Home > Artikel > Menyambut Pemberlakuan UU Hak Cipta

Menyambut Pemberlakuan UU Hak Cipta

Tanggal 29 Juli 2003 Undang-Undang Hak Cipta akan mulai diberlakukan, setelah disahkan setahun sebelumnya. Implikasinya, akan berdampak luas terhadap pengguna perangkat lunak di Indonesia. Jika selama ini, penggunaan perangkat lunak bajakan berjalan tanpa hambatan, setelah pemberlakuan UU ini akan mulai menemui kendala. Konon, polisi dan penegak hukum berhak melakukan razia tanpa harus dilapori dulu (bukan delik aduan). Ada harapan bagi pembuat perangkat lunak internasional untuk mulai memanen hasil 'pemasyarakatan' perangkat lunak mereka selama ini.

Kasus yang mirip sempat terjadi sekitar tahun 1988, ketika aturan hak cipta untuk produk kaset diberlakukan. Kaset barat yang dulunya 100% bajakan segera berganti produk resmi. Lebih dari 13 tahun berlalu, dan kini kita sudah terbiasa dengan aturan itu. Mungkin kita bisa berharap hal yang sama untuk perangkat lunak komputer, benarkah? Tunggu dulu, siapapun tahu jika kaset, CD, atau VCD/DVD asli dijual dengan harga internasional, maka tidak akan laku. Harga kaset, CD, VCD, dan DVD yang beredar di Indonesia sangat berbeda dengan yang dijual di luar negeri. Maka perhatikanlah peringatan pada sampul kaset/CD, yang menyebutkan bahwa produk itu hanya untuk dijual di Indonesia. Jadi, ada kebijakan price discrimination di sini.

Lalu mengapa hal yang sama tidk diterapkan untuk perangkat lunak komputer? Apakah para pembuatnya terlalu serakah untuk sekadar memotong margin keuntungannya? Jika kita bandingkan dengan harga kaset/CD yang di luar negeri berkisar $ 10 - 20 , di Indonesia hanya dijual seharga $ 3 - 9, jadi ada reduksi harga mencpai hampir 50 persen. Maslahnya, mungkin, adalah sistem lisensi perangkat lunak komputer yang terlalu rumit. Penghitungan lisensi per mesin, per user, atau per jaringan, belum lagi pembelian bundel/paket dengan perangkat keras dan biaya pembaruan (upgrade). Berbeda dengan kaset/CD yang hanya ada satu lisensi, yaitu beli putus, meskipun akhir-akhir ini industri musik mulai sibuk melindungi rilis album terbaru dengan teknologi mahal dan rumit yang ujung-ujungnya malah menyulitkan konsumennya.

Lalu kita mulai sedikit eskapis dengan mengajukan alternatif baru: Linux dan perangkat lunak bebas (free software) dan open source. Tapi usaha menuju arah itu tidak serius dilakukan. Pemerintah melalui BPPT mengembangkan WinBI, namun tidak mampu memasyarakatkannya. Instansi pemerintah sebenarnya bisa menjadi percontohan untuk itu. Penghematan yang dihasilkan di masa mendatang akan mengalahkan kerepotan transisi dan pelatihan ulang yang harus dilakukan sekarang juga. Institusi pendidikan yang seharusnya menjadi lokomotif pun bersikap setengah hati. Semua itu hanya gara-gara mereka sudah meneken MoU dengan perusahaan perangkat lunak raksasa. Pemasyarakatan UU Hak Cipta pun dilakukan secara sporadis dan tidak terarah. Seharusnya ada rencana sejak UU ini disahkan setahun lalu. Mulai pemasyarakatan UU, pemassalan perangkat lunak sah (baik komersial maupun bebas), kampanye besar-besaran melalui media massa, sampai road show di berbagai even pameran. Apa yang terjadi? sebulan lagi UU diberlakukan dan kita masih terkaget-kaget.

Pihak pembuat perangkat lunak komersial pun tenang-tenang saja. Sebagai pihak yang sangat diuntungkan dengan pemberlakuan UU tersebut, mereka mulai menghitung devisa yang bakal tersedot ke kantung mereka. Apa mereka yakin dengan hal itu? Apakah mereka tidak menghitung perilaku masyarakat yang seringkali mencari alternatif jangka pendek untuk mengatasi masalah? Apakah mereka berani bertaruh berapa persen pengguna yang akan suka rela membeli lisensi perangkat lunak sah dengan harga pasar (eceran)? Mereka menggunakan kata-kata yang seram dalam memerangi pembajakan, kata-kata merampok, merampas, mencuri, sampai penghisap darah para programer. Dan mereka pulalah yang menikmati hasilnya selama ini.

Padahal jika saja mereka mau sedikit mengalah, dengan memberikan perangkat lunak versi lama secara gratis atau nyaris gratis, memutihkan lisensi perangkat lunak dengan harga wajar (price discrimination), atau dengan ekstrem menarik garis pemisah antara perangkat lunak masa kini dengan masa datang (setelah 23 Juli 2003), mungkin mereka akan menikmati apa yang mereka lewatkan selama ini. Mereka akan lebih sedikit menghabiskan energi dibandingkan menangkapi para pembajak, penjual, dan pemakai perangkat lunak bajakan, menyidangkannya, dan berusaha menjual perangkat lunak asli yang harganya lebih mahal daripada perangkat komputernya sendiri. Mereka bisa mulai dari kampus, para penjual komputer, para penjual CD program, yang saya yakin mereka mempunyai cukup sumber daya untuk itu.

Lalu bagaimana dengan para pejuang perangkat lunak bebas dan open source? Peluang justru terbuka lebar di sini. Sayangnya, tidak dimanfaatkan dengan baik. Rilis distro Linux berbahasa Indonesia seperti Trustix Merdeka dan WinBI seperti terhenti dan kurang dipublikasikan. Pemanfaatannya di instansi pemerintah dan institusi pendidikan seperti jalan di tempat. Linux selama ini hanya beredar di perusahaan sebagai sistem operasi jaringan, dan di kalangan mahasiswa dan peminat komputer, serta kalangan hacker. Inilah faktanya, karena masyarakat kita terbiasa meniru kebiasaan orang di sekitarnya, termasuk dalam menggunakan perangkat lunak komputer. Selama ini komputer identik dengan Windows, Office, Norton, Corel, Photoshop, AutoCAD, dan Winamp. Mengapa tidak bisa diubah ke Linux, OpenOffice, GIMP, Qcad, dan Xmms?

Artikel Terkait

back to index


Homepage ini seisinya © 2002-2007 oleh Imam Indra Prayudi

 

1