WEJANGAN-WEJANGAN KI AGENG SURYOMENTARAM

KESAKSIAN  Mr.  SUDJONO

HARIAN BERITA BUANA - Jumat, 10 Oktober 1975

BAIK KI AGENG SURYOMENTARAM MAUPUN GATOT MANGKUPRADJA MENGAJUKAN USUL KEPADA PEMERINTAH JEPANG PADA SAAT YANG HAMPIR BERSAMAAN TANPA DIKETAHUI SATU SAMA LAIN



BEBERAPA bulan terakhir ini dalam s.k. BERITA BUANA telah dimuat secara berturut-turut karangan-karangan yang menjurus kepada kontroversi yang berIarut-larut tentang siapakah sebenarnya yang pertama kali mengusulkan dibentuknya tentara PETA kepada Pemerintah Pendudukan Balatentara Jepang, Ki Ageng Suryomentaram ataukah Gatot Mangkupraja?

Karena saya kebetulan mengenal dari dekat pribadi kedua tokoh pejuang tersebut yang saya hormati dan hargai tinggi, walaupun masing-masing pada "plane" yang berlainan, mungkin apa yang akan saya utarakan berikut ini dapat menambah bahan penulisan sejarah yang harus dijernihkan.

Kira-kira setengah abad yang lalu sekitar tahun 1925, saya mulai mengenal Ki Ageng Suryomentaram sewaktu beliau bertempat tinggal di desa Bringin, beberapa Km sebelah atas dari kota Salatiga. Sebagai pemuda pelajar dari AMS B di Yogya dan kemudian mahasiswa RHS di Batavia, saya sering berlibur di kota yang sejuk itu, di rumah bapak Prawirohardjo, waktu itu guru Sekolah Guru Normal setempat. Bapak Prawirohardjo adalah paman saya, bukan ayah saya sebagaimana ditulis oleh Ki Asrar Wiryowinoto dalam Berita Buana tanggal 23 September 1975 yang lalu. Bersama-sama dengan putra-putra Bapak Prawirohardjo tersebut, Sdr.-sdr. Sawarno, Sarwono dan Suwadji, kami seringkali mendengarkan ceramah-ceramah atau wejangan-wejangan Ki Ageng di muka sekelompok pendengar yang kebanyakan terdiri dari rakyat wong cilik dari desa-desa sekitarnya. Kami sangat kagum akan cara hidup Pangeran yang telah meninggalkan keningratannya untuk hidup secara sangat sederhana di tengah-tengah rakyat jelata dan menyebarkan filsafah hidupnya: "ngelmu bejo" dan "mulur mungkreting karep" yang tampaknya membawa pepadang dan ketenangan kepada para pendengarnya. Pernah juga kami mengunjungi rumah beliau yang benar-benar sederhana, hampir ambruk, di mana kami diterima dalam pakaian sehari-hari berupa celana pendek, sehelai sinjang (kain panjang) yang disampirkan di atas pundaknya sebagai penahan dingin badan yang setengah telanjang itu. Walaupun demikian, suasana dan perangainya tetap gembira dan bijaksana.

Maka tidak mengherankan bila 20 tahun kemudian, tak lama setelah kedatangan saya di Jakarta dari Jepang bersama Osamu Butai pada tanggal 1 Maret 1942, Ki Ageng Suryomentaram tiba-tiba memasuki rumah saya di Jalan Diponegoro no.61, masih dengan busana seperti di atas, menengok teman lama yang beliau tidak lupakan. Waktu itu beliau memang bermaksud menghadap Pembesar Balatentara Jepang untuk menyampaikan suatu usul perihal pembentukan pasukan sukarela yang bersenjata, sebagai pembela Tanah Air.

Karena untuk soal-soal demikian sudah ada Empat Serangkai, 1. Ir. Sukarno, 2. Moh. Hatta, 3. Ki Hajar Dewantoro dan 4. Kyai Haji Mansur, maka saya langsung hubungkan Ki Ageng dengan Ki Hajar Dewantoro, yang tempat kediamannya paling dekat dengan rumah saya. Dengan tindakan ini, sebenarnya peran saya langsung mengenai soal PETA telah selesai. Namun secara tidak langsung saya juga selalu mengikuti perkembangan selanjutnya, walaupun tidak secara mendetil.

Dalam hubungan itu, pada garis besarnya saya dapat menyatakan kebenaran dari apa yang diutarakan oleh Dr. Grangsang Suryomentaram mengenai ayahnya dalam Berita Buana tanggal 19 Juli 1975, tentang pembentukan PETA.

Sdr. Gatot Mangkupraja saya kenal sebagai salah seorang dari empat serangkai lain (Ir. Sukarno, Maskum, Supriadinata dan Gatot Mangkupradja), yang dijatuhi hukuman penjara oleh Landraad Bandung karena dituduh melanggar WcS 153 bis dan 169.

Selain itu, waktu pada akhir tahun 1933 diadakan Konperensi Pan Asia yang pertama di Tokyo yang diprakarsai oleh Kokuryukai (Vack. Dragon Society) di bawah naungan mahagurunya Mitsuru Toyama, Gatot termasuk salah seorang dari pemuda-pemuda Indonesia yang menghadirinya. Sebagaimana diketahui, Kokuryukai inilah pencetus ide Kemakmuran Bersama di Asia Timur Raya menuju kemajuan ekonomi, kulturil dan politik bagi rakyat yang negaranya masih dijajah oleh bangsa kulit putih. Eksponen utama adalah Jenderal Araki yang pada waktu itu menjabat Menteri Pertahanan dalam kabinet Jepang. Cita-cita inilah yang akhirnya menjurus kepada militer-fasisme dan ekspansionisme yang menguasai seluruh kehidupan politik dan ekonomi bangsa Jepang hingga saat runtuhnya Kerajaan Jepang, setelah kalah dalam Perang Dunia II di bawah pimpinan Jenderal Tojo.

Apa yang dikutip oleh S. Notosiswoyo dalam Berita Buana tanggal 27 September 1975 tentang surat alm. Gatot Mangkupraja dalam majalah JAWA BARU No.20, tanggal 15 Oktober 1944, perihal usulnya untuk membentuk PETA, inipun saya dapat menyaksikan atas kebenarannya. Juga keterangan Takeomi Togashi yang telah mengantarkan Gatot pada tanggal 7 September 1943 ke Gunseikanbu untuk menyampaikan permohonannya kepada Kol. Yamamoto dari bagian umum, tidak perlu disangsikan kebenarannya. Kol. Yamamoto ini yang kemudian pada akhir pendudukan Jepang menjabat sebagai Gunseikan, adalah Jenderal pensiunan yang telah membantu usaha saya mencari makam para pahlawan PETA Blitar melalui korespondensi, hingga diketemukan di sekitar Ancol, Jakarta, beberapa tahun yang lalu.

Jadi apa yang telah dilakukan oleh kedua tokoh pejuang kemerdekaan yang kita kenal sebagai manusia-manusia yang jujur, penuh dedikasi serta bersedia berkorban guna kepentingan nusa dan bangsa itu, dalam mengusulkan pembentukan PETA, dapat kita nilai sebagai ketulusan motivasi sumbangsihnya kepada Ibu Pertiwi. Siapa yang lebih dahulu mengajukan usul kepada Pemerintah Pendudukan Jepang, menurut hemat saya tidak perlu dipersoalkan. Mungkin sekali hal itu terjadi secara simultan pada waktu yang kira-kira sama. Yang jelas kedua usul itu diajukan tanpa diketahui oleh masing-masing pengusulnya satu sama lain (onafhankelijk van elkaar). Namun ada suatu unsur yang sama dalam cara menulis atau menandatangani kedua surat permohonan itu, yaitu dengan tetesan darah.

Sekarang, 30 tahun kemudian, ditinjau dari perspektip yang agak jauh, permohonan yang ditulis dengan darah itu menimbulkan dugaan pada saya bahwa kedua tokoh itu, sadar ataupun tidak, telah terkena pengaruh bisikan halus dari orang-orang Jepang yang dekat pada mereka. Ki Ageng dekat dengan Asano, intelijen Jepang di Salatiga, sedangkan Gatot dengan Takeo Togashi di Cianjur dan kemudian dengan M. Yanagawa, pelatih utama dari PETA. Yanagawa dan Togashi ini bersama dengan beberapa sukarelawan lainnya merupakan semacam pasukan pelopor berani mati yang mendarat beberapa jam lebih dahulu di Merak dan menerobos langsung ke Bandung melalui Jasinga dan Cianjur pada tanggal 1 Maret 1942, sedangkan konvoi yang mengangkut keseluruhan Osamu Butai di bawah pimpinan Lt.Jen. Hitosyi Imamura berlabuh pada dini hari di teluk Banten, dekat desa Bojonegara.

Adapun petisi yang ditandai dengan darah pada permohonan itu adalah khas kebudayaan Jepang. Dan ide pembentukan pasukan sukarelawan sebagai pembantu tentara Jepang di daerah-daerah yang telah dikuasai olehnya itu, boleh dikatakan telah termasuk dalam rencana permulaan, merupakan sebagian dari program pelaksanaan cita-cita Kemakmuran Bersama di Asia Timur Raya. Maka tidak mustahil bahwa ide pembentukan PETA telah lahir di pusat pimpinan tertinggi Nampo So-Gun (Tentara untuk ke Selatan), di bawah pimpinan Jenderal Terauchi. Hanya pelaksanaannya disesuaikan dengan waktu dan iklim politik setempat, dan dicetuskan seakan-akan timbul sebagai keinginan yang spontan di kalangan rakyat di daerah masing-masing.

Berdasarkan renungan reflektip di atas, apa ada gunanya kita mempersoalkan siapa pencetus pertama ide pembentukan PETA di Indonesia?

Pada hakekatnya tiada suatu ide di kolong langit ini yang originil. Bagaimanapun seorang inventor barang baru merasa dirinya sebagai penemu yang pertama seringkali ternyata orang-orang sebelumnya di zaman purbakala sudah pernah mengetahuinya. Dan jika kita usut sampai ke akar-akarnya, akhirnya kita berkesimpulan bahwa semua ide itu berasal dari Satu Maha Ide, yang bersumber pada Yang Maha Esa.


Hosted by www.Geocities.ws

1