalan. Banyak yang masih tutup, kecuali tkedai yang menjual sarapan pagi. Aku terus saja berjalan, karena aku sudah bawa bekal untuk makan pagi di rumah sakit.

                Halte bus di belakang penginapan masih sepi, seperti biasanya. Aku duduk di dalamnya, dan membuka buku yang ada di dalam tas cokelatku. Udara masih sangat lembab dan dingin, dan aroma embun masih tajam. Aku membaca buku anatomy-ku lagi, dan menghapal seperempat paragraph di halaman 435. Bis pun datang. Aku menutup buku dan memasukkannya di tas lagi. Ku bergegas dan masuk. Aku duduk di tengah, bersebelahan dengan nenek tua yang memakai baju merah totol-totol putih. Dia tersenyum hangat padaku. Aku tersenyum juga. Dari badannya tercium aroma sabun, dan parfum bunga atsiri. Benar-benar bau nenek-nenek. Aku jadi teringat dengan nenekku yang sudah lama meninggal. Seperti inilah rupanya. Aku hanya tersenyum saat mengingat ia mengunyah makanan sangat lama dengan giginya yang ompong. Aku berpaling, dan membuka buku lagi, melanjutkan hapalanku di halaman 435. Nenek di sebelahku hana berdehem-dehem dan memainkan jemarinya yang keriput, menunggu pemberhentian selanjutnya. Aku terus menunduk dan membaca.

                Bis berhenti di pemberhentian ketiga, dan nenek di sebelahku bangkit. Dia pelan-pelan menuju pintu keluar. Aku masih duduk karena aku harus berhenti di pemberhentian keempat. Orang-orang semakin memadati bis, dan mulai banyak orang yang duduk di sebelahku. Aku melipat halaman buku, dan menutupnya. Memasukkannya lagi kedalam tas cokelatku. Aku mulai bersiap-siap turun saat pemberhentian keempat mulai terlihat. Saat bis berhenti, hanya aku seorang yang turun, dan sekitar lima belas orang yang naik lagi ke dalam bus. Sekarang bis sudah penuh sesak. Beruntung aku sudah turun, pikirku. Aku menuruni tanga halted an menuju jembatan penyeberangan. Rumah sakit yang besar itu mulai terlihat. Aku berjalan masuk ke gerbang dan menuju pintu samping, yang tertulis “Khusus Dokter dan Karyawan Rumah Sakit”. Masuk ke koridor yang berkelok-kelok. Menaikki lift ruangan menuju lantai dua tempat kerjaku. Aku melapor ke bagian administrasi untuk absensi, dan Dokter Neck yang bertugas di shift malam mulai tampak keluar dari ruangan pemeriksaan untuk pulang. Dokter Neck addalah dokter kenalanku yang paling dekat, karena dialah orang yang selalu menyambutku saat aku masuk keruang pemeriksaan, mengisi shift pagi. Dia bertugas untuk shift malam, dari jam dua belas malam hingga jam enam pagi. Aku bertugas sesudah jam kerjanya, yaitu jam enam pagi hingga jam tiga sore.

                Dia menyapaku dengan hangat. Matanya agak cekung ke dalam dengan warna kelabu di sekelilingnya. Aku turut menyapanya. Dia sangat baik dan hebat. Dia mendapat pekerjaan yang lebih berat dariku, karena dia bekerja pada shift malam. Dia seringkali mendapatkan pasien kecelakaan lalu lintas tengah malam, dan mendapatkan pasien yang sedang kritis akibat serangan jantung jam tiga dini hari. Dia sering cerita padaku sebelum dia ulang ke rumahnya. Aku mendengarkan kisah hidupnya yang penuh tantangan, dan penuh dengan cerita romantis dengan pacar barunya. Aku pun turut bercerita dengannya, tapi tak sebanya dia bercerita padaku, karena hidupku hanya sendirian dan belum lama di kota ini.

                Aku bergegas masuk ke ruang pemeriksaan sesaat setelah Dokter Neck pulang. Ruang pemeriksaan cukup luas, ada cermin di belakan meja dokter, dan rak lemari dengan banyak ruangan di sampingnya. Agak kedalam terdapat sebuah kasur pasien, yang tertutup sprei warna hijau dan biru, da nada tirai di sampingnya, kalau-kalau ada sesuatu yang tidak ingin diperlihatkan. Di dekat pintu ada meja suster, sebagai tempat administrasi. Dan disampingnya ada alat penimbang berat badan serta pengukur tinggi badan. Ruangan ini selalu steril dan beraroma antiseptic. Di laci meja terdapat berbagai macam alat. Stethoscope, thermometer, senter mata, semuanya tertata rapi. Aku memakai baju dokterku yang putih dan panjang, yang telah aku lipat di dalam tas cokelatku. Semuanya rapih dan bersih. Aku benar-benar mendambakan hal ini sejak aku masih kecil. Memakai pakaian dokter yang panjang, adalah impian kecilku sejak lama.

 

***

 

                Tanggal 15 Februari, aku kedatangan seorang pasien, dia gadis yang biasa-biasa saja. Dari tampang luarnya ia memang pucat dan tubuhnya sedikit kuning, dan wajahnya sangat tirus dan kurus. Dia didampingi kakak laki-lakinya, berbadan tinggi dan tubuhnya yang bidang. Ia terlihat sangat lelah dan lesu. Aku menyuruh suster untuk membawanya ke tempat tidur untuk diperiksa suhu dan tekanan darahnya, sementara aku berbincang kepada kakanya.

                “Selamat pagi. apa keluhannya, Pak?” aku berusaha untuk senyum saat berkata.

                “Dia mengeluh selalu pusing dan sering pingsan,” jawabnya.

                Mendengar penjelasan si kakak, aku langsung pergi ke tempat tidur pemeriksaan, dan menggunakan stetoskopku untuk mendengar detak jantungnya. Kuraba kulitnya yang kuning, dan dingin sekali rasanya. Suhunya tidak mencapai 37oC.

                “Apa penyakitnya dok?”

                “Tidak ada tanda-tanda penyakit kuning, atau anemia..”kataku pelan.

                “Pak, bagaimana jika saya membuat rujukan ke dokter spesialis organ dalam untuk diperiksa lebih lanjut? Kemungkinan ada masalah di bagian otak saudari Bapak,” aku mencoba menjelaskan.

                “Masalah otak apa dok?” Kata si kakak.

                “Maaf pak, saya tidak bisa memastikan, kemungkinan bila gejalanya seperti ini, mungkin saudari bapak pernah terbentur atau apa, sehingga membuat otak saudari Bapak bermasalah, jadi harus ditangani ke dokter spesialis saja pak, biar bisa memastikan lebih jelas.”

                “Baiklah, terimakasih dok.”

                Dia tidak banyak bicara lagi. Aku duduk kembalui di kursiku dan mengambil beberapa lembar kertas rujukan. Kuisi beberapa bagian di dalamnya, dan menandatangani bagian bawahnya. Aku menyryh suster di sebelahku untuk menunjukkan ruangan dokter spesialis organ dalam.

                Aku melihat perempuan itu lagi, wajahnya pucat, namun tak nampak lelah. Dia melihat ke penjuru tembok ruangan, dan mencari-cari hal yang aneh dan baru bagi pengelihatannya. Dia persis anak kecil bagiku. Tapi wajah pucatnya membuat orang-orang disekitarnya merasa sedih dan khawatir, sehingga tidak kelihatan kekanak-kanakannya. Dia bangkit, dibantu oleh kakaknya. Aku memegang tangannya lagi. Suhunya normal. Dia tersenyum seolah berkata terimakasih. Aku tersenyum juga.

 

***

               

                Aku melihat pemandangan luar rumah sakit dari jendela ruang pemeriksaan. Hari sudah sore, namun mendung yang tebal membuat hari terlihat lebih gelap. Aku teringat tentang gadis yang menjadi pasienku tanggal 15 Februari itu. Pucat, namun tak nampak lelah, ataupun sedih. Mungkin sama seperti sudut pandangku melihat pemandangan kali ini; mendung, namun tak merasa pilu atau sedih. Aku dari dulu suka hujan. Aku tidak memandang hujan itu sesuatu yang harus di-pilu-kan. Hujan bagiku adalah suasana penghilang rasa panas di hati.

                Aku berbalik lagi ke meja dan melihat suster masuk.

                “Dok, masih ingatkah dokter pada pasien perempuan tanggal 15 Februari kemarin?” katanya sambil mendekat ke mejaku.

                Aku hanya membelalakkan mata dan membuat ekspresi mengingat yang serasa dibuat-buat.

                “Dia divonis penyakit radang selaput otak, dan butuh penanganan intens dari rumah sakit, saya mendapatkan surat dari kepala administrasi rumah sakit, anda dijadwalkan untuk membantu Dokter Spesialis Forth untuk mengecek keadaannya pada hari Senin, Rabu dan Kamis setiap tiga jam sekali. Dokter Neck juga akan membantu pada haru Jum’at dan Sabtu…”

                “Mendadak sekali ya sus?” aku mencela penjelasannya.

                “Anda kan dokter baru, jadi tugas seperti ini wajar untuk anda. Anda  mulai bekerja besok pagi. Saya sudah membawa jadwalnya dan tolong tanda tangani surat tugas di sini, dan jangan lupa laporan administrasi harian anda harus dilaporkan besok pagi..”

                “Iya, seperti biasa..” aku mencela penjelasannya lagi.

                “Kuharap Anda mengerti dan sudah waktunya berganti shift.” Suster cerewet itu akhirnya berhenti berbicara juga.

                “Baiklah. Sampai ketemu besok..” aku melepaskan baju dokterku dan melipatnya rapi di tas. Kumasukkan semua kertas-kertas laporan dan administrasi, serta buku anatomy kesayanganku di bagian depan tas cokelat. Aku merapikan meja sebentar, dan memakai mantel yang tergantung di belakang pintu. Suster itu juga bersiap-siap untuk pulang. Dia masih asik membenahi rambutnya yang luar biasa menyerupai helm saat aku membuka pintu pemeriksaan. Aku melihat Dr. Lucas dari jauh untuk mengisi shift. Aku bergegas, menuju ruang administrasi, menyerahkan lembaran-lembaran berwarna kuning, dan bergegas pulang.

                Sore hari memanglah yang terbaik. Aku bisa melihat semburat merah lagi samar-samar di barat. Kini semburat merah itu ditutup di beberapa sisi oleh awan hitam tebal. Aku teringat tentang gadis pucat itu lagi. Persis langit sore yang sedang aku lihat. Entah apa yang ada diperasaanku saat aku menyadari bahwa aku mendapatkan jadwal untuk berkali-kali menemui dia dalam seminggu. Aku mungkin akan menjadi lebih penasaran dengannya, karena menurutku, tak ada yang bisa menyerupai langit sore-ku selain dia.

 

***

 

                Aku mendapat lembaran lebih banyak hari ini. Mungkin karena aku harus bolak-balik ke kamar Pavilion Ester untuk menuju ke ruangan gadis pucat itu. Lembar resep, obat, dan beberapa catatan dari Dr. Spesialis Forth serta checklist dari suster pe-ngomel, semua ku jadikan satu dan ku klip, lalu aku klip lagi di papan untuk menulis. Aku membawa stetoskop dan thermometer di dalam saku, dan di sampingku telah siap salah seorang suster—untung saja bukan suster pe-ngomel itu—untuk menemaniku mengecek keadaan gadis pucat.

                Rumah sakit berkelok-kelok dengan koridor tak berujung dilapisis sekat-sekat kasa steril, serta berbagai macam tiang bergambar symbol rumah sakit. Aku harus berbelok dua kali dan memutar tiga kali di ujung koridor barat, untuk sampai di Pavilion Dean, dan menaiki lift khusus dokter untuk menuju ke Pavilion Ester. Setelah itu aku harus jalan kaki lagi sejauh 80 meter menuju ke kamar 7. Sampai juga akhirnya ke kamar si pucat.

                Si pucat terlihat manis, dan pucat. Kepalanya di balut perban tipis, dan tangannya terinfus. Beberapa bagian tungkai atas di beri kabel-kabel kecil ke alat pendeteksi detak jantung. Di kedua pelipisnya terdapat kabel-kabel halus yang terhubung ke computer gelombang sebelahnya, untuk melihat frekuensi kerja otaknya. Dia seperti terikat oleh benang-benang, sedangkan ekspresianya seperti ingin bermain lari-larian. Dia hanya bisa bermain dengan bunga mawar yang dipetik kakaknya. Aku dan suster masuk dan memberi sapa dan senyum seperti biasanya.

                “Selamat pagi? Wah cerah sekali wajahnya ya? Sudah agak baikan?”aku sangat ahli dalam basa-basi.

                “Yah, setelah di ronsen dan diberi berbagai obat serta suntikan, di jauh lebih baik,” kata kakaknya.

                “Saya cek sebentar ya?” aku mengeluarkan stetoskop dan mendengar detak jantungnya.

                “Oke, sekarang coba kita tambah vitamin sedikit ke infusnya,” aku dibantu suster di sebelahku untuk menyuntikkan cairan berwarna pink muda ke dalam wadah infus, dan cairan infus itu berubah warna menjadi merah jambu yang tipis. Aku mengganti infus dan menyuntukkan beberapa milligram obat pesana Dr. Forth ke ujung selang infus yang mengarah ke urat nadi si pucat, dan mengebas-ngebaskan tangannya sedikit agar tidak kemang. Aku mencatat beberapa point sedikit yang tertera di computer sebelah kasur tidurnya.

                “Apakah makannya lancar? Aku harap dia tidak lelah untuk terus makan, karena dia akan dioperasi dua hari lagi, bukan?” kataku pada si kakak.

                “Ya. Akan kuusahakan.”

                “Oke, kau harus makan banyak ya, ehm,..” aku membaca lagi daftar nama yang tertera di kertas-kertas ku. Di situ tertulis namanya, Emelly.

                “Ehm,, Emelly, kau harus banyak makan ya, dan jangan bergerak terlalu bebas, kau bisa memutuskan kabel-kabel di sekitarmu..” aku tersenyum.

                Dia ikut tersenyum. Wajahnya sama sekali tidak memancarkan cahanya sedang atau gusar sebagaimana orang sakit lainnya. Namun wajahnya yang terlampau pucat membuatnya terlihat benar-benar lemah.

                Aku permisi dan keluar dari ruangan bersama suster. Aku berjalan pulang dan memutar, dan berbelok lagi. Melewati panjangnya koridor penuh aroma antiseptic dan kembali ke ruang pemeriksaanku, dan di sana sudah menunggu suster pe-ngomel untuk meminta list-list andministrasi. Aku bernapas pelan dan memberikan beberapa lembar kepadanya, dan aku langsung duduk di kursiku karena lelah. Sepuluh menit kemudian aku harus bertugas lagi untuk memeriksa pasien-pasien lain, dan tiga jam lagi aku harus ke tempak si-Emelly-Pucat untuk mengecek kabel-kabel di pelipisnya lagi.

 

***

 

                Sudah tiga minggu aku mengurus si Pucat, hilir mudik setiap tiga jam sekali, tiga hari seminggu. Si pucat tidak lagi ditemani oleh kakaknya lagi, dia hanya sendirian. Aku Tanya dia, katanya kakaknya sibuk bekerja. Aku jadi sering ngobrol dengannya, sambil mengecek kabel-kabel di pelipisnya, ataupun mengecek jaitan bekas operasi di area kepalanya yang kini telah digunduli. Aku sebenarnya tak tahan untuk bersedih saat aku melihatnya, namun, ekspresi wajahnya yang menyiratkan tak-rasa sakit sedikitpun membuat orang lain yang melihatnya menjadi lupa kalau dia sakit.

                Dia banyak cerita padaku, apa hobinya, cita-citanya dan kegiatan yang ia suka lakukan. Dia ternyata masih sangat muda, baru semester dua di perkuliahan. Dia belajar di bidang seni dan sastra. Aku dulu sempat tertarik dengan seni dan sastra, namun aku menyerah karena nilai seniku terlampau rendah. Dia banyak cerita padaku, bagaimana pelajarannya, dosennya, dan orang-orang di sekitarnya. Dia sepertinya selalu bahagia di setiap kesehariannya.

                Dia sangat bersemangat, dan sangat percaya sekali kalau-kalau dia bisa sembuh. Dia benar-benar luar biasa bagiku. Dia pun terkadang terlhat lupa kalau dia sakit, dan terperangkap dengan kabel-kabel di sekitar pelipisnya. Itu sebabnya kabel-kabel itu sering terlilit, karena dia terus saja aktif bergerak.

                “Kau benar-benar bersemangat, Emelly,” aku sempat memujinya saat itu.

                “Entahlah, aku tak merasa aku selalu bersemangat, masih banyak orang-orang di luar sana yang memiliki semangat yang lebih luar biasa dari yang kau lihat dariku,” dia memandangi bunga mawar yang ia pegang di tangannya.

                “Apa yang membuat kau begitu bersemangat?” aku sempat bertanya seperti itu,

                “Mungkin, aku selalu teringat perkataan seseorang yang berbisik di telingaku saat aku masih sangat kecil mungkin…” dia berkata.

                “…lihatlah awan sore itu, adik kecilku. Warnanya semburat merah dan samar-samar. Seperti kau yang selalu semangat berlari dari dekapan ibu dan ayah, mecari-cari capung yang lulu-lalang. Bila kau kesepian, pandanglah langit sore dan ingatlah suaraku…”dia melanjutkan seperti itu.

                Aku tersentak dan tak sengaja menyenggol gelas kaca di meja Si Pucat. Bunyinya memekakkan telinga, dan si Pucat terkejut juga. Aku masih kaget sambil memilah-milah kaca yang pecah, dan tak sadar tanganku berdarah sedikit. Dari ujung ruangan terdengar suster berlari, dan membantuku cepat-cepat. Aku bangkit dan kepalaku berat saat mengingat kalimat yang diucapkan si pucat tadi.

                Aku terhuyung berdiri dan berkata pada si pucat tanpa melihat matanya, “Maaf, Emelly. Sampai jumpa tiga jam lagi…”

                Dia terlihat bingung.

 

***

 

                Aku tak tahu mengapa dunia begitu sempit, sampai sempitnya taka da ruang bagiku untuk bergerak. Aku ingin meninggalkan semua kenangan yang lalu tentang adikku sayang, yang entah di bawa oleh orang asing saat dia masih sangat kecil. Aku tahu dia masih ingin berlari-lari menghindari kejaranku waktu itu. Aku tahu dia masih ingin sekali digendong ibu dan ayahku saat itu. Aku tahu dia ingin melihat semburat merah terlihat samar itu bersamaku lagi. Aku tak tahu kenapa dia di dekap oleh orang asing yang bermobil van itu. Ibuku hanya terdiam saat dia pergi, dan ber-isak di dalam hatinya saja. Aku tak tahu. Ayah pun tak henti-hentinya mengamuk di belakang halaman rumah sambil menangisi poto adikku sayang itu.

                Aku tak tahu. Aku masih sangat kecil saat itu aku tidak boleh terlalu penasaran saat itu. Ibuku hanya berkata, sabar-sabarlah sayang, belajarlah yang baik, wujudkan mimpimu. Biarkan saja ibu dan ayahmu ini sibuk mencari uang, dan adikmu pun akan segera pulang, dan percayalah.

                Aku tak tahu lagi.  Sudah jelas adikku tak pulang, setelah bertahun-tahun lamanya ia di dekapan orang asing itu. Ia tak pernah kembali. Namun dunia yang sebegitu sempit ini mempertemukan aku dengan si Pucat, yang tak lain adalah dia, adikku sayang. Aku masih tak percaya. Dia punya kakak yang benar-benar peduli padanya sekarang, dan mestinya itu adalah aku. Aku tak tahu. Belum lagi lembaran-lembaran laporan harianku selalu menyita waktuku untuk berpikir lebih lanjut tentang dia.

                Aku bangkit dari meja belajarku di dalam kamar penginapan. Aku memakai mantel tebal cokelat dan memakai sepatu hitamku. Aku bergegas pergi lagi ke rumah sakit segera. Aku berlari dan mengejar taksi, masuk dan sambil tergesa-gesa menyebutkan nama rumah sakit tempatku bekerja pada supir. Taksi berjalan sangat cepat, menembus malam yang kala itu sedang hujan. Berkelok-kelok dan berhent tepat di depan gerbang rumah sakit yang besar itu.

                Aku berlari kedalam, dan kali ini aku tidak masuk ke pintu khusus dokter. Aku lewat depan dan berlari ke lift. Aku berbelok ke koridor tanpa batas itu dan hampir terjungkal saat menaiki tangga ke Pavilion Ester. Aku ke kamar tujuh. Aku melihat kakak palsu si Pucat yang berbadan kekar itu keluar dari kamar tujuh dengan wajah kusut, dan becek air di matanya. Aku berlari dan mencoba secepat mungkin menuju dia, dan aku sempat menukik saat aku hampir menabrak Dr. Lucas yang sedang menghampiri kakak palsu si Pucat itu.

                Mereka berdua heran dengan kedaanganku mala mini. Dr. Lucas pun bingung karena ini bukan jam shiftku untuk bertugas membantu dia. Namun mereka tak perduli, dan kakak palsu itu tiba-tiba menangis. Aku bingung, dan masuk ke dalam kamar tujuh cepat-cepat. Di situ ada suster pe-ngomel dan suster muda berdiri di samping kanan kiri kasur si Pucat. Si Pucat tidak terlihat di situ. Computer-komputer di sebelah kasurnya mati. Infusnya tercabut. Aku mencari-cari. Aku tak akan percaya dan tak ingin percaya kalau seseorang yang tertutup selimut putih sampai menutup kepalanya itu adalah si Pucat, adikku tersayang yang aku rindukan selama belasan tahun.

                Aku bagai orang bodoh malam itu. Aku teringat bahwa umur si Pucat memang sangat riskan untuk bertahan, dan wajar saja kalau-kalau dia meninggal. Aku sudah terbiasa melihat orang meninggal, tapi tidak untuk kali ini. Dia sangat kecil sekali. Wajahnya sangat pucat. Kepalanya sangat kecil dan ringan. Dia tersenyum. Pipinya semburat merah terlihat samar. Aku menangis. Air mataku menetes di pipinya. Suster-suster di sebelahku hanya menunduk sedih.

                Aku harap aku tak akan kehilangan adikku tersayang yang baru aku temukan. Aku tak ingin kehilangannya, Tuhan. Paling tidak, tunjukkan wajahnya saat aku melihat langit sore besok hari.

 

__________________________