Full Gospel Indonesia

Info

 
 

Files

 

Siaran

 

 

 

 

 

Spiritual Leadership - 3

Servant Leadership
(Kepemimpinan Hamba)

David Yonggi Cho

Akhir-akhir ini, minat terhadap kepemimpinan telah meningkat hingga pada klimaksnya dalam setiap segi dari masyarakat kita. Kita selalu menemukan buku tentang kepemimpinan yang baru diterbitkan. Ini menunjukkan pentingnya suatu kepemimpinan.

Pada tahun 1965, setelah bebas dari Federation of Malaysia, Singapura bukanlah tempat yang layak untuk ditinggali. Prostitusi, penyalahgunaan obat-obatan, perjudian, kemiskinan, dan korupsi ada dimana-mana. Tetapi di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew selama kurang lebih tiga puluh tahun, Singapura menjadi sebuah negara yang maju. Pendapatan nasional per kapitanya sekarang adalah sekitar US $ 30.000. Sebaliknya, Filipina, yang merupakan negara paling kaya di Asia Tenggara pada tahun 1960an, mengalami penurunan yang tajam di bawah kepemimpinan Presiden Marcos. Kemakmuran dan kejatuhan suatu negara seringkali tergantung pada kepemimpinannya.

Dengan mengetahui pentingnya suatu kepemimpinan, banyak orang menjadi berambisi untuk menjadi seorang pemimpin. Bolehkah kita menginginkan suatu kursi kepemimpinan? Alkitab memperlihatkan ambisi tersebut dari segi positif. Paulus menulis tentang adanya ambisi untuk menjadi seorang pemimpin, "Menginginkan suatu kursi kepemimpinan merupakan suatu ambisi yang terhormat" (I Timotius 3:1). Paulus dengan jelas mengatakan bahwa ambisi untuk menjadi pemimpin merupakan hal yang terhormat. Bagaimana ambisis tersebut bisa menjadi hal yang terhormat? Ketika ibu dari anak-anak Zebedeus meminta kepada Yesus Kristus agar memberikan anak-anaknya suatu posisi yang tinggi, Yesus berkata, "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terdepan, hendaklah ia menjadi hambamu" (Matius 30:26-27). Jika demikian, bagaimana bisa kita mengatakan bahwa ambisi untuk menjadi seorang pemimpin merupakan hal yang terhormat? Kita dapat menemukan jawabannya di dalam prinsip-prinsip mengenai kepemimpinan hamba. Jika ambisi untuk menjadi seorang pemimpin bertujuan hanya untuk mendapatkan suatu posisi kepemimpinan, maka hal itu tidak bisa dikatakan sebagai hal yang terhormat. Tetapi, di dalam kepemimpinan hamba, para pemimpin harus mempunyai pikiran untuk "melayani terlebih dahulu" daripada mendapatkan posisi kepemimpinan. Jika kita menginginkan kepemimpinan dengan tujuan melayani orang lain, maka itu akan menjadi hal yang terhormat.

Pada suatu hari, Abraham Lincoln melihat perdagangan budak di New Orleans. Kejadian tersebut terus terbayang di pikirannya karena hal itu telah membuat ia terguncang. Pada saat itu, ia memutuskan untuk mempersiapkan diri agar bila waktunya tiba, ia dapat melakukan sesuatu untuk kemerdekaan para budak. Ia yakin bahwa kesempatan itu akan datang, dan ternyata kesempatan itu benar-benar datang.

Suatu posisi kepemimpinan seharusnya diberikan kepada mereka yang mempunyai visi untuk melayani orang lain, bukan kepada mereka yang mempunyai visi untuk mendapatkan posisi. Visi Lincoln adalah untuk melayani para budak dengan cara memerdekakan mereka. Jadi, visinya bukan untuk menjadi presiden Amerika. Jika kita berharap untuk menjadi pemimpin yang bertujuan melayani Tuhan dan sesama, maka itu akan menjadi ambisi yang terhormat.

Setiap orang berharap untuk menjadi besar, namun para pemimpin hamba berusaha untuk menjadi hamba terlebih dahulu daripada menjadi besar. Kepemimpinan hamba dimulai dengan keinginan diri sendiri untuk melayani. Itulah yang Yesus Kristus minta dari kita.

"Kamu tahu bahwa mereka yang disebut sebagai pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tetapi tidaklah demikian dengan kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terdepan, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya" (Markus 10:42-44).

"Raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan hendaklah yang memimpin sebagai pelayan" (Lukas 22:25-26)

Kita mungkin memperdebatkan istilah "pemimpin hamba". Istilah ini merupakan istilah paradoks (berlawanan). Kita menunjuk pada istilah pemimpin sebagai seorang yang berkuasa dan dapat mengendalikan orang lain, dan istilah hamba sebagai seorang yang tunduk/patuh. Arti "pemimpin" kelihatan berlawanan dengan arti "hamba". Tetapi Yesus Kristus menyamakan istilah "hamba" dengan "kemegahan (greatness)". Yesus mengajarkan bahwa kemegahan dapat diraih hanya dengan melayani orang lain. Kemegahan dapat diraih dengan menghindarinya, bukan dengan mengejarnya. Ini merupakan prinsip kepemimpinan yang diberikan Tuhan kepada kita. Bahkan Yesus Kristus sendiri, Anak Allah yang memiliki seluruh otoritas di bumi dan di sorga, mau melayani. (Lukas 22:27)

Para pemimpin akan dihargai karena pelayanan mereka terhadap orang lain. Anak Allah yang datang untuk melayani kita dan telah melayani kita hingga kematianNya, telah menjadi Raja atas segala raja. Kita juga menemukan prinsip yang sama dalam kisah Rehabeam. Setelah kematian Raha Salomo, segenap jemaah Israel datang kepada Raha Rehabeam dan berkata kepadanya, "Ayahmu telah memberatkan tanggungan kami, maka sekarang ringankanlah pekerjaan yang sukar yang dibebankan ayahmu dan tanggungan yang berat yang dipikulkannya kepada kami supaya kami menjadi hambamu." (I Raja-raja 12:4). Kemudian Rehabeam meminta nasehat dari para tua-tua yang telah mendampingi ayahnya yaitu Salomo selama hidup mereka. Rehabeam bertanya, "Apakah nasihatmu untuk menjawab rakyat itu?" Para tua-tua itu berkata, "Jika pada hari ini engkau mau menjadi hamba bagi rakyat, mau mengabdi kepada mereka dan menjawab mereka dengan kata-kata yang baik, maka mereka akan menjadi hamba-hambamu sepanjang waktu." (I Raja-raja 12:7). Ini merupakan prinsip Alkitabiah, bahwa jika seseorang ingin dilayani, maka ia harus melayani terlebih dahulu.

Ada seorang mahasiswa di sebuah universitas yang tidak seperti kebanyakan mahasiswa Korea. Ia tidak mempunyai etika yang baik ketika bertemu dengan orang lain. Kebanyakn para professor menganggapnya sebagai siswa yang berkelakuan buruk dan mereka tidak mempedulikannya. Tetapi seorang professor yang memiliki pikiran seorang hamba melakukan hal yang berbeda. Ia selalu menundukkan kepala kepada siswa tersebut kapanpun ia bertemu dengan mahasiswa itu. Karena merasa sungkan, mahasiswa itupun mengubah perilakunya. Tentu saja pemimpin yang seperti ini perlu dihargai.

Langkah pertama untuk menjadi seorang pemimpin hamba adalah dengan memenuhi kebutuhan orang lain dengan kasih dan perhatian kepada mereka. Setiap orang memiliki banyak sekali kebutuhan untuk dipenuhi. Kita sudah seharusnya menguatkan yang lemah, menyembuhkan yang sakit, mengobati yang terluka, mengembalikan yang tersesat, dan mencari yang terhilang. Pada zaman Yehezkiel, para pemimpin Israel tidak peduli dengan kebutuhan rakyatnya. Bahkan mereka memerintah rakyat Israel dengan kekerasan dan kekejaman, sehingga bangsa Israel terserak (Yehezkiel 34:2-5). Rakyat tidak akan menerimanya apabila para pemimpin menyalahgunakan kekuasaan mereka.

Kekuasaan dan otoritas diberikan kepada para pemimpin untuk melayani orang lain. Para pemimpin seharusnya memenuhi kebutuhan orang lain dengan menggunakan kekuasaan dan otoritas mereka. Melayani orang lain merupakan suatu bentuk ketaatan yang aktif terhadap Tuhan. Tuhan mengatakan bahwa barangsiapa ingin menjadi yang terdepan, hendaklah ia menjadi hamba, dan Ia menunjukkan bagaimana caranya menjadi seorang pemimpin hamba dengan mencuci kaki para muridNya. Jadi, melayani orang lain berarti tunduk kepada Allah.

Gagasan mengenai kepemimpinan hamba mungkin dapat dimengerti sebagai revolusi Copernicus bagi mereka yang masih berpikiran tradisional bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang memerintah dan mengendalikan orang lain dengan kekuasaan dan otoritas. Karena kepemimpinan hamba ini bertentangan dengan paradigma kepemimpinan tradisional, maka hal ini akan memakan waktu sebelum gagasan ini bisa diterima dan dijalankan oleh masyarakat kita. Tampaknya kepemimpinan tradisional merupakan cara yang mudah dan nyaman untuk dijalankan. Setiap orang akan lebih memilih cara yang sudah mereka kenal. Jadi, wajar saja jika di dalam Gereja sekalipun kita harus berjuang untuk menerapkan konsep ini. Namun, seperti bumi yang mengitari matahari, bahkan jauh sebelum fakta ini ditemukan, kepemimpinan hamba memiliki kekuatan. Bahkan mulai dari sekarang dan secara bertahap, kepemimpinan hamba akan diterima sebagai prinsip kepemimpinan yang diinginkan Tuhan, meskipun beberapa orang masih belum mau menerima prinsip ini. Jika kita adalah murid Yesus Kristus, maka tidak ada kepemimpinan yang lain bagi kita. Kepemimpinan yang Tuhan inginkan adalah kepemimpinan rohani, yaitu kepemimpinan hamba. Ia masih berada di antara kita sebagai seseorang yang melayani.

 
 
 
1
Hosted by www.Geocities.ws