KATAKAN TIDAK PADA NERKOBA
Seumur-umur, baru kali ini ada Olimpiade Bahasa Indonesia. Tidak tanggung-tanggung pula, kompetisi ini sampai ke tingkat internasional. Bahkan oleh Dewan PBB, katanya kalau bisa juga diadakan sampai tingkat galaksi. Ah, itu urusan penyelenggara (PBB sendiri). Kita yang ada di tingkat desa ini cuma tahu kalau sekarang sudah ada Olimpiade Bahasa Indonesia. Itu saja. Dan di balik semua itu, ada sebuah kisah di saat diadakan seleksi untuk tingkat Nasional. Sekitar 33 peserta dari 33 provinsi di seluruh Indonesia (kalau tidak salah begitulah jumlah provinsi di Indonesia sekarang ini. Kalau salah, ya, mau apalagi?) dikumpulkan dalam satu ruangan khusus di sebuah hotel ternama di ibukota negara. Selidik punya selidik, salah satu peserta ternyata berasal dari sebuah desa terpencil di ujung pulau di sebuah bagian dari NKRI. Namanya Ita, tentunya seorang gadis, baru duduk di kelas 2 SMP. Yah, begitulah. Olimpiade Bahasa Indonesia ini baru dicobakan pada tahap Sekolah Menengah Pertama. Sementara bagi SMA menyusul belakangan. Pada tahap ini, tim penyelenggara mengadakan penyeleksian dengan cara yang berbeda sebelumnya. Sebelum ini, peserta diuji dengan lembaran kertas soal. Tapi sekarang, ujiannya adalah dengan berpidato. Gawatnya, tanpa teks bantuan dan tanpa persiapan yang matang. Peserta dipanggil satu per satu sesuai nomor urut, dipersilakan mengambil secarik kertas dari sebuah kotak, dan membaca tema yang harus mereka buat menjadi sebuah pidato ringkas namun padat. Di sinilah masalahnya. Ita dapat dikatakan pandai berpidato, tetapi tidak begitu jago. Untuk tema-tema sederhana seperti pertanian, teman, keluarga, atau pariwisata baginya itu hal mudah. Kehidupan desa membuatnya mengerti kesemua tema itu. Tapi justru, ia mendapatkan tema yang baginya begitu sulit. Narkoba. Rambut Ita yang lurus selurus rambut model Sunsilk tersebut pun mengernyitkan dahi. Rasanya, rambutnya kini menjadi bintang iklan Fruit Tea. Apa yang harus ia susun? Kehidupan desa membuatnya tidak begitu mengenal apa itu narkoba. Rasanya, ingin sekali ia ke depan untuk menukar kertas tema itu, tapi tidak bisa. Satu per satu peserta mulai maju. Berpidato. Semuanya tampil percaya diri dan meyakinkan. Sungguh-sungguh mantap. Seketika itu juga Ita merasa dirinya paling buruk. Perasaan itu membuatnya tidak memanfaatkan waktu untuk menyusun kalimat demi kalimat. Yang ia lakukan malah mengagumi orang lain dan mencaci maki habis-habisan dirinya. Padahal, Ita berada di urutan paling akhir. Waktu berjalan sia-sia. Hingga akhirnya giliran Ita tampil ke depan. Ita pun maju dengan persiapan yang sama sekali kosong. Langkahnya ragu dengan tangan yang mendingin. Kertas kecil itu kini ronyok di tangan. Tidak berbentuk. Keringatnya telah membuat tulisan di kertas itu luntur. Tiba di depan, Ita dipersilakan untuk naik ke mimbar. Ita hanya tersenyum hambar. Lalu naik. Di hadapannya sudah menyambut ratusan pasang mata. Ada peserta, orang tua peserta, wartawan. Eh, ada Pak Presiden pula. Dan tak kalah penting, ada kepala mike di depannya. Ita pun semakin gugup. Wajahnya memelas. Meminta belas kasihan. Ia tidak berharap di suruh turun dari mimbar. Yang ia harapkan adalah mendapat tema baru yang sekiranya ia kuasai. Tapi�, waktu berjalan terus. Tiap peserta diberi waktu maksimal 10 menit untuk menyampaikan pidatonya. Kini, sudah hampir seperempatnya habis dalam keheningan. Seluruh orang menunggu tegang. Keringatan. Rasanya AC di ruangan itu mendadak mati. Ke mana petugas PLN? Ah iya. Sekarang, kan, sedang dalam masa penghematan energi. �Ayo, silakan!� ujar MC, bermaksud menyemangati Ita. �Kamu pasti bisa!� Tapi Ita hanya menggeleng kecil lalu tertunduk. Ia membangkitkan kepalanya dengan mata yang berkaca-kaca. �Ayo�!� ujar sang MC lagi. Ita memandang ke arahnya, lalu ke arah dewan juri, kemudian ke penonton dan peserta lain. Semua orang terlihat sangat ingin Ita mengeluarkan suaranya. Tapi Ita tidak berani. Ia baru membuka mulutnya ketika melihat seorang juri dengan isyarat tangan menyuruhnya berbicara. �A�, a�,� ujarnya. Dan Ita kembali buntu. Ia tidak tahu harus berkata apa selain itu. Ia bingung. Sudah lima menit. Sudah setengah waktu ia lewati tanpa berbicara mengenai tema yang ia dapatkan. MC memandang contekan yang ia miliki. Dari sana ia tahu siapa Ita, dari mana asalnya, dan data lainnya mengenai anak itu. Sang MC harus lincah dalam masalah seperti ini, apalagi acara ini disiarkan langsung oleh seluruh stasiun TV di Indonesia ke seluruh Nusantara. �Ayo, Ita. Kamu bisa katakan apa saja yang melintas di kepalamu, sepanjang itu tidak melenceng dari tema.� �Aku�, aku tidak bisa. Temanya sangat sulit bagiku�,� balas Ita. Sepertinya ia akan menangis. Dan memang, sesaat setelah itu air matanya mengalir. �Yang lain juga pasti mengalami masalah dengan tema mereka masing-masing. Tapi mereka berhasil membawakannya. Jangan mau kalah, dong!� Mulut Ita sudah mau membuka, tapi segera menutup. Ia bingung dan semakin bingung. Ia tidak mampu berpidato. �Coba kamu pikirkan. Selama ini, kamu sudah bersusah payah hingga akhirnya sampai ke penyeleksian nasional. Kamu pasti tidak mau usaha itu semua gagal hanya karena sebuah tema, kan? Kamu harus dapat menuntaskan masalahmu itu!� Ya, benar. Ita tidak boleh begitu saja menyerah. Ini hanya sebuah tulisan di secarik kertas yang tak berdaya. Tidak ada yang menakutkan. Jika Ita mau, kertas itu sudah menjadi partikel-partikel kecil di udara. Atau kalau perlu, ia jadikan tebaran atom dan ion. Usahanya selama ini tidak boleh gagal! Sudah hampir satu menit Ita tertunduk. Lalu ia menampakkan wajahnya dengan linangan air mata di pipi. Bekas-bekas alur air matanya ia kesat dengan tangan. Dan ia pun mulai mengeluarkan suaranya. �Narkoba�, narkoba�. Narkoba�, narkoba�.� Suaranya kembali terputus. Semua semakin terlihat tak sabar menunggu. Terutama para juri. Sementara sang MC yang berada di dekat Ita merasakan bahwa ia pernah melihat adegan seperti ini. �Seperti nonton Kuch Kuch Hota Hai�,� ujar MC itu tak sadar. Mulutnya yang di dekat mike, menyampaikan suaranya ke seluruh Indonesia. Ita mendapatkan ilham begitu saja. Beberapa saat setelah suaranya terputus, ia bergegas menyambung ucapannya dengan, �Katakan tidak pada narkoba. Mengapa?� Dan inilah pidato Ita secara lengkap, yang juga langsung disebarkan melalui internet di website resmi Olimpiade Bahasa Indonesia pada penyisihan tingkat nasional.
Hosted by www.Geocities.ws

1