Segurat Kisah Tentangmu

Karya : Debby Syefira

            Angin sayup – sayup sore itu membuatku teringat akan seseorang yang sangat aku cintai. Botol  infus yang tergantung di samping nya terasa bagai nafas kehidupan baginya. Tak hentinya tetes – tetes air itu masuk ke dalam tubuh  hingga tetes air itu habis tenggelam ke tubuh tua itu. Lantunan ayat doa seakan memberi harapan akan setitik cahaya kehidupan yang tergurat jelas di tubuhnya yang bagaikan tulang belulang saja. Ya, kakek begitulah aku memanggil lelaki yang tergeletak lemas dan tak berdaya itu. Sudah satu minggu ini, ia berada di ruangan yang di penuhi benda – benda medis yang membuatku ingin menangis melihatnya. Infus di tangan kanannya membuatnya terlihat lemah di banding jarum yang masuk ke dalam tubuhnya.

            Terlintas di pikiranku tentang sosok itu. Memberikan buku tua yang warnanya telah menjadi cokelat karena di makan usia. Kata demi kata ia lantunkan dan aku pun mengikutinya dengan penuh rasa malas yang teramat mendalam, buku yang berisi abjad yang tersusun rapi dan sedikit gambar yang mendeskripsikan kalimat demi kalimat itu. Rasa malas itu tergugah saat kakek tak henti – hentinya sabar mengajariku membaca. Tapi, tak jarang pula ia menasehati walau dengan kata – kata yang terkadang membuatku menangis. Sering juga terlintas di benakku kebencian kepadanya. Tetapi, selalu ku tepis dengan kasih sayang yang lebih besar dari rasa benci itu.

            Kini rasanya, tak ada gunanya lagi aku bersikap seperti dulu. Marah ketika di marahi ataupun menangis karena tidak bisa bermain dengan teman – teman, karena harus belajar dengan kakek yang begitu menyayangiku. Ingin sekali aku melihat guratan senyum yang telah lama hilang dari mukanya sejak penyakit itu berdiam di tubuhnya. Sekarang, aku berada di samping orang yang telah mengajariku banyak hal. “ Mengaji dan Shalat “ itulah hal yang pertama kali ia ajarkan kepaku sebelumya. Setiap sore aku dan beberapa anak tetangga datang untuk mengaji bersama kakek dengan kesabaran dan ketegasannya. Kami diajarkan membaca satu per satu huruf hijaiyah dengan fasih. Walau sering terlontar kata – kata penyemangat yang terdengar seperti matahari yang memberi sinarnya kepada dedaunan, walau panas tetapi sangat bermanfaat bagi sang dedaunan.

            Walau penyakit menggerogoti tubuhnya yang tua, Ia tak pernah mengeluh sedikit pun, hanya diam dalam kata yang Ia tunjukkan, bahkan cerita para wayang yang Ia lantunkan kepada cucunya. Shalat tak pernah ia tinggalkan, zikir tak henti di suarakan, membuat beliau begitu dekat dengan Sang Khalik. Aku berkata dalam hati “ kakek cepat sembuh ya, Fira sayang kakek nanti kalo kakek sembuh kita ngaji bareng lagi.” Dengan berlinangan air mata, dan senyum kecil yang penuh arti untuk kakek tersayang.

            Pagi yang cerah seolah ikut merasakan apa yang Aku dan keluargaku rasakan. Sinar cerah dari matahari perlahan – lahan masuk ke tubuh sebagai penegar jiwa yang cemas. Aku dan keluargaku menunngu di sepanjang koridor rumah sakit, karena hari itu kakek di operasi. Suara roda – roda membawa kakek ke dalam ruang operasi yang di penuhi peralatan medis yang terlihat begitu menakutkan.

            Harap – harap cemas kami menanti, kecemasan semakin menjadi tak kala keluar satu pasien dengan kepala di tutup kain putih dari ruangan yang sama. Begitu bergemuruhnya hati melihat itu. Perasaan itu sedikit terbuang ketika kami tahu bahwa itu bukan kakek. Dan kabar gembira datang dari ruang operasi, Alhamdulillah kakek berhasil di operasi dan membuat nenek dan kami sekeluarga sujud syukur atas kebesaran Yang Maha Esa.

            Hari demi hari terlihat tanda kesembuhan untuk kakek. Hal ini membuat keluargaku begitu bahagia. Betapa tidak, usaha keras selama ini membuahkan hasil. Kakek kembali menekuni hobinya di bidang elektronika dan aktivitas bercocok tanamnya setiap pagi dan sore. Kakek begitu  senang bercocok tanam, dan itu terlihat dari banyaknya pohon cabe, pepaya, dan jambu air yang terdapat di pekarangan rumah tumbuh dengan subur, seakan mencerminkan jiwa kakek yang semakin hari semakin membaik.

            Hari yang tak pernah Aku duga, 2 Februari 2009. Awan yang semula cerah, berubah menjadi mendung yang di iringi rintik – rintik hujan yang jatuh seakan ikut tenggelam dalam kesedihan kami. Kakek yang sangat Aku cintai telah pergi menghadap Sang Khalik dengan segurat senyum bahagia di wajahnya. Aku tak kuasa menangis dan membayangkan segala jasa yang telah kakek beri kepadaku sehingga Aku bisa berdiri disini, duduk belajar di tempat yang semua orang inginkan di salah satu SMA favorit. Sikap pemimpin kakek yang selalu dia ajarkan kepada kami cucunya. Kakek selamat jalan, semoga kakek di beri tempat terindah di sana. Kata itu ku ucapkan ketika tubuh itu telah terbalut kain putih yang mengantarnya menghadap Sang Khalik.

            “Allahu akbar, Allahu akbar “ suara adzan maghrib terdengar dari musholah sekolah, lamunanku terbuyar. Segera aku mengambil wudhu dan bergegas ke musholah untuk menunaikan sholat maghrib bersama. Dalam doa Aku panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rezeki yang telah ia berikan dan tak lupa doa untuk kakek tersayang semoga mendapatkan tempat terindah disana. Kakek, terima kasih atas semua yang telah kakek berikan kepadaku, Aku sayang kakek.