HOME

ISSN 1412-9183

Volume 3 Nomor 1, Maret 2004

 

JURNAL ILMIAH

LINGUA

 

 


 

PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

SEKOLAH TINGGI BAHASA ASING LIA JAKARTA

 

Penasihat

Sudibyo Siyam, M.A.

 

Penanggung Jawab

Dr. Ekayani R.M.L. Tobing

 

Penyunting Penyelia

Sri Suryanti, M.A.

 

Penyunting Pelaksana

Dewi A.Yudhasari, M.Hum.

Dwi Astuti Retno L., M.Hum.

Ismarita Ramayanti, S.Pd.

Vera Syamsi, M.Hum.

 

Penyunting Tamu/Penelaah Ahli

Dr. Agus Aris Munandar

Dr. Tommy Christomy

 

Sekretaris

Agus Wahyudin, S.Pd.

 

Tata Usaha

Tety Kurniati

 

Alamat Redaksi

Jalan Pengadegan Timur Raya No. 3

Pancoran, Jakarta 12770

Telepon (021) 79181051, Faksimile (021) 79181048

E-mail: [email protected]

 

 

 

 

ISSN 1412-9183

Volume 3 Nomor 1, Maret 2004

 

JURNAL ILMIAH

LINGUA

 

 


 

DAFTAR ISI

 

Jendela                                                    i—ii

 

Dinamika Kebudayaan Indonesia: Suatu Tinjauan Ringkas                  1—10

Agus Aris Munandar

 

Representasi “Perempuan Sukses” dalam Suplemen Gatra               11—22

26 April 2003

Rinie Handayanie

 

Kesulitan Mahasiswa STBA LIA dalam Menerjemahkan                 23—39

Idiom Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia

Sulistini Dwi Putranti

 

Standar Pengajaran Bahasa Jepang Tingkat Menengah                  40—55

di Wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabotabek)

Tetriana Sawitri

 

Sumbangan Kompetensi Gramatika terhadap Keterampilan      56—80

Berbicara: Survei dengan Pendekatan Analisis Korelasi Kanonik

Widiatmoko

 

Pedoman Penulisan Jurnal Ilmiah LINGUA

                  

 

Tahun 2004 ini diwarnai dengan hadirnya kembali Jurnal LINGUA Vol. 3 no. 1. Lima buah artikel ilmiah terbaik yang bertemakan bahasa dan budaya kami pilihkan untuk pembaca. Tiga dari lima artikel tersebut merupakan ringkasan hasil penelitian yang dilakukan di dalam dan luar kampus STBA LIA Jakarta. Artikel pertama adalah sebuah tinjauan ringkas namun sarat makna tentang dinamika kebudayaan Indonesia.  Artikel ini mengulas mulai dari sejarah kebudayaan Indonesia sampai dengan pengaruh asing yang masuk ke Indonesia. Dalam artikel kedua, penulis dengan jeli “membedah” sebuah suplemen tentang representasi perempuan sukses dalam sebuah media masa. Benarkah apa yang diklaimkan suplemen tersebut tentang paradigma baru dalam penelaahan jender?

Penelitian tentang penerjemahan idiom merupakan artikel ketiga jurnal ini. Penelitian yang dilaksanakan di kampus STBA LIA ini sangat informatif dan patut diketahui bukan hanya oleh sivitas akademika, tetapi juga oleh pembaca yang tertarik pada bidang ini. Artikel penelitian berikutnya menelaah standar pengajaran bahasa Jepang tingkat chukyuu atau menengah yang dipergunakan di wilayah Jabotabek. Penelitian ini sangat menarik mengingat cukup banyak lembaga pendidikan tinggi yang menawarkan program studi bahasa Jepang, namun masing-masing masih menentukan standarnya sendiri.  Jurnal ini diakhiri dengan sebuah artikel dengan pendekatan yang “berbeda”.  Di sini penulis berusaha memaparkan hubungan antarkompetensi gramatika dengan keterampilan berbicara, dimana penulis memperkenalkan penelitian yang menggunakan pendekatan analisis korelasi kanonik.

Cover jurnal kali ini adalah hasil goresan “Bung Iwan” yang mengibaratkan kehidupan itu seperti drama ataupun sebaliknya, di mana segala elemen budaya yang membentuk peri kehidupan setiap individu dan struktur sosialnya selalu lahir, tumbuh, mati tanpa dapat ditentukan tempat dan kalanya.

Semoga tulisan yang dipersembahkan pada jurnal kali ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

 

 

 

 

                                                                                                Redaksi

 

 

DINAMIKA KEBUDAYAAN INDONESIA:

Suatu Tinjauan Ringkas

Agus Aris Munandar

Universitas Indonesia

 

Abstrak

                Kebudayaan adalah suatu unsur yang kompleks. Walaupun memiliki wujud dan unsur yang universal, masing-masing negara memiliki kebudayaannya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari peradabannya. Perkembangan kebudayaan suatu negara dapat ditinjau secara kronologis menurut sejarahnya.

                Indonesia yang merupakan negara kepulauan mempunyai banyak suku dan masing-masing suku mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Selain itu, masuknya pengaruh kebudayaan asing juga memberikan warna bagi kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, kita harus mampu memilih dan mengubah pengaruh asing tersebut untuk disesuaikan dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan demikian manfaat kebudayaan asing tersebut akan lebih terasa, bukan sebaliknya.

 

Kata Kunci: budaya, peradaban, perkembangan, penetrasi, globalisasi

 
Abstract

                Culture is something complex. Despite its universal form and element, each country has its own  culture which can be seen clearly in its civilization. The development of a country can be seen chronologically according to its history.

Indonesia  which is an archipelago has many different tribes and each tribe also has different culture. Besides that, penetration from foreign culture gives color to Indonesian culture. Therefore, we have to be able to select and adjust the difference to our own culture. This way, the globalization will give more benefit rather than drawbacks.

 

Key words: culture, civilization, development, penetration, globalization

 

1.        Pendahuluan

Kepulauan Indonesia mempunyai lokasi geografis yang cukup strategis di wilayah Indonesia. Oleh karena itu berdasarkan berbagai data yang berhasil dikaji, dapat diketahui bahwa sejak periode prasejarah telah masuk berbagai anasir budaya luar ke tengah-tengah penduduk pulau-pulau Nusantara. Wilayah Indonesia dekat dengan Asia Tenggara daratan,  sebagai salah satu tempat dikembangkan kepandaian umat manusia yang penting, yaitu bercocok tanam pada sekitar 40.000 tahun yang lalu. Selain itu kepulauan Nusantara juga dapat dianggap sebagai “titian penghubung” antara wilayah daratan Asia dengan pulau-pulau kecil yang tersebar luas di wilayah Pasifik.

Akibat setting geografis seperti itu, Nusantara menjadi daerah terbuka yang dapat menerima berbagai pengaruh luar. Dalam perjalanan sejarahnya pengaruh luar yang masuk ke tengah-tengah masyarakat manusia penghuni kepulauan Nusantara dimulai sejak zaman prasejarah hingga masa kini. Berbagai pengaruh luar itu kemudian dipadukan dengan hasil-hasil kebudayan yang telah ada sebelumnya, maka berkembanglah suatu bentuk kebudayaan yang didukung oleh penduduk Nusantara di berbagai wilayah yang berbeda.

 

2.  Tiga Wujud Kebudayaan dan Tujuh Unsur Universalnya

Sungguh sangat banyak definisi tentang kebudayaan, namun satu sama lainnya sebenarnya mirip-mirip belaka. Definisi kebudayaan yang dipakai oleh para ahli antropologi adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar” Para ahli antropologi dan kebudayaan telah bersepakat bahwa kebudayaan manusia di mana pun di dunia pada dasarnya mempunyai tiga wujud saja, yaitu:

a)      Wujud pertama kebudayaan sebagai ide, gagasan, norma, aturan dan lain-lain yang sifatnya abstrak dan tidak dapat dilihat. Wujud pertama kebudayaan ini adanya dalam pemikiran atau benak manusia.

b)      Wujud kedua kebudayaan sebagai perilaku sosial yang bermakna, kebudayaan berwujud tingkah laku manusia yang mengakibatkan manusia dapat melakukan interaksi sosialnya satu dengan lainnya.

c)      Wujud ketiga kebudayaan adalah semua saja benda-benda hasil perbuatan manusia, benda-benda itu bersifat fisik oleh karena itu kebudayaan wujud ketiga sering pula disebut dengan kebudayaan materi.

 

Sementara itu berdasarkan penelitian yang mendalam dapat diketahui bahwa dalam setiap lingkup kebudayaan manapun di dunia terdapat 7 unsur universal yang sama. Ketujuh unsur itulah yang membangun dan membentuk suatu kebudayaan milik suku bangsa, bangsa atau negara tertentu. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah sebagai  berikut:

1.  Bahasa  

2.  Sistem Pengetahuan

3.  Organisasi Sosial

4.  Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

5.  Sistem Mata Pencaharian Hidup

6.  Kesenian

7.  Sistem Religi

 

Dalam masyarakat umum selain kebudayaan juga dikenal konsep peradaban (civilization). Sebenarnya terdapat perbedaan yang cukup jelas antara kebudayaan dan peradaban, sebab peradaban adalah bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan indah, misalnya: kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan, kemahiran menulis, organisasi negara, atau juga masyarakat perkotaan yang maju dan kompleks. Peradaban seringkali menjadi ukuran bahwa suatu bangsa/suku bangsa telah maju atau masih dalam tingkatan sederhana bahkan “primitif”.

 

3. Perubahan Kebudayaan

Dalam tiap lingkup kebudayaan selalu terjadi perubahan kebudayaan, ada yang bersifat mikro dan juga ada yang bersifat makro. Perubahan kebudayaan yang bersifat mikro lebih berkenaan dengan penambahan pengetahuan dan mental diri seorang individu sepanjang hidupnya. Perubahan secara mikro itu meliputi proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi.

Adapun perubahan yang bersifat makro berkenaan dengan suatu lingkup kebudayaan secara luas yang dikenal dalam suatu masyarakat. Perubahan makro lebih  mengenai unsur-unsur kebudayaan, baik yang hanya beberapa unsur saja atau bahkan ada yang mengenai ke tujuh unsurnya.  Secara umum perubahan kebudayaan dengan cara demikian tersebut dinamakan dengan difusi dan akulturasi. Batasan secara garis besar tentang difusi adalah: penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu lingkup kebudayaan ke lingkup kebudayaan lainnya.

Proses difusi terbagi dua macam, (a) difusi langsung, jika unsur-unsur kebudayaan tersebut langsung menyebar dari suatu lingkup kebudayaan pemberi ke lingkup kebudayaan penerima, dan (b) difusi tak langsung terjadi apabila unsur-unsur dari kebudayaan pemberi singgah dan berkembang dulu di suatu tempat untuk kemudian baru masuk ke lingkup kebudayaan penerima. Difusi tak langsung dapat juga menimbulkan suatu bentuk difusi berangkai, jika unsur-unsur kebudayaan yang telah diterima oleh suatu lingkup kebudayaan kemudian menyebar lagi pada lingkup-lingkup kebudayaan lainnya secara berkesinambungan.

Mengenai akulturasi pengertian yang telah disepakati oleh para ahli adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.

Apabila diperhatikan prosesnya akulturasi terjadi dalam dua cara, yaitu:

a.  Akulturasi damai (penetration pasifique), terjadi jika unsur-unsur kebudayaan asing dibawa secara damai tanpa paksaan dan disambut baik oleh masyarakat kebudayaan penerima.

b.  Akulturasi ekstrim, terjadi dengan kekerasan, perang, penaklukkan, akibatnya unsur-unsur kebudayaan asing dari pihak yang menang dipaksakan untuk diterima di tengah-tengah masyarakat yang dikalahkan.

Suatu konsep lainnya yang perlu diperhatikan adalah simbiotik (symbiotic) yang terjadi antara suku-suku bangsa yang masih hidup sederhana. Misalnya anggota-anggota masyarakat dari suatu suku bangsa melakukan perdagangan barter dengan anggota suku lainnya, mereka lalu kembali ke suku masing-masing tanpa melakukan pertukaran unsur budaya apapun.

 

4. Lapisan Kebudayaan di Nusantara

Secara garis besar lapisan kebudayaan di Nusantara sama dengan lapisan-lapisan kebudayaan yang dikenal di berbagai wilayah lainnya di dunia. Perbedaannya terdapat pada kronologi dimulainya suatu lapisan budaya dan detil-detilnya. Lapisan kebudayaan universal tersebut adalah periode prasejarahàprotosejarahàsejarah, yang hampir dirasakan oleh semua bangsa yang tinggal di wilayah tertentu di muka bumi ini. Jika dibuat perbandingan, maka bangsa Mesir kuno telah memasuki zaman sejarah, artinya telah mengenal aksara pada sekitar 4000 SM,  bangsa Cina memasuki era sejarah pada sekitar 2000 SM, dan penduduk India kuno telah mengenal aksara pada sekitar tahun 2500 SM, sedangkan  penduduk kepulauan Nusantara baru mengenal tulisan sekitar abad ke-4 M. Para ahli sejarah kebudayaan telah bersepakat bahwa untuk menandai zaman prasejarah dan zaman sejarah adalah ada atau tidaknya tulisan. Dalam zaman prasejarah masyarakat manusia sudah tentu telah mengenal kebudayaan, namun belum mengenal tulisan, sedangkan dalam periode sejarah masyarakat manusia telah mengenal tulisan untuk mencatat atau merekam segala sesuatu pengetahuan yang dianggapnya penting.

Suatu masa transisi dari babakan prasejarah ke sejarah disebut dengan masa protosejarah. Protosejarah mempunyai ciri sebagai berikut:

1.  Jika berita tentang suatu bangsa di suatu wilayah telah dicatat oleh bangsa lain yang telah mengenal tulisan, sedangkan bangsa yang beritanya dicatat itu masih belum mengenal tulisan.

2.  Jika di suatu wilayah sudah dikenal peninggalan yang mempunyai bentuk-bentuk seperti “tulisan”, tetapi belum dapat dibaca atau diartikan hingga saat ini.

 

Berdasarkan kriteria tersebut beberapa daerah di Nusantara juga pernah mengalami masa protosejarah, seperti berita tentang “pulau-pulau selatan” (Nusantara) yang telah dicatat oleh para musafir Cina. Para pedagang/pendeta dari Cina itu ada yang pernah berkunjung ke wilayah Nusantara dan mencatat beberapa hal yang dianggap menarik menurut pandangan mereka.

Lapisan kebudayaan di Indonesia secara umum akan terlihat pada bagan berikut:                        

      HINDU-BUDDHA

                                      Klasik         Klasik       Ker.

            1 M            4 M    Tua             Muda         Islam      Kolonial      Kemerdekaan    

 -----------|------------|-------------|-------------|-----------|-----------|--------    à

  PRASEJ.    PROTO-                      10                 15              17             1945

                       SEJ.                      

                                                S E J A R A H

Namun garis  perkembangan kebudayaan tersebut tidaklah unilinear dan sama persis pada setiap daerah di Indonesia. Bagan yang tergambar itu agaknya sesuai hanya untuk perkembangan kebudayaan di Jawa, sebab di beberapa daerah tertentu  ada yang tidak mengenal lapisan kebudayaan Hindu-Buddha terlebih dahulu, jadi langsung masa perkembangan Islam (misalnya Maluku, Kalimantan Tengah, dan Maluku Tengah); sedangkan di Bali tidak dikenal adanya lapisan kebudayaan Islam, dari masa prasejarah, Hindu-Buddha, masuk periode kolonial yang singkat lalu kemerdekaan. Begitupun di Papua (Irian Jaya) memiliki kebudayaan prasejarah yang relatif lebih lama jika dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia lainnya.

 

5. Teori-teori tentang Proses Masuknya Pengaruh Kebudayaan Asing   dan  Sumbangannya bagi Kebudayaan Indonesia

Berdasarkan bagan lapisan kebudayaan tersebut dapat diketahui bahwa pernah terjadi 3 kali proses masuknya unsur kebudayaan asing, yaitu masuknya budaya India Kuno, Islam, dan Eropa Barat (kolonial). Proses masuknya budaya India dijelaskan dengan teori Ksatrya (J.L.Moens, C.C.Berg, Mookerdji),  teori Vaisya (N.J.Krom), teori Brahmana (J.C.van Leeur, Nilakantha Shastri), teori Arus Berbalik (F.D.K.Bosch), dan  teori Gabungan berdasarkan peranan. Sedangkan proses masuknya agama Islam (saluran Islamisasi) dijelaskan dengan cara: perdagangan, perkawinan, kesenian, ulama yang berkharisma, pendidikan, dan tarekat. Adapun proses masuknya budaya Eropa Barat dengan cara perdagangan dan kolonialisme dengan semboyannya God, Glory, Gospel.

Hal-hal penting yang disumbangkan dari kebudayaan India Kuno adalah:

a.  Aksara Pallava yang merupakan huruf pertama kali yang dikenal oleh penduduk Nusantara.

b.  Agama Hindu-Buddha

c.  Sistem penghitungan angka tahun Saka

 

Kebudayaan Islam menyumbangkan beberapa anasirnya kepada bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia mendapat gairah baru untuk berkreasi sesuai dengan nafas keislaman. Anasir-anasir itu  antara lain,

a.  Agama Islam

b.  Huruf Arab

c.  Penghitungan kalender Hijriah

 

Kolonialisme bangsa-bangsa Eropa Barat menyumbangkan anasir kebudayaan antara lain sebagai berikut:

a.  Agama Krristen dan Katholik

b.  Huruf laatin

c.  Penghituungan tahun Masehi yang akhirnya menjadi kalender Internasional

d.  Sistem ppendidikan modern

e.  Sistem ppemerintahan modern

 

Dalam menerima pengaruh kebudayaan luar tersebut bangsa Indonesia ternyata mampu untuk memilih dan mengubah bentuk pengaruh asing untuk disesuaikan dengan kebudayaan yang telah dikembangkan sebelumnya, bentuk baru hasil percampuran itu lalu dapat dianggap sebagai hasil temuan bangsa Indonesia sendiri dan dianggap sebagai milik sendiri. Konsep tersebut lalu dirumuskan sebagai local genius (H.G.Quaritch Wales) yang ternyata telah menjadi penyaring masuknya pengaruh asing, hanya yang dirasakan bermanfaat saja yang diterima oleh bangsa Indonesia, hal-hal yang dianggap negatif dan bertentangan dengan pandangan yang telah dianut oleh masyarakat dapat ditolak atau tidak diterima.

Hal yang patut diperhatikan juga adalah bahwa penduduk Nusantara bukanlah penduduk yang barbar dan belum beradab ketika pertama kalii menerima pengaruh asing yang datang dari India. Penduduk Nusantara waktu itu memang masih hidup dalam periode prasejarah, namun pada babakan terakhir yaitu masa perundagian.  Menurut J.L.A. Brandes seorang ahli sejarah kebudayaan, penduduk Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya paling tidak telah mengenal sepuluh butir kepandaian sehingga mampu berinteraksi dengan orang-orang asing. Kesepuluh kepandaian itu adalah: (1) dapat membuat figur-figur (boneka) berwujud manusia atau hewan, (2)  mengembangkan seni hias (ornamen), (3) mengenal pengecoran logam, (4) mengenal instrumen musik, (5) mengenal perekonomian barter, (6) mengenal astronomi, (7) menguasai teknik navigasi, (8) mengenal tradisi lisan dalam menyampaikan pengetahuan (9) menguasai teknik irigasi, dan (10)  telah mengenal tata masyarakat yang teratur. Kesepuluh kepandaian itu lalu berkembang terus sesuai dengan datangnya pengaruh budaya asing yang masuk, seakan-akan benih di persemaian yang disirami oleh budaya-budaya asing akibatnya tumbuh dan berkembang terus.

 

6. Kebudayaan Indonesia Kini

Kebudayaan yang berkembang di Indonesia saat ini adalah hasil berbagai temuan (invention) bangsa Indonesia sendiri untuk kemudian dikembangkan terus bersamaan dengan lapisan demi lapisan kebudayaan luar yang masuk. Kebudayaan Indonesia adalah hasil dialog panjang antara kebudayaan yang telah dikembangkan di masa silam oleh nenek moyang dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Penyaringan dan dialog itu terus terjadi tanpa henti hingga saat ini.

Pada saat ini orang tidak akan dapat memahami dengan mudah tumbuh kembangnya suatu kebudayaan di suatu wilayah Indonesia tanpa mengerti akar sejarah kebudayaan yang telah tumbuh di masa silam. Akan halnya pengaruh globalisasi yang deras menerjang masuk hendaknya disikapi dengan arif, yaitu bahwa “globalisasi” itu pernah pula terjadi di masa silam sesuai dengan bobotnya masa silam. Kolonialisasi adalah upaya bentuk “globalisasi”  yang juga dilaksanakan oleh bangsa-bangsa Eropa yang kebudayaannya relatif “maju” waktu itu. Tetapi bangsa Indonesia dapat mengatasinya dengan baik dan menjadi bangsa Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pengaruh globalisasi adalah suatu tuntuan zaman yang tidak mungkin diingkari, tetapi dengan tetap berpegangan pada hakekat kebudayaan Indonesia yang tabah dalam menerima setiap pengaruh budaya luar, maka globalisasi agaknya tidak perlu dipandang secara pesimis.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ayatrohaedi (Penyunting). Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya, 

            1986.

 

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1985.

 

Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya, II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

 

Soekiman, Djoko. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat

Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII – Medio Abad XX). Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000.

 

Soemadio, Bambang (Peyunting). Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuno.

            Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

 

REPRESENTASI “PEREMPUAN SUKSES” DALAM SUPLEMEN GATRA 26 APRIL 2003

 

Rinie Handayanie

[email protected]

 

Abstrak

Gatra, sebuah majalah mingguan di Indonesia, menerbitkan suplemen dalam rangka memperingati hari Kartini 2003. Kartini dianggap sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia. Liputan tersebut dikatakan memiliki angle yang berbeda dalam membedah wanita yang dianggap sukses di Indonesia. Penulis menganalisis representasi wanita sukses Indonesia versi suplemen Gatra tersebut. Ternyata representasi wanita sukses dalam suplemen tersebut masih menggunakan paradigma lama, yakni, wanita sukses adalah wanita yang berhasil dalam karirnya sekaligus mampu membina keluarganya. Liputan tersebut juga mengukuhkan stereotip bahwa wanita selalu terkait dengan dunia kecantikan dan keluarga.

 

Kata kunci  :  Representasi, perempuan sukses, stereotip.

 

 

Abstract

Gatra, an Indonesian weekly magazine, published a supplementary article on women in the framework of with the commemoration of Kartini Day 2003. Kartini is considered as an icon of women struggle in Indonesia. The article claims to have a different way of seeing women considered to be successful in Indonesia. The writer analyzes the representation of successful Indonesian women in the coverage and found out that the representation of those successful women is nonetheless still built in the same- old dominant paradigm: women, no matter how triumphant they are with their career, will never be considered successful unless they do well with their families. Thus, it affirms the stereotype saying that women are always related to beauty and family matters.  

 

Key words :   Representation, successful women, stereotype.

 

Saying what happened is an angle of saying – the angle of saying what is important

 

(Seamus Heaney)[1]

1.      Pendahuluan

Dalam rangka memperingati hari Kartini 21 April 2003, majalah mingguan Gatra menampilkan sebuah suplemen  berjudul “Jejak Langkah Wanita Tiga Zaman”. Suplemen ini disebutkan memiliki angle yang berbeda dalam “membedah dunia wanita”. Di dalamnya terdapat liputan mengenai kehidupan para wanita yang dianggap sukses mulai dari rahasia keberhasilan mereka hingga definisi wanita sukses itu sendiri. Tulisan ini akan menganalisis konstruksi representasi wanita sukses yang ditampilkan dalam suplemen majalah Gatra 26 April 2003. Wanita sukses, yang menurut Gatra kali ini dilihat dari sudut yang berbeda, direpresentasikan sebagai wanita yang mampu berkecimpung dalam karirnya sekaligus menjalani peran sebagai ibu rumah tangga yang sudah dianggap menjadi kodratnya.

 

2.   Analisis

2.1. Representasi perempuan sukses melalui artikel, foto, dan  tampilan    halaman

Operasi pembentukan representasi wanita sukses ini bekerja melalui medium bahasa tulisan dan materi visual penunjang lainnya seperti foto dan gambar. Bahasa bekerja melalui representasi (Hall1997: 4-5), dimana apa yang kita ucapkan, tuliskan maupun gambarkan merupakan representasi dari ide, gagasan, konsep maupun perasaan kita. Dengan demikian yang menjadi lebih penting dan menarik adalah bagaimana bahasa merepresentasikan gagasan untuk menghasilkan konstruksi wanita sukses dalam suplemen Gatra, mengingat definisi wanita sukses sebenarnya dapat dibangun dari bermacam pola pikir.

Gatra, sebagai sebuah majalah yang memiliki visi dan misinya yang spesifik, haruslah memilih sekumpulan pola pikir yang dianggap tepat untuk mewakili representasi wanita sukses di Indonesia. Oleh karenanya terjadilah proses seleksi, pengaturan bahasa dan sudut pandang sehingga ideologi wanita sukses yang disampaikan diharapkan dapat ‘dibaca’ atau diinterpretasikan oleh pembaca seperti yang dimaksud oleh Gatra. Simpson (1993: 6) menyatakan bahwa bahasa bekerja dalam dimensi sosial yang melingkupinya, maka bahasa reflects dan bahkan constructs ideologi. Usaha pembentukan dan diseminasi ideologi ini dilakukan sedemikian rupa sehingga dianggap menjadi sebuah kebenaran yang dapat diterima oleh masyarakat (pembaca). Di sinilah telah terjadi proses naturalization, ketika teks yang dihadirkan nampaknya bebas nilai dan mengandung kebenaran par excellence. Tulisan ini tidak bersifat kasuis dengan berusaha membenarkan ataupun menyalahkan cara pandang tertentu. Tulisan ini hanya akan mengungkap konstruksi ideologis representasi wanita sukses versi Gatra.

Menyimak halaman tiga yang berisi “Serambi”, semacam kata pengantar suplemen ini beserta daftar isi dan iklan yang menyertainya, saya sudah dapat menyimpulkan secara sederhana apa yang dimaksud oleh Gatra sebagai ‘dunia wanita’. Dunia wanita (sukses) adalah sebuah dunia yang memiliki entitas terkait dengan busana, mode, urusan perawatan tubuh, bisnis, dunia hiburan, dan status sebagai seorang ibu rumah tangga. Cara pandang seperti ini sebenarnya merupakan pola lama dan dominan dalam memahami dan memposisikan wanita. Paradigma berpikir semacam ini memarjinalkan wanita sebagai individu yang, misalnya, akrab dan mampu berkecimpung dalam dunia akademis.

            Serangkaian foto yang dihadirkan pada halaman-halaman berikutnya juga turut menentukan jenis wanita sukses versi Gatra. Foto, baik dalam iklan maupun dalam artikel suplemen, layak untuk dianalisis karena adanya proses seleksi dalam pemuatannya. Untuk membuat makna lebih terarah, foto diberi teks penyerta lainnya seperti judul ataupun keterangan. Hal ini sesuai dengan yang diungkap oleh Roland Barthes:

“...the structure of the photograph is not an isolated structure; it is in communication with at least one other structure, namely the text-title, caption, or article-accompanying every press photograph”.[2]

Foto Martha Tilaar bila dihadirkan sendiri tanpa teks penyerta apapun akan dapat dimaknai beragam. Foto tersebut dapat dimaknai sebagai seorang wanita, seorang ibu, seorang pengusaha, seorang yang mungkin tak dikenal, seorang warga negara Indonesia, bahkan mungkin seorang manusia penghuni bumi. Namun ketika foto tersebut ditempatkan dalam suplemen Gatra dan dalam artikel mengenai wanita sukses, maka foto tersebut dimaknai lebih terarah sebagai contoh wanita sukses Indonesia.

Representasi wanita sukses lebih lanjut dimaknai oleh suplemen Gatra sebagai perempuan yang sukses berkarir dan mampu ‘menjaga’ rumah tangganya. Dalam “Cerita Utama” Gatra menampilkan sekilas profil Dr. Martha Tilaar, Dr. Retno Iswari dan Gayatri Rawit, yang disebut sebagai wanita sukses dan memiliki pandangan bahwa “sukses dalam karir akan kehilangan arti manakala mereka gagal menjadi istri yang baik dan ibu yang berguna bagi anak-anaknya” (hlm.5). Definisi “sukses berkarir” yang dimaksud adalah keberhasilan menempati posisi tinggi dalam hirarki jabatan perusahaan. Sedangkan definisi “istri yang baik dan Ibu yang berguna” sangat erat dikaitkan jargon “kodrat wanita”. Dari serangkaian artikel yang disajikan, istri yang dianggap baik adalah istri yang mampu mengerem suami dari tindak korupsi (8), menempatkan suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga yang harus dihormati, dilayani, dijaga dan dimuliakan sekalipun penghasilan sang istri besarnya ribuan kali dari suaminya (19). Lalu ibu yang berguna bagi anak-anaknya adalah ibu yang memiliki jiwa entrepeneurship dan mampu mewariskan kepada anak-anaknya, yang mampu mengerem anak-anaknya dari perbuatan yang tidak benar, mengajak anak ke tempat kerja (lokasi syuting), mampu menerapkan disiplin pada anak-anaknya, serta mampu memberikan kebebasan (misalnya kebebasan dalam berpendapat atau menentukan arah hidup masing-masing).

Patut diperhatikan bahwa ada hal-hal yang tidak diungkapkan di atas. Suplemen Gatra tidak mengulas sulitnya bagi wanita untuk mencapai posisi karir yang tinggi dalam sebuah perusahaan. Hal ini menjadi penting mengingat sebagian besar profil wanita ‘kantoran’ yang ditampilkan dalam suplemen tersebut bekerja pada perusahaan dimana para wanita itu menjadi perintis bisnisnya. Dengan demikian tidaklah terlalu mengherankan bila mereka mampu menduduki posisi yang tinggi pada perusahaan masing-masing.

Hal yang tidak dikatakan lainnya adalah bahwa wanita pun harus dihormati, terlepas dari besarnya gaji yang mereka peroleh dibandingkan suaminya, ataupun jika mereka tidak memiliki penghasilan sendiri. Teks hanya menyapa dan menginduksikan ideologi kepada wanita untuk memperlakukan suami mereka sebaik mungkin, apalagi jika kemampuan ekonomi mereka melebihi kemampuan suami. Mengingat suplemen ini ditujukan untuk merayakan kesuksesan kaum wanita, maka patut dipertimbangkan pijakan awal untuk berpikir dan bertindak. Setidaknya ada upaya untuk memasukkan pemikiran yang beranjak dari posisi pria yang harus menghormati wanita pula. Pola berpikir ini akan membuat wanita tidak merasa bersalah atau bergantung pada suami mengenai karir dan besar gaji yang diterima. Bila tidak, teks ini hanyalah merupakan bagian yang sangat kecil dari daftar yang sangat panjang mengenai dominasi pria  terhadap hak yang dimiliki kaum perempuan (hak untuk dihormati dan berkecimpung dalam dunia kerja).

Wanita sukses diibaratkan sebagai bunga. Hal ini mucul dalam tokoh Sarawati yang bertangan empat yang memegang sitar, tasbih, lontar dan bunga. Sitar dianggap sebagai simbol komunikasi, tasbih sebagai simbol keimanan, lontar adalah simbol pendidikan dan bunga dianggap simbol kodrat wanita. Konsep mengenai bunga ini dihadirkan dalam wujud teks penyerta artikel yang eye-catching, terletak di sudut kanan atas halaman, dalam bingkai dan huruf yang berlatar warna hijau (berbeda dengan latar artikel yang bewarna putih) dalam ukuran huruf yang sedikitnya tiga kali lebih besar dari huruf-huruf dalam artikel mengenai Sarawati tersebut, dengan dua gambar bunga, serta tulisan “Artinya, bagaimanapun wanita ibarat bunga yang harus tetap menjaga kodratnya,”. Inilah yang pada awal tulisan disinggung sebagai proses seleksi bahasa dan penggiringan makna sehingga menghasilkan kesan natural dan sudah selayaknya dianggap benar. Justru “kebenaran” ini lah yang dapat dipertanyakan mengingat pada kenyataannya interpretasi ‘bunga’ itu sendiri bisa beragam, mulai dari lambang keindahan, keharuman, hingga simbol yang mengingatkan bahwa wanita pun adalah mahluk hidup yang pada suatu saat akan layu, dan mati. Wanita hanya dilihat dari aspek keindahannya semata. Benar atau tidaknya wanita sebanding dengan bunga, konsep di atas telah mendominasi pola pikir keberadaan wanita yang sering dipandang dari penampilan lahiriah, bahkan bagi wanita yang dianggap sukses sekalipun.

 

2.2. Representasi perempuan sukses melalui iklan-iklan yang dimuat dalam suplemen

            Serangkaian iklan yang terdapat dalam suplemen ini semakin memperkukuh konstruksi representasi wanita sukses versi Gatra yang masih terpaku pada  hal yang berkenaan dengan penampilan fisik dan status sebagai ibu rumah tangga. Iklan- iklan tersebut adalah:

  1. Pembersih wajah Sari Ayu. Dalam iklan ini tidak satupun muncul kata wanita, namun karena selama ini yang menjadi model Sari Ayu adalah kebanyakan wanita (dalam iklan ini pun yang menjadi model seorang wanita), produk-produknya ditujukan mayoritas untuk wanita, hadir dalam suplemen mengenai wanita dan profil pengusaha kosmetik ini dimuat sebagai contoh wanita sukses (Martha Tilaar)- maka saya simpulkan iklan ini menyapa wanita, sekaligus menjadi elemen identitas representasi “wanita sukses”versi Gatra.
  2. Tempat latihan kebugaran. Serupa dengan iklan di atas, tidak ada kata “wanita” disebutkan dalam iklan ini. Hal ini tidak serta merta menjadi kesimpulan bahwa iklan ini tidak ditujukan pada wanita, karena adanya dua orang wanita di sana dengan sosok tubuh yang dianggap ideal menurut iklan ini, beserta seorang pria. Iklan ini pun memperkuat stereotip wanita ideal secara jasmani. Standar bentuk fisik representasi wanita sukses hadir dalam mayoritas dari sekumpulan foto yang dimuat dalam suplemen ini, langsing (setidaknya tidak terlalu gendut) dan terlihat menarik (dalam cara pandang tertentu yang dominan saat ini).
  3. Iklan Vitamin dengan para modelnya adalah Dewi Sandra, Krisdayanti, dan Nafa Urbach. Dengan format tampilan seperti ini sukar dibantah bahwa segmen yang disapa adalah wanita sekalipun narasi iklan melibatkan tokoh seorang pria pekerja. Justru poin inilah yang juga merupakan keunikan cara beroperasinya bahasa dalam membentuk representasi. Wacana pria pekerja sebagai target iklan ini termarjinalkan begitu iklan ini hadir dalam suplemen. Pertama, dari segi tampilan, foto ketiga model iklan lebih eye-catching dibandingkan narasi yang menyertainya. Pembaca sudah langsung digiring ke arah pemahaman bahwa mereka pun bisa dianggap wakil wanita sukses(dari dunia hiburan) yang sesuai dengan versi Gatra. Model utamanya, Krisdayanti, adalah seorang ibu rumah tangga yang sosoknya ditampilkan dalam salah satu artikel mengenai wanita sukses. Dia dianggap sukses karena karirnya sebagai penyanyi dan kemampuannya membagi waktu untuk anak-anaknya. Melalui konstruksi seperti ini, wanita yang tidak berumah tangga walaupun berhasil dalam karir, tidak digolongkan sebagai wanita sukses versi Gatra. Adanya tokoh pria pekerja dalam narasi iklan menekankan bahwa pria memang dianggap wajar untuk memiliki sebuah pekerjaan. Hal lain yang secara tak langsung ditekankan dalam iklan ini adalah perempuan sukses, harus memikirkan dan siap melayani pasangan (suaminya). Poin yang terakhir ini sangat bersesuaian dengan representasi wanita sukses versi Gatra.
  4. Iklan kosmetika Ristra, melengkapi proses pembentukan identitas wanita sukses (yang lagi-lagi tak bisa dilepaskan dari dunia kecantikan) dalam suplemen Gatra. Hal ini diperkuat dengan ditampilkannya profil sang peramu kosmetika Retno Iswari Tranggono dalam tulisan mengenai wanita sukses dalam suplemen tersebut. Gatra menganggapnya sebagai salah satu wanita sukses dengan memberi penekanan yang sangat mudah untuk diingat karena diletakkan di akhir tulisan. Pada halaman 15 tertulis: “Wanita, meskipun berpendidikan tinggi dan sukses berkarir, tak boleh lupa kodratnya sebagai istri dan ibu. Pendidikan boleh setinggi langit, karir boleh melaju pesat, tapi janganlah mengabaikan keluarga,” kata Retno tentang makna emansipasi wanita. Iklan berfungsi sebagai afirmasi representasi wanita sukses tidak bisa dilepaskan dari hubungannnya dengan suami (keluarga)
  5. Tempat terapi kecantikan dan kebugaran, dengan menggunakan model wanita di dalamnya. Produk yang diiklankan merupakan bagian dari konstruksi wanita sukses yang walaupun tidak secara eksplisit dikatakan, namun dimaknai memiliki penampilan fisik yang dianggap menarik. Wanita sukses adalah wanita yang mampu menjaga keindahan tubuhnya sesuai norma yang dominan saat ini.
  6. Tempat terapi Bio-Oksidatif, dengan gambar pasien terapi seorang wanita pula. Nomor lima (5) dan enam (6) merupakan pengukuh representasi wanita sukses yang selalu terkait dengan masalah kecantikan dan keindahan penampilan fisik.
  7. Bank Rakyat Indonesia (BRI), iklan yang menurut saya paling menarik untuk disimak, menampilkan advertorial dengan jalan menghadirkan sosok seorang wanita yang menduduki jabatan direktur serta tiga cerita dari tiga wanita yang memperoleh bantuan dana dari BRI. Sosok wanita yang menempati posisi Direktur tersebut adalah Gayatri Rawit, yang digambarkan pada artikel  berjudul ‘Cerita Utama” sebagai salah seorang wanita yang memiliki pandangan bahwa sukses dalam karir akan kehilangan arti manakala mereka gagal menjadi istri yang baik dan ibu yang berguna bagi anak-anaknya (hlm.5). Lalu cerita mengenai tiga orang wanita yang memperoleh bantuan dana dari BRI juga menampikan representasi wanita sukses serupa, yakni yang memiliki identitas sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pengusaha. Yang sangat menarik adalah foto iklan yang menampilkan seorang ibu rumah tangga bernama Christin Supriati, yang berpose seorang diri tanpa keluarganya. Namun narasi yang menyertai foto tersebut menyatakan,” Urusan banyak, tetapi keluarga tetap nomor satu” – sebuah pernyataan yang sekali lagi menunjukan bahwa indikator kesuksesan seorang wanita adalah ketika dia mampu mengurus keluarganya pula disamping mengelola usahanya. Pernyataan ini pun dipandang sebagai usaha untuk mengarahkan interpretasi atas materi visual yang disajikan. Walaupun dalam foto tersebut tidak diperlihatkan sosok si wanita beserta keluarganya, namun teks yang menyertainya berusaha membuat pembaca mampu memiliki pemahaman mengenai pentingnya keluarga bagi pembentukan identitas wanita yang sukses. Satu hal yang tidak kalah menariknya adalah adanya sebuah usaha untuk mendefinisikan arti emansipasi dalam iklan ini. Disebutkan bahwa emansipasi bukan hanya terbatas pada “rambut pendek, kepulan asap rokok dari bibir bergincu, atau sekedar menyumpah serapahi kaum lelaki.” Emansipasi dan kesetaraan gender wanita dilihat dari “Wanita yang seiring sejalan dengan kaum lelaki dalam mengolah hidup, membina keluarga dan berkarir.” (hlm.21) Dengan demikian dapat dimaknai (sekali lagi) bila salah satu unsur penentu kesuksesan wanita tersebut tidak terpenuhi, misalnya, wanita yang tidak memiliki identitas sebagai ibu rumah tangga (yang baik), maka wanita tersebut tidak termasuk representasi wanita yang sukses.
  8. Iklan obat flu Procold menampilkan sosok dua orang wanita, yang bisa saya anggap sebagai seorang Ibu dan seorang anak. Pada kemasan obat tersebut, tidak ada gambar wanita seorang pun, hanya gambar seorang pria yang sedang menyeka (atau memegang) hidungnya. Namun teks yang menyertai iklan tersebut membuat pembaca yang disapa termasuk wanita pula. Dengan teks “Bunda tahu yang pas buat flu” iklan ini mengukuhkan kembali bahwa identitas seorang wanita sukses tidak bisa dilepaskan dari kehidupan rumah tangga.
  9. Iklan perhiasan, letak halamannya berdampingan dengan rubrik ‘fashion’, yang menghadirkan makna perhiasan sebagai pelengkap berbusana wanita. Rubrik ‘fashion’ sendiri berperan dalam konstruksi identitas dan representasi wanita sukses yang secara tak langsung identik dengan upaya menjaga penampilan fisik.
  10. Iklan teh penyeimbang kadar kolesterol, pada halaman yang bersebelahan dengan rubrik ‘mode’. Tubuh yang “sehat” atau “ideal” akan selaras dengan mode dan fashion yang dihadirkan dalam suplemen ini. Produk yang berkenaan dengan bentuk tubuh yang ‘ideal’ semakin menunjukkan bahwa wanita (untuk dianggap sukses) tidak memiliki kekuasaan atas tubuhnya sendiri, karena wanita tersebut harus mengikuti standar ukuran fisik tertentu untuk diklasifikasikan sebagai wanita sukses.
  11. Iklan tabungan pendidikan berasuransi dengan model empat orang bayi. Salah satu bayi itu berpikir “Kalau aku Cih tenang aja...Mama kan punya Bung Didik!” yang menghasilkan makna bahwa urusan mengasuh anak hanya diserahkan kepada wanita sebagai ibu rumah tangga dan membingkai pola pikir bahwa kesuksesan wanita harus menyertakan ‘keberhasilannya’ di dalam rumah tangga. Beranjak dari pemikiran tersebut, wanita pun bisa dianggap tidak sukses bila suami sampai turun tangan untuk mengurus anak mereka.

 

3. Simpulan

Dari seluruh proses operasi representasi wanita sukses di atas, ada beberapa kalangan wanita yang tidak dimasukkan ke dalamnya. Tidak ada wanita yang berprofesi sebagai, misalnya, montir, polwan, ataupun kondektur. Gejala ini makin menunjukkan adanya seleksi elemen pembentuk identitas (yang meliputi seleksi profesi, penampilan fisik dan pendidikan) wanita sukses versi Gatra. Seleksi tersebut diterapkan pada iklan, foto artikel dan iklan, materi artikel, serta tampilan halaman.

Representasi wanita sukses versi Gatra ternyata tidak jauh berbeda dengan konsep wanita sukses yang telah dibangun dan mendominasi wacana ranah wanita selama ini. Kata ‘wanita’ itu sendiri tidak bergeser dari paradigma lama yang membuat mereka selalu identik dengan urusan kecantikan atau penampilan fisik dan rumah tangga, walaupun ada tema karir yang diangkat dalam suplemen ini. Usaha Gatra untuk menampilkan angle “khusus” yang menurutnya selama ini jarang dibicarakan, malah merupakan afirmasi konsep representasi wanita sukses yang selama ini diukur dari “keberhasilan” di dunia kerja dan rumah tangga. Sudut pandang yang dianggap “khusus” tersebut oleh Gatra pada akhirnya tidak merubah pandangan dimana ranah seorang wanita, bahkan wanita sukses, adalah ranah domestik yang tidak boleh ditinggalkan demi karir.

 

Daftar Pustaka

 

Hall, Stuart (ed). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications, 1997.

Simpson, Paul. Language, Ideology and Point of View. London, USA, Canada: Routledge, 1993.

Sontag, Susan. A Roland Barthes Reader. London : Vintage, 1993.

Suplemen Gatra, 26 April 2003.


 

[1] dalam Paul Simpson, Language and Ideology  (London, 1993) hlm. 1

[2] dalam Susan Sontag (ed.) , A Roland Barthes Reader ( London, 1993) hlm. 195

KESULITAN MAHASISWA STBA LIA DALAM MENERJEMAHKAN IDIOM BAHASA INGGRIS KE DALAM BAHASA INDONESIA

 

Sulistini Dwi Putranti

Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA Jakarta

 

Abstrak

Penelitian ini berupaya mengungkapkan jenis-jenis kesulitan yang dihadapi para mahasiswa STBA LIA Jakarta dalam menerjemahkan idiom bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Metode yang digunakan yaitu deskriptif analitis. Adapun populasi data kajiannya adalah para mahasiswa program strata satu dan diploma tiga yang telah mengambil mata kuliah Translation I. Sementara itu, empat puluh mahasiwa dari tiga kelas merupakan sampel yang diambil secara purposif. Hasilnya menunjukkan bahwa para mahasiswa mengalami kesulitan menerjemahkan idiom sehingga kurang mampu mengalihkan pesan dari Bahasa Sumber (Bsu) ke Bahasa Sasaran (Bsa). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti kekurangpahaman mahasiswa tentang teori terjemahan umum dan terjemahan idiom. Di samping itu, para mahasiswa tidak melakukan analisis teks, tidak menerapkan tahap-tahap penerjemahan, tidak mengetahui penelaahan object, image, dan sense. Kesulitan berikutnya adalah terbatasnya wawasan para mahasiwa tentang kebudayaan, khususnya Bsu. Terakhir, kelangkaan kamus idiom, baik Inggris maupun Indonesia, merupakan kesulitan referensi para mahasiswa menerjemahkan idiom bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

 

Kata kunci : Kesulitan, Menerjemahkan, Idiom

 

Abstract

This research tries to explain kinds of difficulties faced by the students of STBA LIA Jakarta in translating idiom from English to Indonesia.  The method that is used is descriptive analysis.  The population of the data is taken from the students of S1 and D3 programs who have taken Translation I as their subject.  The sample is purposively taken from forty students of three classes.  The result shows that students are facing difficulties in translating idiom therefore the message from Source Language (SL) is not well conveyed to Target Language (TL). There are several reasons that cause this difficulty:  students are lack of comprehension of theory of general translation and that of idiom. Then, they do not carry out text analysis, do not apply the proper steps of translating and do not study the object, image and sense in the idiom. Further, they have inadequate knowledge of the culture particulary the culture of the SL.  Finally, the limited number of idiom dictionaries whether in English or Indonesian is another difficulty in terms of reference that is faced by the students. 

 

Key Words: Difficulty, Translating, Idiom

 

 

1. Pendahuluan

Mahasiswa STBA LIA sering menghadapi kendala dalam menerjemahkan idiom bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Idiom banyak ditemukan dalam teks-teks yang harus mereka terjemahkan, dan sering kali mereka tidak memahami kata tersebut merupakan suatu idiom yang mempunyai arti yang sangat berbeda dengan kata asalnya. Kesalahan penerjemahan akan berakibat fatal pada hasil akhir, dan boleh jadi akan menyebabkan kesalahan interpretasi teks yang mengganggu keseluruhan pemahaman hasil penerjemahan. Hasil penerjemahan tersebut dapat menyimpang artinya dari teks asli sehingga terjadi kesalahan penerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Dengan kata lain, pesan yang ingin disampaikan dalam bahasa sumber tidak dapat disampaikan melalui bahasa sasaran dengan baik. Pemahaman bahasa, baik Bsu maupun Bsa, mutlak diperlukan oleh seorang penerjemah agar dapat menghasilkan terjemahan yang akurat dan wajar sehingga pesan sampai kepada sasarannya. Pemahaman bahasa yang baik membantu penerjemah mencari padanan yang sesuai dan tepat di dalam Bsa karena translation is constituted by a ‘double-binding’ relationship both to its source and to the communicative conditions of the receiving linguaculture, and it is the concept of equivalence which captures this relationship (House, 1997: 29). Penerjemahan merupakan hubungan dua pihak (antara Bsu dan Bsa) yang membutuhkan kerja sama yang baik sehingga dapat diperoleh hasil yang memuaskan. Konsep padananlah yang menyatukan hubungan antara keduanya.

Selain faktor pemahaman kedua bahasa, baik Bsu maupun Bsa, banyak hal penting lain yang harus diketahui oleh mahasiswa ketika akan menerjemahkan suatu idiom. Semua itu perlu diidentifikasi sehingga memudahkan mereka dalam memahami dan menerjemahkan ke dalam bahasa sasaran. Menerjemahkan suatu teks tidak hanya memerlukan kemampuan menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran, melainkan juga membutuhkan kemampuan pemahaman latar belakang budaya, sastra, agama, dan pengetahuan lain yang diperlukan. Hal tersebut tercermin dari kutipan berikut. “No two languages are ever sufficiently similar to be considered as representing the same social reality. The worlds in which different societies live are distinct worlds, not merely the same world with different labels attached” (Sapir qtd. in Bassnet, 1980: 13). Kenyataan sosial tidak akan dapat diterjemahkan secara mudah dan akurat ke dalam bahasa lain karena adanya perbedaan dunia tempat masyarakat tersebut hidup. Perbedaan dunia tersebut meliputi perbedaan adat-istiadat, budaya, hukum, aturan, dan sebagainya. Usaha menerjemahkan suatu teks perlu dilengkapi dengan pemahaman budaya dan hal-hal lain yang mendukung pemahaman keseluruhan proses penerjemahan agar tidak terjadi misinterpretation ‘kesalahan penerjemahan’. Hal ini diperkuat oleh Snell-Hornby yang mengatakan bahwa the concept of culture as a totality knowledge, proficiency and perception is fundamental in our approach to translation. If language is an integral part of culture, the translator needs not only proficiency in two languages, he must also be at home in two cultures (1995: 42). Selanjutnya, Snell-Hornby (1995) menegaskan karena bahasa merupakan bagian penting dari suatu kebudayaan, penerjemah harus mengetahui dan memahami juga kebudayaannya. Sejalan dengan Hornby, Machali juga menjelaskan bahwa menerjemahkan idiom memerlukan suatu teknik khusus yang dapat menghasilkan terjemahan yang fungsional dan mudah dipahami serta tidak melenceng dari bahasa sumber (2000: 87).

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti beminat menganalisis kesulitan mahasiswa STBA LIA dalam menerjemahkan idiom bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini sekaligus diharapkan dapat menemukan faktor-faktor yang menyulitkan mereka ketika menerjemahkan dari Bsa ke dalam Bsu.

 

2.      Permasalahan

Mahasiswa STBA LIA mempunyai kemampuan berbahasa Inggris yang cukup bagus. Ketika diminta menerjemahkan teks-teks sederhana dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, mereka tidak banyak menemui kesulitan. Kesulitan baru muncul apabila mereka harus menerjemahkan teks yang sedikit lebih kompleks serta memerlukan pemahaman budaya, misalnya yang berhubungan dengan idiom dan metafora. Kesulitan yang mereka hadapi tersebut sering menyebabkan kesalahan fatal dalam menerjemahkan.

Dari uraian di atas, penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan jenis-jenis kesulitan yang dihadapi mahasiswa STBA LIA dalam menerjemahkan idiom bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, dan apabila mungkin mencari jalan keluar dari kesulitan tersebut. Dengan demikian, mahasiswa dapat memperkecil risiko kesalahan penerjemahan yang akan datang.

 

3.  Metode Penelitian

            Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis yang dilakukan dalam beberapa tahap.

            Pertama, lembar soal, yang terdiri dari sepuluh kalimat, yang berisi berbagai macam idiom dibagikan kepada mahasiswa. Mereka juga diberi lembar kuesioner untuk diisi dan dikembalikan kepada peneliti. Idiom yang dipilih adalah idiom yang jarang muncul dalam teks sehari-hari dengan pertimbangan untuk menganalisis kemampuan sesungguhnya dari mahasiswa. Idiom yang sering muncul dalam teks atau yang sudah sering terdengar, misalnya look for, a pain in the ass, tidak dipilih karena dikhawatirkan mahasiswa kurang menunjukkan kemampuan dalam menganalisis teks dan menerjemahkannya. Kuesioner diberikan untuk menunjang penerjemahan sehingga selain dari hasil terjemahan, peneliti dapat melihat dan menganalisis pendapat pribadi mahasiswa.

            Kedua, Peneliti mengolah data dengan cara mengklasifikasikan hasil terjemahan ke dalam empat kategori, yaitu penerjemahan yang menggunakan idiom atau equivalen yang paling dekat (termasuk di dalamnya image yang sama dan penggunaan simile), penerjemahan harfiah, penerjemahan bebas, dan kesalahan penerjemahan.

            Ketiga, Hasil penahapan di atas dikombinasikan dengan jawaban pertanyaan. Hal ini dilakukan untuk mencari jawaban bagi permasalahan dan melihat kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi kesulitan tersebut. 

 

4. Data Kajian

            Penelitian ini melibatkan mahasiswa STBA LIA  program strata satu dan diploma tiga minimal sudah mengambil mata kuliah Translation I. Dari kedua program tersebut diambil sebanyak tiga kelas dengan masing-masing kelas berisi lebih kurang lima belas mahasiswa. Jumlah mahasiswa yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak sekitar empat puluh orang. Mahasiswa tersebut diberi sejumlah kalimat berbahasa Inggris yang berisi idiom dan harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Mereka juga diminta menjawab lembar kuesioner dan mengembalikannya  untuk dianalisis. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan pertimbangan bahwa mahasiswa yang sudah mengambil Translation I, yang materi pelajarannya meliputi teori penerjemahan, diharapkan sudah memahami dasar dan teori penerjemahan.

 

5. Kerangka Teori

Penelitian ini menggunakan kerangka teori  penerjemahan yang diberikan oleh Newmark (1988) tentang empat tingkat dalam teori tentang penerjemahan, yaitu (1) tingkat tekstual, (2) tingkat referensial, (3) tingkat kohesif, dan (4) tingkat kewajaran. Keempat tingkat penerjemahan tersebut perlu dilaksanakan oleh seorang penerjemah agar hasil terjemahannya baik sehingga pesan yang disampaikan tidak melenceng dari teks aslinya. Selain itu, seorang penerjemah yang akan menerjemahkan idiom perlu mengetahui teknik penerjemahan idiom dan tahap-tahap atau langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menghasilkan hasil terjemahan yang akurat. Penerjemahan idiom masuk dalam kategori penerjemahan metafora yang merupakan perbandingan antara objek dengan image yang mempunyai sense di antaranya.

Dalam menerjemahkan idiom, seorang penerjemah harus mampu mengidentifikasi yang mana yang merupakan obyek, dibandingkan dengan apa, dan persamaan apa yang terdapat pada keduanya. Pemilahan ini memudahkan penerjemah mencari padanan yang tepat dan meminimalkan kesalahan penerjemahan.

Menurut Newmark (1988) terdapat tujuh prosedur penerjemahan metafora (dalam kasus ini idiom) yang dapat dilakukan oleh seorang penerjemah. Ketujuh prosedur tersebut adalah:

(1)   mencari penggambaran yang sama di dalam Bsa,

(2)      mengganti penggambaran yang terdapat dalam Bsu dengan penggambaran baku yang ada di Bsa,

(3)      menerjemahkan metafora dengan menggunakan simile,

(4)      menerjemahkan metafora dengan simile dan kemudian diberi keterangan,

(5)      mengubah metafora menjadi arti yang sebenarnya atau sensenya,

(6)      menghapus metafora. Hal ini dapat dilakukan apabila metafora yang harus diterjemahkan sudah ada artinya di dalam kalimat sehingga penggunaan metaforanya dapat  dihilangkan tanpa mengubah artinya;

(7)      menggabungkan metafora dengan sense.

 

6. Analisis dan Temuan

Dari sepuluh kalimat yang harus diterjemahkan oleh empat puluh mahasiswa dapat dipilah-pilah sebagai berikut.

Kalimat pertama memuat idiom these books sell like hot cake. Sebanyak 17 mahasiswa menerjemahkannya menjadi ‘laris seperti kacang/pisang goreng’, 7 orang menerjemahkan secara harfiah menjadi ‘terjual seperti kue panas’, 2 orang salah menerjemahkan menjadi ‘terkenal, kue dadar’, dan 12 orang menerjemahkan secara bebas menjadi ‘laris atau sangat laris’. Hasil penerjemahan ini dapat dianalisis sebagai berikut. Sebanyak tujuh belas orang mahasiswa yang menerjemahkan menjadi ‘laris seperti pisang/kacang goreng’ telah melakukan proses identifikasi object dan image sehingga dapat mencari padanan yang tepat dalam Bsa. Mereka merujuk pada konteks sosial bahwa masyarakat Indonesia tidak terbiasa makan kue sebagai teman minum teh, melainkan kacang goreng atau pisang goreng. Dalam menjalani prosedur penerjemahan metafora, mahasiswa tersebut memilih prosedur yang kedua, yaitu menggunakan penggambaran baku yang ada di Bsa. Meskipun ada tujuh belas mahasiswa yang mampu mencari padanan yang tepat dalam menerjemahkan, belum dapat disimpulkan bahwa mereka benar-benar tahu prosedur  dan teori penerjemahan yang tepat. Sebanyak 12 orang mahasiswa yang menerjemahkan secara bebas dan 2 orang yang salah dalam menerjemahkan dapat dipastikan tidak memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang teori menerjemahkan metafora. Mereka juga tidak mengaitkan dengan konteks sosialnya. Hal ini dapat dibuktikan dari jawaban atas pertanyaan yang diajukan, apakah Anda memahami teori penerjemahan secara umum dan teori menerjemahkan idiom. Sebagian besar mahasiswa menyatakan belum menguasai teori atau tahu sedikit tentang teori, tetapi belum dapat menerapkan dalam menerjemahkan teks. Hanya ada delapan mahasiswa yang menyatakan tidak tahu sama sekali tentang teori penerjemahan.

Kalimat kedua yang mempunyai idiom try to sugar the pill a bit membuktikan bahwa sebagian besar (26 orang) mahasiswa cenderung berpaling kepada penerjemahan secara bebas, yang tidak berpijak pada image ataupun sense dari idiom tersebut. Sebagian besar mahasiswa menerjemahkannya menjadi ‘cobalah menenangkan dia, katakanlah dengan baik-baik, usahakan agar tidak terdengar buruk, cobalah untuk menyampaikan dengan hati-hati, dan janganlah dilebih-lebihkan’. Sebanyak tiga belas mahasiswa menerjemahkan secara salah menjadi ‘cobalah untuk menerima kenyataan, cobalah untuk memberikan pengobatan’, dan tidak menerjemahkan sama sekali. Seorang mahasiswa menerjemahkan secara harfiah menjadi ‘mencoba merasakan manisnya obat’. Dari kalimat yang kedua ini dapat dilihat bahwa mahasiswa tidak melakukan identifikasi object, image, dan sense. Apabila dapat memisahkan objectnya adalah masalah dan pembandingnya adalah sugar the pill, mahasiswa seharusnya mampu menelaah sensenya sehingga dapat mencari padanan yang tepat bagi idiom tersebut. Arti literal dari kata to sugar the pill adalah menutupi rasa pahit yang ditimbulkan oleh obat yang harus ditelan dengan memberi gula sehingga rasa pahitnya menjadi sedikit/banyak berkurang.

Idiom ketiga yang harus diterjemahkan adalah he’s a hard nut to crack. Sebanyak 23 mahasiswa menerjemahkan secara bebas  menjadi ‘dia sangat mengesalkan, dia orang yang susah diatur, dia orang yang sukar, orang yang keras, dia orang yang sama sekali tidak lembut’, dan beberapa terjemahan lain yang mirip dengan yang telah disebutkan tadi. Sebanyak 14 mahasiswa menerjemahkan secara harfiah menjadi ‘dia seperti kacang yang sulit untuk dikupas/ dibuka/ dipecahkan’, 3 mahasiswa menerjemahkan dengan menggunakan idiom lagi, yaitu ‘dia seorang kepala batu atau keras kepala, dan 23 mahasiswa menerjemahkan secara bebas. Hal terakhir ini menunjukkan bahwa mereka cenderung membuang idiom yang dianggap terlalu sukar untuk dicari padanannya dalam Bsa. Apabila merujuk pada prosedur penerjemahan yang disampaikan oleh Newmark, penerjemah memang diperbolehkan untuk menghilangkan idiom dengan syarat idiom tersebut membingungkan atau sudah ada keterangan lain sebelum atau sesudah idiom tersebut. Sebanyak empat belas mahasiswa menerjemahkan secara harfiah. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mempertimbangkan tingkat kewajaran hasil terjemahan. Mereka tidak melihat kejanggalan hasil terjemahannya karena sebenarnya ‘dia seperti kacang yang sukar untuk dikupas’ bukan merupakan kiasan yang terdapat di dalam bahasa Indonesia.

Kalimat keempat yaitu idiom no matter how much you try buttering him up. Sebanyak 32 mahasiswa menerjemahkan secara bebas menjadi ‘betapa pun kamu berusaha memujinya, seberapa besar usahamu menjilatnya, bagaimanapun kamu merayunya, tak peduli seberapa pun kamu membujuknya, seberapa banyak usahamu, betapa pun kamu mengganggunya’, dan kalimat-kalimat lain mempunyai arti mirip dengan kalimat di atas. Hanya empat mahasiswa menerjemahkan dengan menggunakan idiom lagi, yaitu ‘bagaimanapun kamu mengambil muka’. Empat mahasiswa lainnya tidak menerjemahkan idiom tersebut. Dari idiom ini dapat ditarik simpulan bahwa sebagian besar mahasiswa tidak mengaitkannya dengan konteks sosial masyarakat dalam Bsu tersebut berada. Proses seperti yang dilakukan idiom nomor satu seharusnya dapat dilaksanakan. Kalau hal ini tidak dilaksanakan, mahasiswa seharusnya dapat menelaah dan mampu mencari makna literal (dalam hal ini sense) dari image yang dipergunakan sehingga dapat mencari padanan yang tepat dalam Bsa.

Idiom yang kelima adalah sebagai berikut. Billy managed to impress the interviewer and brought home the bacon by getting the job. Hampir semua mahasiswa (sebanyak 36 orang) menerjemahkan menjadi ‘berhasil mendapatkan/memperoleh pekerjaan, membawa kabar gembira ke rumah dengan diterimanya dia bekerja, mengejutkan orang rumah karena berhasil diterima bekerja’.  Empat mahasiswa tidak menerjemahkan idiom tersebut. Dari idiom ini diperoleh simpulan bahwa mahasiswa cenderung melihat makna sesungguhnya idiom tersebut, dan tidak menghiraukan unsur-unsur lain yang ada di baliknya. Ini tidak berarti bahwa mahasiswa melakukan kesalahan dalam menerjemahkan idiom bring home the bacon, melainkan mahaiswa cenderung hanya mencari kata/kalimat terjemahan yang telah mereka kenal dengan baik.

Idiom yang keenam yaitu I won’t sell for mere peanuts. Idiom ini diterjemahkan oleh dua puluh mahasiswa secara harfiah, sedangkan sebagian lagi menerjemahkan secara bebas. Penerjemahan harfiah tersebut menjadi ‘saya tidak akan menjualnya hanya demi setumpuk kacang/kacang tanah belaka’. Penerjemahan bebas menjadi ‘demi tambahan uang/uang tambahan/uang lebih, tidak akan menjualnya sembarangan, tidak dijual untuk hal kecil’. Kedua puluh mahasiswa yang menerjemahkan secara harfiah tersebut tidak melihat dan tidak mempertimbangkan tingkat penerjemahan, terutama di tingkat kewajaran. Mereka tidak membaca ulang hasil terjemahannya yang sebenarnya terdengar sangat janggal. Mereka juga jelas tidak menelaah image peanuts  yang menunjukkan sesuatu yang murah dan banyak. Mahasiswa lainnya cenderung mencari yang mudah daripada harus menerapkan teori dan menganalisis teks yang membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Kacang sebenarnya menunjukkan suatu barang yang banyak dan biasanya tidak mahal harganya.

Idiom yang ketujuh adalah sebagai berikut. Gerry spilled the beans. Idiom ini diterjemahkan oleh 22 mahasiswa dengan padanan yang paling dekat dan menjadi ‘Gerry membocorkan rahasia, Gerry membuka rahasia, dan Gerry menceritakan rahasia’. Sebanyak empat belas anak menerjemahkan secara bebas menjadi ‘Gerry secara berbisik-bisik memberi-tahu, dengan tidak sengaja Gerry menceritakan/berbicara pada setiap orang’. Sisanya empat mahasiswa menerjemahkan secara harfiah menjadi ‘Gerry menumpahkan/menyebarkan kacang’. Dari hasil penerjemahan ini terlihat sebagian besar mahasiswa mampu memperoleh padanan yang paling dekat dalam Bsa karena memahami makna sesungguhnya. Pemberlakuan proses penerjemahan idiom belum tergambar secara jelas di dalam idiom ke tujuh ini. Keberhasilan mahasiswa mencari padanan yang paling dekat boleh jadi karena sudah terbiasa mendengar idiom tersebut, atau karena mereka memang telah melakukan tahapan penerjemahan dan menerapkan teori yang telah mereka pelajari. Masih adanya mahasiswa yang menerjemahkan secara literal (meskipun jumlahnya tidak banyak) menunjukkan ketidakmampuan mahasiswa tersebut menganalisis teks dan menelaah object, image, dan sense.

            Idiom yang kedelapan berbunyi  you gotta know on which side your bread is buttered. Idiom ini memang jarang terdengar dipakai secara umum, tetapi bukan berarti bahwa idiom ini tidak mungkin dicari padanannya. Dari empat puluh mahasiswa terdapat sembilan belas mahasiswa yang tidak menerjemahkan dan/atau salah menerjemahkan. Sebanyak delapan belas mahasiswa memilih terjemahan bebas dan ada tiga orang yang menerjemahkan secara harfiah. Terjemahan bebas menjadi ‘kamu harus mengetahui sisi mana yang menguntungkanmu, kamu harus tahu di pihak mana kamu berdiri, kamu akan mengetahui keuntunganmu, di sisi mana kamu bisa melihat’, dan terjemahan sejenis. Kelompok lain salah menerjemahkan menjadi ‘kamu harus tahu di mana letak kesalahanmu’, sebagian membiarkan bagian tersebut kosong dan tidak menerjemahkan. Sementara itu, ada yang menerjemahkan secara harfiah berbunyi ‘kamu harus tahu di sebelah mana rotimu diberi mentega’. Dari hasil penerjemahan ini terlihat mahasiswa cenderung melihat ke dalam kamus (umum) dan menerjemahkan sesuai dengan arti kata yang ada di dalam kamus. Apabila kalimat terdengar janggal (apabila menyadari kejanggalannya), mereka cenderung menebak artinya sesuai dengan pengertian saja. Kalimat di nomor delapan  ini memerlukan pemahaman budaya dari Bsu. Makanan pokok orang barat adalah roti. Roti tersebut biasanya diolesi mentega. Arti dari idiom on which side your bread is buttered adalah ‘siapa yang menyokong/menghidupimu’ (sehingga kamu tidak boleh membantah/melawannya). Apabila mau melakukan penelaahan object, image, dan sense, mereka akan mampu mencari padanan yang paling dekat. Lebih-lebih jika dapat mengaitkan dengan pemahaman budaya dan adat istiadat, mereka boleh jadi tidak akan mengalami kesulitan yang berarti.

            Idiom yang kesembilan adalah Don’t put all your eggs in one basket. Idiom ini diterjemahkan secara bebas oleh 19 mahasiswa, 13 mahasiswa menerjemahkan dengan menemukan padanan yang paling dekat, 4 mahasiswa menerjemahkan secara harfiah, dan 4 mahasiswa salah menerjemahkan dan atau tidak menerjemahkan. Padanan yang dipilih oleh sebagian besar mahasiswa adalah ‘jangan menaruh/meletakkan/menumpukan/ menumpukkan harapanmu pada satu orang saja, jangan mempertaruhkan segalanya pada satu orang saja, jangan menaruh seluruh harapanmu pada satu hal saja’, dan terjemahan lain yang sejenis. Mereka yang menerjemahkan secara harfiah adalah ‘jangan meletakkan semua telur di dalam satu keranjang’. Dengan melihat sensenya saja, seharusnya mahasiswa mampu dengan mudah memaknai kalimat don’t put all your eggs in one basket. Arti literal dari kalimat tersebut adalah ‘apabila banyak telur diletakkan di dalam satu keranjang, kemungkinan pecah/rusaknya semua telur sangat besar’. Paling tidak kebanyakan mahasiswa dapat merasakan makna berbahaya dari adanya banyak telur di dalam satu keranjang tersebut sehingga mereka dapat mencari padanan yang tepat. Mereka yang masih menerjemahkan secara literal, sekali lagi, terbukti mahasiswa tidak mengindahkan tingkat kewajaran hasil terjemahannya dan tidak berusaha supaya hasil terjemahannya tidak terdengar aneh atau janggal di dalam Bsa.

            Idiom yang terakhir sepertinya merupakan idiom yang paling mudah bagi mereka. Idiom tersebut adalah she’s the apple of your eye. Sebanyak empat orang menggunakan idiom lagi dalam menerjemahkannya, sedangkan sisanya mencari padanan yang paling dekat. Tidak ada seorang pun yang menerjemahkan secara harfiah dan atau membuat kesalahan dalam menerjemahkannya. Mereka mencari padanan yang paling dekat menerjemahkannya menjadi ‘dia adalah anak kesayanganmu, anak yang paling kamu sayangi/cintai’. Mereka yang memilih menggunakan idiom lagi adalah ‘dia merupakan buah hatimu, dia adalah biji matamu’. Dari idiom yang terakhir ini tergambar mahasiswa sebenarnya mampu mencari padanan yang paling dekat dalam Bsa, asal idiom tersebut sudah sering didengar, sering dijumpai dalam teks, atau percakapan sehari-hari. Ketika menemukan idiom seperti itu, mereka tidak menemukan kesulitan dalam menerjemahkan. Bahkan, mereka mampu menggunakan idiom  dalam Bsa yang mempunyai makna yang sama dengan idiom di dalam Bsu.

            Berdasarkan angket yang diberikan, semua mahasiswa setuju/menyatakan bahwa menerjemahkan idiom tidak dapat dilakukan secara harfiah. Hal ini mengherankan karena  hampir semua nomor ada beberapa mahasiswa yang menerjemahkan secara harfiah. Akan tetapi, kemudian mereka menyatakan bahwa seharusnya menerjemahkan idiom tersebut tidak seperti itu. Mereka mengingkari sendiri apa yang telah mereka lakukan. Sebanyak 34 mahasiswa menyatakan bahwa apabila menerjemahkan idiom secara harfiah, arti dalam Bsa akan menjadi lain dari Bsu. Dua orang mahasiswa menyatakan bahwa mereka mendasarkan hasil terjemahannya pada feeling. Yang mereka maksud dengan feeling di sini adalah ketepatan menganalisis padanan yang paling dekat dalam Bsa sehingga pesan yang ingin disampaikan tidak melenceng dari Bsu. Dari jawaban dua mahasiswa ini dapat ditarik simpulan bahwa kedua orang ini memahami betul tingkat kewajaran hasil terjemahan dan hasil terjemahan tidak boleh terdengar janggal atau aneh/tidak biasa dipergunakan dalam Bsa. Hampir semua mahasiswa menyatakan tidak menemukan kesulitan yang berarti dalam menerjemahkan idiom karena merasa telah menguasai bahasa dengan baik. Hal ini patut dipertanyakan sebab pernyataan mereka agak bertentangan dengan hasil terjemahan yang telah dilakukan. Meskipun mereka menyatakan tidak mendapat kesulitan yang berarti dalam menerjemahkan idiom tersebut, hasil terjemahan menunjukkan lebih dari 50% mahasiswa tidak mampu mencari padanan yang paling tepat dan akurat.

Di lain pihak, mahasiswa juga menyebut salah satu faktor utama kesulitan dalam menerjemahkan idiom adalah tidak adanya kamus yang memadai (di sini mereka menyebut perlu disediakan/mempunyai kamus khusus idiom yang lengkap). Mereka menyatakan bahwa kamus biasa seringkali tidak memadai dalam memberikan alternatif padanan yang tepat dalam menerjemahkan. Selain kamus, mereka juga menyatakan bahwa pengetahuan lain sangat diperlukan agar dapat menerjemahkan (idiom pada khususnya) dengan baik. Sebagian mereka menyarankan agar rajin bertanya kepada orang-orang yang mempunyai kemampuan lebih dan  pengalaman lebih baik dalam menerjemahkan apabila menemui kesulitan. Sebagian lain menyatakan seorang penerjemah harus rajin membaca, baik itu buku pengetahuan, koran, majalah, maupun bahan bacaan lain untuk memperluas pengetahuan. Mereka percaya bahwa dengan banyak membaca akan memudahkan menganalisis teks dan memindahkan pesan dari Bsu ke Bsa dengan baik. Sebagian besar mahasiswa menganggap seorang penerjemah harus berpengetahuan luas, tidak  berpengetahuan penerjemahan saja. Banyak berlatih menerjemahkan juga akan menolong mereka agar dapat menerjemahkan dengan baik.

Kesulitan utama bagi mahasiswa adalah keterbatasan dalam memahami dan menggunakan teori menerjemahkan. Sebagian besar mahasiswa (28 orang) menyatakan kurang mengerti teori penerjemahan dan teori penerjemahan idiom. Hanya delapan mahasiswa menyatakan tidak tahu apa-apa mengenai teori. Dalam melaksanakan proses terjemahan mereka lebih berpegang pada feeling yang telah disebut di atas untuk keakuratan hasil terjemahan. Sebagian mahasiswa mengaku tidak melakukan analisis teks sebelum mencoba menangkap pesan yang akan disampaikan ke dalam Bsa. Sebagian mahasiswa yang lain menyatakan mengetahui teori penerjemahan dan menggunakannya berdasarkan tahap-tahap penerjemahan meskipun diakui hasilnya tidak maksimal. Selain mahasiswa yang berpegang pada feeling, terdapat lima orang mahasiswa yang menganggap bahwa seorang penerjemah perlu mempunyai daya imajinasi yang tinggi agar dapat memperoleh hasil penerjemahan yang baik. Meskipun mahasiswa tersebut tidak menerangkan dengan detail apa maksud dan fungsi daya imajinasi tersebut, dapat disimpulkan maksudnya adalah melihat dengan lebih jauh latar belakang idiom tersebut. Di samping itu, penggunaan pemikiran mengapa atau bagaimana idiom tersebut terbentuk dapat mempermudah mencari padanan yang paling sesuai di dalam Bsanya. Seorang mahasiswa menyatakan bahwa idiom dalam bahasa Indonesia saja dia tidak mengerti apalagi idiom bahasa Inggris yang harus diterjemahkan.

 

7. Penutup

Berdasarkan analisis keseluruhan hasil penerjemahan dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

Pertama, Mahasiswa STBA secara umum tidak mengalami kesulitan dalam menerjemahkan idiom karena mempunyai kemampuan berbahasa Inggris yang cukup memadai sehingga dapat menerjemahkan dengan baik. Hal ini mungkin benar untuk penerjemahan teks umum, tetapi dalam menerjemahkan idiom terbukti mereka kurang mampu menangkap pesan dari Bsu untuk dipindahkan ke dalam Bsa.

            Kedua, sebagian besar mereka tidak memahami teori terjemahan umum, apalagi teori menerjemahkan idiom. Mereka juga tidak melakukan analisis teks dan tidak menerapkan tahap-tahap penerjemahan sehingga tidak mampu menangkap pesan dengan tepat dan meghasilkan terjemahan yang akurat. Di sini terlihat mereka tidak mengetahui penelaahan object, image, dan sense yang seharusnya dilakukan dalam menerjemahkan idiom. Yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah ini adalah memilih teori yang mudah diaplikasikan dan melatih mereka menggunakan teori-teori tersebut dalam praktik terjemahan secara bertahap. Mahasiswa juga diusahakan dilatih terus menerus menganalisis teks sebelum diberi tugas menerjemahkan teks.

Ketiga, kesulitan yang lain adalah tidak tersedianya kamus yang memadai, terutama kamus idiom yang besar dan lengkap. Mereka juga menghendaki disediakan kamus bahasa Indonesia yang lengkap untuk bahan referensi. Di sini PPM (Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat), baik Inggris, Indonesia, umum,  maupun idiom. Selain itu,  perpustakaan perlu mengoleksi buku-buku tentang teori penerjemahan sehingga mahasiswa tidak hanya tergantung pada dosen untuk memperoleh bahan referensi. Keragaman buku tentang teori terjemahan di perpustakaan akan merangsang mereka membaca sebanyak mungkin. Dengan demikian, mereka diharapkan mampu dan mudah mengaplikasikan teori penerjemahan dengan baik.

Keempat, kesulitan yang dijumpai mahasiswa yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan adalah terbatasnya wawasan mahasiswa, khususnya tentang budaya dan sebagainya. Keterbatasan pengetahuan ini disebabkan terbatasnya bahan bacaan mereka. Untuk kasus ini, dosen dapat mengingatkan mahasiswa tentang pelajaran yang telah diambil di semester sebelumnya, terutama mata kuliah yang menyangkut budaya, misalnya Telaah Pranata Masyarakat Inggris, Australia, dan  Amerika. Selain itu, mata kuliah sejarah juga sangat membantu mereka untuk mengetahui latar belakang suatu kejadian sebelum  menerjemahkan. Dosen dapat memotivasi mahasiswa untuk memperluas wawasan dan menambah pengetahuan dengan banyak membaca, menonton TV dan film, dan hal-hal lain yang sekiranya perlu.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bassnett, Susan. Translation Studies. London: Routledge, 1980.

House, Juliane. Translation Quality Assessment, A Model Revisited. Tubingen: Gunter Narr Verlag Tubingen, 1997.

Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo, 2000.

Newmark, Peter. A Textbook of Translation. New York: Prentice Hall, 1988.

Snell-Hornby, Mary. Translation Studies An Integrated Approach. Philadelphia: John Benjamins North America, 1995.

STANDAR PENGAJARAN BAHASA JEPANG TINGKAT MENENGAH

DI WILAYAH JAKARTA, BOGOR, TANGERANG, BEKASI (JABOTABEK)

 

Tetriana Sawitri

Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA Jakarta

 

Abstrak

Dewasa ini pengajaran bahasa Jepang semakin berkembang di Indonesia. Akan tetapi belum pernah ditelaah kembali apakah standar yang dipergunakan dalam pengajaran bahasa Jepang di Indonesia atau Jabotabek khususnya, untuk tingkat chuukyuu atau tingkat menengah sama. Juga belum diketahui apakah standar tersebut sesuai dengan standar yang berlaku di Jepang. Untuk mengetahui hal tersebut diadakanlah angket mengenai pengajaran tingkat menengah beserta buku ajar yang digunakan terhadap perguruan tinggi yang berada di wilayah Jabotabek. Sebagai hasilnya, standar yang diterapkan oleh perguruan tinggi di Jabotabek sesuai dengan syarat untuk mengikuti ujian kemampuan bahasa Jepang (Nihongo Noryoku Shiken) level 3.

 

Kata kunci : chuukyuu, standar bahasa Jepang

 

 

近年、インドネシアでは日本語学習がますますんになってきているしかしインドネシア、主にジャボタベック地区大学における日本語中級基準(レベル)、又、日本えられている基準べてじかという調査までなかった。本研究ではインドネシア、主にジャボタベック地区にある大学における日本語初級から中級への教授過程及教科書についてのアンケートをめた。結論としてはジャボタベック地区にある大学日本語中級基準日本語能力試験3級相当することがかった

 

1.      Pendahuluan

1.1  Latar Belakang Masalah

Pengajaran bahasa Jepang di Indonesia sudah memiliki sejarah cukup panjang. Setidaknya sejarah pengajaran itu dimulai seiring dengan kedatangan Jepang ke Indonesia yaitu tahun 1942. Pada masa pendudukan Jepang tersebut, bahasa yang diperbolehkan hanyalah bahasa Indonesia dan bahasa Jepang (Legge, John David, 1984:224-236). Akan tetapi dalam perkembangannya hingga saat ini pun belum terdapat standar tertentu untuk menentukan tingkat atau level kemahiran yang telah dicapai seorang pembelajar seperti yang terdapat di Jepang. Hal tersebut membuat setiap lembaga pendidikan yang mengajarkan bahasa Jepang membuat standar lokal yang berlaku di lingkungan mereka sendiri, sehingga tingkat kemahiran atau level tersebut tidak seragam.

Keadaan itu menimbulkan ada lembaga pedidikan yang menyatakan diri hanya mencetak lulusan yang berkemampuan tingkat pemula dan ada pula lembaga yang menyatakan tak mungkin meluluskan pembelajar sebelum mereka mencapai tingkat kemahiran menengah (chuukyuu). Sebenarnya apakah tolok ukur kemampuan ataupun pengajaran chuukyuu itu? Apakah standar tersebut sama dengan standar yang berlaku di Jepang?

Adapun pengajaran bahasa Jepang, menurut standar Ujian Kemampuan Bahasa Jepang (Nouryoku Shiken), mulai memasuki chuukyuu setelah pembelajar menjalani proses belajar sekitar 300 jam, mempelajari lebih dari 1500 kosakata, dan 350 huruf kanji. Dengan kata lain, apabila pembelajar telah lulus level 3 berarti dianggap telah melewati shokyuu (Sakamoto, Tadashi. 2002:68-71). Selain itu indikator yang digunakan adalah:

a)      Penambahan kosakata sangat cepat, tidak hanya kosakata baru tapi juga sinonim dari kosakata yang sudah didapatkan sebelumnya.

b)      Pembelajar dituntut untuk dapat mengungkapkan pikiran atau perasaannya secara lisan maupun tertulis dalam bahasa Jepang yang wajar. Cara pengungkapan tidak hanya benar tapi juga tepat. Kalimatnya sudah menjadi kalimat majemuk.

c)      Pemahaman bacaannya pun berupa paragraf dan topik yang dibahas sudah beragam dengan berbagai bentuk kalimat.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memang berlatar belakang permasalahan nasional. Akan tetapi untuk saat sekarang, tujuan penelitian ini untuk mengetahui standar pengajaran bahasa Jepang chuukyuu di wilayah Jabotabek. Selain itu juga untuk mencari tahu apakah standar tersebut sama ataukah berbeda dengan standar di Jepang. Tujuan jangka panjangnya adalah menyeragamkan standar pengajaran bahasa Jepang, khususnya untuk pengajaran chuukyuu, di Indonesia.

 

1.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif, yaitu dengan teknik pengumpulan data melalui angket (lihat lampiran 1) dan wawancara bila ada bagian yang kurang jelas. Data yang diperoleh dianalisis untuk mendapatkan nilai persentase yang tertinggi, untuk mengetahui hal yang berlaku umum di lingkup penelitian kali ini. Adapun karena lingkup penelitian adalah pengajaran di sekitar Jabotabek, maka angket disebarkan di tingkat universitas ataupun lembaga pendidikan yang setingkat dengannya yang menyelenggarakan pangajaran bahasa Jepang. Bagi lembaga pendidikan yang menyelenggarakan dua macam program, baik Program Diploma 3 (D3) maupun Program Strata 1 (S1), diminta data secara terpisah, karena ada kemungkinan standar pada kedua program tersebut berbeda, disesuaikan dengan tujuan pengajarannya. Perbedaan standar tersebut juga dapat berpengaruh pada perbedaan buku ajar yang digunakan.

Angket tidak dibagikan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) ataupun yang sederajat yang mengajarkan bahasa Jepang di wilayah Jabotabek, karena sampai saat ini belum ada SMU yang mengajarkan bahasa Jepang lebih dari tingkat pemula (shokyuu).

Sebagai bahan pembandingan, angket juga dikirimkan kepada The Japan Foundation (JF). Hal itu dilakukan selain karena JF menggunakan standar yang berlaku di Jepang, juga karena JF merupakan lembaga kebudayaan Jepang yang menyelenggarakan pengajaran bahasa Jepang chuukyuu ke atas.

 

2.      Data yang terkumpul

Angket dibagikan ke 16 ketua jurusan bahasa Jepang di wilayah Jabotabek serta ke The Japan Foundation sebagai bahan perbandingan. Angket yang kembali sekitar 76,5%. Adapun data yang berhasil diperoleh ditunjukkan pada Tabel 1.

 

3.      Analisis Data

Sengaja pada angket yang disebarkan tidak diberi batasan khusus bahwa yang diminta hanyalah data mengenai pengajaran chuukyuu, karena yang dikumpulkan adalah data pengajaran sejak dari tingkat pemula (shokyuu). Hal itu karena adanya perbedaan pandangan mengenai batasan lingkup pengajaran chuukyuu. Apabila penelitian ini bertujuan untuk mengetahui batasan tersebut, perlu pula diketahui batas atas shokyuu-nya lebih dahulu. Untuk itu, dalam angket ditanyakan buku ajar yang digunakan dan dihubungkan dengan interpretasi lembaga pendidikan tersebut, pembelajar yang sudah menyelesaikan buku ajar yang bersangkutan telah menyelesaikan atau telah mencapai tingkat kemahiran atau level apa.

 

Berdasarkan data yang didapat, maka dapat diketahui bahwa:

a.    Buku ajar yang digunakan pada pengajaran shokyuu adalah:

-   Minna no Nihongo I dan II      → Three A Network

-   Minna no Nihongo – Dokkai   → Three A Network

-   Nihongo Shokyuu                    → Tokyo Gaikoku Daigaku

b.    Buku ajar yang digunakan pada pegajaran chuukyuu adalah:

-   Minna no Nihongo II

-   Topikku ni yoru Nihongo Sougou Enshuu Chuukyuu Zenki dan Kouki

-   Nihongo Chuukyuu

-   J-Bridge

-   Bijinesu no tame no Nihongo

-   Bunpou ga Yowai Anata He

-   Chuukyuu kara no Dokkai

-   Teema Betsu de Manabu Nihongo Chuukyuu

Berdasarkan perolehan data tersebut maka dapat diketahui bahwa 56,25% dari responden yang menyatakan bahwa buku ajar Minna no Nihongo I dan II merupakan buku ajar bagi pengajaran shokyuu, hanya 6,25% yang menyatakan bahwa Minna no Nihongo II masih dapat digunakan sebagai buku ajar pada pengajaran chuukyuu. Sedangkan bagi yang tidak menggunakan buku ajar Minna no Nihongo, lembaga pendidikan tersebut menggunakan buku ajar Nihongo Shokyuu yang diterbitkan oleh Tokyo Gaikokugo Daigaku. Persentasenya adalah sebesar 11,8%.

Buku ajar yang digunakan pada pengajaran chuukyuu lebih beragam, ada 8 buah jenis buku yang digunakan oleh 13 lembaga pendidikan. Sebagian besar buku tersebut memiliki judul yang jelas mencantumkan bahwa buku itu diperuntukkan bagi pengajaran bahasa Jepang chuukyuu. Akan tetapi ada pula buku-buku yang tidak membatasi pemakaiannya, yaitu 50% dari buku yang digunakan dan persentase responden yang menggunakannya adalah 30,8%.

Apabila dilihat dari standar lokal yang berlaku di masing-masing lembaga pendidikan, maka diketahui bahwa reponden yang memiliki standar tertentu hanyalah 62,5%. Meskipun demikian, dari persentase tersebut, hanya 31,25% yang memiliki batasan rinci dengan adanya jumlah jam belajar minimal, jumlah pola kalimat ataupun kanji yang harus dikuasai. Sedangkan 31,25% sisanya hanya memberikan batasan pengajaran dengan dihubungkan pada penggunaan buku ajar tertentu, ataupun berdasarkan kemampuan pembelajar yang diharapkan bila sudah memasuki chuukyuu.

Berdasarkan mata kuliah kemahiran yang diselenggarakan, didapatkan data bahwa 12,5% dari responden yang menyatukan semua mata kuliah kemahiran dalam satu kesatuan, yaitu mata kuliah bahasa Jepang, sehingga tidak dapat diketahui bobot SKS setiap unsurnya. Sedangkan sisanya menyelenggarakan berbagai mata kuliah kuliah kemahiran yang saling berkaitan. Adapun mata kuliah kemahiran yang disediakan adalah: tata bahasa (bunpou), huruf (moji/hyouki/kanji), percakapan (kaiwa), dan Language Laboratory.

Pada waktu pembelajar menyelesaikan pelajaran bahasa Jepang shokyuu, sebelum memasuki ke tingkat kemahiran selanjutnya, yaitu chuukyuu, ada tingkatan yang harus dilalui sebelumnya. Tingkatan tersebut adalah tingkat menengah awal atau shochuukyuu sebagai level penjembatan antara shokyuu dan chuukyuu. Banyak pembelajar yang bingung menerapkan penggunaan pola kalimat, ungkapan, ataupun kosakata yang sudah dipelajarinya. Oleh karena itu, pada shochuukyuu pengajar melakukan proses “penyadaran” (kidzuki process) terhadap pembelajar. Proses tersebut dilakukan pengajar dengan cara sedikit demi sedikit mengubah bacaan dari bentuk percakapan (tertulis) menjadi wacana, pembelajar dipaksa sebanyak mungkin untuk berbicara ataupun menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, ataupun keinginannya. Dengan demikian, pembelajar dipaksa memilih sendiri pola apa yang akan digunakannya, dengan bentuk kalimat apa dia mengungkapkannya, serta kosakata apa yang diperlukan olehnya. Hal itu dilakukan berulang kali, sehingga tata bahasa yang telah dipelajari pada shokyuu itu benar-benar dipahami sepenuhnya (Koyama, Satoru. 2002:66-69). Untuk itulah pada pengajaran chuukyuu diperlukan adanya mata kuliah penunjang kemahiran berbahasa.

Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan mata kuliah penunjang kemahiran berbahasa ada 43,75%. Mata kuliah tersebut pada umumnya diletakkan pada semester IV ke atas yang pembelajarnya diharapkan sudah memiliki kemampuan berbahasa chuukyuu. Adapun jenis mata kuliah tersebut adalah: pemahaman teks lisan (choukai), pemahaman teks tertulis (dokkai), pengembangan kosakata (goi), penerjemahan tertulis (honyaku), penerjemahan lisan (tsuuyaku), mengarang (sakubun), dan korespondensi Jepang (nihongo tsuushin).

Pada pengajaran mata kuliah mengarang chuukyuu, pembelajar tidak hanya dilatih membuat kalimat pendek/sederhana, tapi diajak untuk membuat kalimat-kalimat  argumentatif. Pembelajar dituntut mampu menerapkan hal-hal yang sudah dipelajarinya di tingkat pemula, menggunakan kata sambung yang tepat, serta membuat kalimat-kalimat deskriptif dengan kalimat yang menyatu (Mihara, Nakako, 2002:68 – 71).

Pada pengajaran mata kuliah pemahaman teks tertulis, selain pembelajar dituntut untuk memahami kalimat dalam paragraf sesuai dengan pola-pola kalimat yang sudah dipelajarinya, juga pembelajar bisa mendapatkan kosakata baru dan mungkin juga kanji baru. Apalagi di dalam paragraf biasanya kalimat yang digunakan adalah kalimat majemuk. Tidak jarang kalimat majemuk yang menggunakan cara pengungkapan yang sudah dipelajari di shokyuu tidak mampu dipahami pembelajar. Hal itu terjadi karena setelah cara pengungkapan ataupun pola kalimat tersebut digabungkan, pembelajar jadi tak menyadari pola kalimat apakah itu sebenarnya. Dengan demikian mata kuliah ini dapat dijadikan sebagai alat ukur pemahaman pembelajar terhadap pola kalimat yang sudah dipelajarinya. Akan tetapi itu bukanlah tujuan akhir dari mata kuliah ini. Tujuan akhir dan utama dari mata kuliah pemahaman teks adalah pembelajar dituntut mampu memahami isi wacana (Ootsuka, Youko. 2002:68 – 71).

Pada pengajaran mata kuliah penerjemahan tertulis, pembelajar selain dituntut dapat membaca kalimat ataupun wacana, dapat memahami isi kalimat atau wacana tersebut, juga dituntut dapat menuangkan pengertian atau pesan tersebut ke dalam bahasa lainnya, dalam hal ini adalah bahasa Indonesia. Penuangan pesan tersebut bisa berupa penerjemahan setia ataupun tidak setia, sesuai dengan kebutuhan penerjemahan. Biasanya dalam penerjemahan cerita, iklan, ataupun berbagai teks yang menggunakan ragam bahasa non-standar, penerjemahannya pun menitikberatkan pada penyampaian pesannya. Sedangkan pada wacana yang menggunakan ragam bahasa standar, penerjemahannya sedapat mungkin merupakan penerjemahan setia. Meskipun demikian, pada mata kuliah ini pembelajar hanya mempelajari proses penerjemahan itu sendiri (Hoed, Benny H, Solichin, Tresnati S., & M., Rochayah. 1993:12-21).

Pada pengajaran mata kuliah pemahaman teks lisan, agak berbeda dengan teks tertulis, bahan ajar yang digunakan dibatasi dengan pola kalimat, kosakata, serta pengungkapan yang sudah dipelajari. Apabila ada kosakata baru ataupun istilah khusus yang perlu diketahui pembelajar, maka pengajar wajib mempersiapkan penjelasannya terlebih dahulu. Pembelajar dituntut mendengarkan bahan ajar tersebut, menangkap pelafalannya, dan memahami isi atau pesannya. Biasanya untuk chuukyuu dibatasi pada pemahaman berita, prakiraan cuaca, ataupun sinetron dimulai dengan topik yang mudah dahulu (Ootomo, Kanoko. 2002:68-71). Sedangkan pada mata kuliah penerjemahan lisan, setelah pembelajar memahami teks lisan tersebut, maka pembelajar dituntut dapat menyampaikan pesan tersebut juga secara lisan.

 

Pada pengajaran mata kuliah korespondensi Jepang, tidak ada data mengenai mata kuliah ini. Sebagai gambarannya, pada mata kuliah korespondensi Jepang yang diselenggarakan di STBA LIA diajarkan format surat resmi dalam bahasa Jepang serta diperkenalkan berbagai jenis surat. Mata kuliah ini tidak menuntut pembelajar untuk mampu menulis surat resmi dalam bahasa Jepang, hanya mengharuskan pembelajar mampu mengenali dan memahami surat (dengan membaca surat itu), serta mengetahui kelompok surat itu bila harus menyimpannya. Selain itu, karena dalam korespondensi digunakan bahasa sopan, maka kuliah ini banyak membahas materi mengenai bahasa sopan.

 

4.      Simpulan

Penelitian mengenai pengajaran bahasa Jepang chuukyuu ini baru dilaksanakan melalui angket sederhana dan diproses dalam waktu yang sangat singkat, karena itu kesimpulan yang berhasil didapatkan pun masih sangat sederhana (belum rinci) dan bersifat sementara. Adapun simpulan yang berhasil didapatkan adalah sebagai berikut:

a.         Pada umumnya standar lokal yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan terdapat 12,5% dari responden yang menjadikan 300 jam belajar bahasa Jepang sebagai standar chuukyuu. Standar ini sesuai dengan syarat untuk mengikuti Ujian Kemampuan Bahasa Jepang Level 3.

b.         Sedangkan 18,75% responden yang menetapkan bahwa tolok ukur pengajaran chuukyuu adalah jumlah pola kalimat (220 pola), kanji (380-600 huruf), dan kosakata (1400-2400 buah). Standar ini sesuai dengan syarat untuk mengikuti Ujian Kemampuan Bahasa Jepang Level 3.

c.         Pengajaran chuukyuu memerlukan mata kuliah pendukung kemahiran berbahasa untuk memaksa pembelajar sebanyak-banyaknya mempraktekkan pelajarannya. Adapun jenis mata kuliah tersebut serta persentase respondennya adalah sebagai berikut: pemahaman teks lisan (6,25%), penerjemahan tertulis (31,25%), penerjemahan lisan (12,5%) korespondensi Jepang (18,75%), pengembangan kosakata (6,25%), dan mengarang (31,25%).

d.         50% dari buku ajar yang digunakan untuk pengajaran chuukyuu di wilayah Jabotabek adalah buku yang memang dibatasi khusus untuk chuukyuu, dilihat dari judul buku yang bersangkutan. Berdasarkan itu, berarti standar pengajaran chuukyuu yang diberlakukan di Indonesia, khususnya di wilayah Jabotabek, dapat menggunakan standar yang berlaku di Jepang. Dengan demikian, para pembelajar chuukyuu di Indonesia pun tentunya sudah dapat lulus Ujian Kemampuan Bahasa Jepang Level 3 yang merupakan salah satu indikator pintu masuk ke level kemahiran chuukyuu.

e.         Berdasarkan mata kuliah penunjang kemahiran yang disediakan pada lembaga pendidikan, dapat diketahui bahwa pembelajar bahasa Jepang chuukyuu di Indonesia juga dituntut kemampuan membaca dan memahami kanji 300 huruf atau lebih, memahami wacana yang membahas berbagai topik dengan kalimat majemuk, serta mengungkapkan pikiran, perasaan, ataupun pendapat dengan menggunakan berbagai kata sambung dan bentuk kalimat.

f.           Meskipun biasanya kurikulum yang berlaku pada program D3 tidak sama dengan program S1, tetapi ternyata 62,5% dari responden menggunakan buku ajar Minna no Nihongo sebagai buku ajar shokyuu, baik pada program S1 maupun D3. Perbedaan baru muncul pada pengajaran pada chuukyuu. Bagi program D3, ada 12,5% responden yang menggunakan buku ajar yang disesuaikan dengan kebutuhan D3.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Hoed, Benny Hoeddoro, Solichin, Tresnati S., & M., Rochayah. Lintas Bahasa Pengetahuan Dasar tentang Penerjemahan. Program Pendidikan Penerjemah dan Jurubahasa, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1993.

Koyama, Satoru. Chuukyuu no Oshiekata “Shokyuu kara Chuukyuu he no Hashiwatashi”. p. 66-69. Gekkan Nihongo Mei, 2002.

Legge, John Daviid. Indonesia, Rekishi to Genzai. Tokyo. The Simul Press, 1984.

Mihara, Nakako. Chuukyuu no Oshiekata “Chuukyuu no Sakubun Shidou”. p. 68 – 71. Gekkan Nihongo Juli, 2002.

Ootsuka, Youko. Chuukyuu no Oshiekata “Chuukyuu no Dokkai Shidou”. p. 68 – 71. Gekkan Nihongo September, 2002.

 Ootomo, Kaanoko. Chuukyuu no Oshiekata “Choukai Shidou”. p. 68-71.

   &nbbsp;        Gekkan Nihongo November, 2002.

 Sakamoto, Tadashi. Chuukyuu no Oshiekata “Chuukyuu Nihongo Nitsuite Kangaeru”. p. 78-81.Gekkan Nihongo April, 2002.

    

 

SUMBANGAN KOMPETENSI GRAMATIKA TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA:

SURVEI DENGAN PENDEKATAN ANALISIS KORELASI KANONIK

Widiatmoko*

Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA Jakarta

 

Abstrak

Variabel kompetensi gramatika dan variabel keterampilan berbicara merupakan dua gugus variabel yang terdiri atas beberapa variabel indikator. Untuk mengetahui hubungan antara kompetensi gramatika dan keterampilan berbicara dalam penelitian ini digunakan pendekatan analisis kanonik. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi mencakup normalitas data, linearitas, homosedastik, multikolinearitas. Penarikan kesimpulan dianggap syah apabila persyaratan tersebut dipenuhi. Hasil analisis kanonik menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara gugus variabel kompetensi gramatika dan gugus variabel keterampilan berbicara. Dari empat variabel indikator yang membentuk variabel kompetensi gramatika, variabel indikator fungsi dan kategori gramatikal memberikan kontribusi yang paling dominan. Sedangkan dari empat variabel indikator yang membentuk variabel keterampilan berbicara, variabel indikator pemahaman makna memberikan kontribusi yang paling dominan.

 

Kata Kunci: gramatika, berbicara, analisis korelasi kanonik

 

 

Abstract

Variable of grammatical competence and variable of speaking ability are two subvariables consisting of some indicator variables. To know the correlation between grammatical competence and speaking ability, canonical analysis is used. Some requirements like normality of data, linearity, homoscedastic, multicolinearity should be fulfilled. These have influence on the conclusion. The result of canonical analysis shows that there is a significant correlation between subvariables of grammatical competence and subvariables of speaking ability. One of subvariables of grammatical competence which is highly contributed is grammatical function and category. One of subvariables of speaking ability which is highly contributed is meaning understanding.

 

Key Words: grammatical, speaking, canonical corelation analysis

 

 

 

 

 

 

1.  Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia dimulai sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Disebut sebagai bahasa asing karena ia bukan sebagai bahasa pengantar resmi pemerintahan dan pembelajarannya dilaksanakan pada saat seseorang telah sebelumnya menguasai bahasa ibunya dan terkadang bahasa lainnya seperti bahasa Indonesia (Rahayu S. Hidayat, 1990: 2), serta pemerolehannya dilakukan secara formal (Sri Utari Subyakto-Nababan, 1992: 88). Karena pemerolehannya secara formal di sekolah, tujuan pembelajarannya ditentukan oleh kurikulum yang berlaku.

Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang guru dituntut untuk memadukan metode pengajaran yang tepat agar tujuan dapat tercapai. Tujuan tersebut adalah agar siswa mampu memahami berbagai jenis komunikasi. Namun hal ini tidak berarti pencapaian tujuan yang lain diabaikan. Kompetensi lain yang berperan penting untuk meningkatkan keterampilan berbicara adalah kompetensi gramatika. Oleh karena itu, kompetensi gramatika dan keterampilan berbicara merupakan indikator kualitas bahasa Inggris lulusan sekolah. Dengan demikian, ketika lulusan ini melanjutkan studinya di perguruan tinggi, mereka tidak lagi menghadapi persoalan dengan bahasa Inggris.

           

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada pembatasan masalah di atas, maka masalah-masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut.

1.         Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara kompetensi gramatika dan keterampilan berbicara?

2.         Berapa besar hubungan antara variabel kompetensi gramatika dan variabel keterampilan berbicara?

3.         Variabel apa yang dominan atau berperan penting terhadap kompetensi gramatika?

4.         Variabel apa yang dominan atau berperan penting terhadap keterampilan berbicara?

5.         Variabel-variabel apa pada kompetensi gramatika yang memiliki pengaruh kuat terhadap keterampilan berbicara?

6.         Variabel-variabel apa pada keterampilan berbicara yang memiliki pengaruh kuat terhadap kompetensi gramatika?

 

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut.

1.         untuk mengetahui hubungan antara kompetensi gramatika dan keterampilan berbicara.

2.         untuk mengetahui besar hubungan antara kompetensi gramatika dan keterampilan berbicara.

3.         untuk mengetahui variabel yang dominan pada kompetensi gramatika.

4.         untuk mengetahui variabel yang dominan pada keterampilan berbicara.

5.         untuk mengetahui variabel pada kompetensi gramatika yang berpengaruh pada keterampilan berbicara.

6.         untuk mengetahui variabel pada keterampilan berbicara yang berpengaruh pada kompetensi gramatika.

 

 

 

2. Kerangka Teoretik

2.1. Hakikat Keterampilan Berbicara

2.1.1 Pemahaman Makna

Eksperimen yang dilakukan oleh Yerkes sebagaimana dikutip oleh Vygotsky terhadap simpanse menunjukkan bahwa simpanse tidak memiliki sistem bahasa seperti yang dimiliki manusia. Menurut pendapatnya, kemampuan berbicara membutuhkan kemampuan menggunakan intelek dalam berbagai situasi (Vygotsky, 1962: 68-79). Ditambahkan oleh Vygotsky bahwa pikiran dan bahasa mempunyai hubungan yang erat, dan ini tidak dimiliki oleh simpanse.

Dari penjelasan Vygotsky, disimpulkan bahwa berbicara adalah cara-cara penyampaian informasi dengan menggunakan alat komunikasi yakni bahasa lisan serta pengembangannya didasarkan atas kapasitas daya imajinasi manusia dalam memecahkan masalah. Fries mengatakan bahwa untuk menguasai suatu bahasa harus dimulai dengan lisan atau ucapan karena bahasa lisan merupakan dasar dari penguasaan suatu bahasa, sedangkan bahasa tulis hanya sebagai pelambangan kedua dari suatu bahasa (Fries, 1945: 6-7).

 

2.1.2. Kaidah Tata Bahasa

Sebagaimana dikatakan Dunbar (1996) yang dikutip Dessalles bahwa manusia dari berbagai ragam budaya menghabiskan 20% aktivitas harian mereka untuk berbicara. Mereka menggunakan bahasa yang memiliki tujuan utamanya adalah untuk berbicara. Yang menarik tentang berbicara adalah bahwa di dalam berbicara terkandung cara-cara yang sistematik atau terstruktur (Dessalles, 2003: 1). Kesistematikan ini yang menjadikan suatu bahasa mudah dipahami oleh pendengar. Pembicara-pendengar mampu memahami pesan yang diungkapkan secara spontan dan lancar karena keduanya memahami pentingnya sinyal yang diberikan satu sama lain untuk berbagi maksud atau makna (Skoyles, 2003: 1).

 

2.1.3. Kosa Kata

Teori berbicara berkenaan dengan bagaimana seseorang menirukan atau menghasilkan sejumlah kata yang telah dan belum pernah didengar sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh fungsi pada diri manusia yang berupa sejumlah neuron untuk melakukan peniruan. Oleh karena itu, pembicaraan yang dilakukan seseorang akan selalu berkenaan dengan kosa kata. Ini berarti bahwa beribu-ribu kosa kata yang dimiliki tersebut diperoleh dari para pembicara di sekelilingnya. Apabila seseorang tidak mengalami ini, kosa kata tidak akan dimiliki. Noam Chomsky (1968:100) mengatakan:

       Having mastered a language, one is able to understand an indefinite number of expressions that are new to one’s experience, that bear no simple physical resemblance that constitute one’s linguistic experience; and one is able, with greater or less facility, to produce such expressions on an appropriate occasion, despite their novelty and independently of detectable stimulus configurations, and to be understood by others who share this still mysterious ability.

 

Oleh karena itu, seseorang tidak hanya belajar bagaimana mengatakan kata-kata secara terpisah melainkan juga belajar bagaimana memahami makna lewat penggunaan kata-kata tersebut yang digunakan ketika seseorang berbicara. Hockett (1954) sebagaimana dikutip oleh Jusczyk (1997: 1) mengatakan bahwa bahasa melibatkan dua pola, yakni, ‘On the one hand, there are patterns that pertain to the way that sounds are organised; on the other hand, there are patterns that relate to how meanings are organised.’ Dengan demikian apabila seseorang tidak mengucapkan secara lancar atau tidak dapat dipahami oleh pendengar, makna kata yang dihasilkan menjadi tidak bermakna.

Keterampilan sebagaimana dikemukakan oleh Richards adalah gaya atau perilaku di mana suatu bahasa digunakan. Menurut pendapatnya, keterampilan mengacu pada keterampilan produktif yang mencakup berbicara dan menulis dan keterampilan reseptif yang mencakup membaca dan menyimak. Krashen dan Terrel mengatakan bahwa bahasa dapat dikuasai melalui pemerolehan dan belajar. Yang pertama biasanya dikaitkan dengan penguasaan bahasa ibu secara alamiah, sedangkan yang kedua dikaitkan dengan penguasaan bahasa selain bahasa ibu dengan usaha sadar, biasanya dari guru (Krashen dan Terrel, 1983: 26). Dengan demikian istilah yang paling tepat terhadap penguasaan bahasa Inggris yang merupakan bahasa asing adalah belajar bahasa. Akibat belajar dan berlatih bahasa, sesorang memiliki kemampuan khusus yang disebut keterampilan.

Oller menggunakan istilah kemampuan berbicara. Menurut pendapatnya, kemampuan berbicara itu lebih penting karena dapat menggambarkan kemampuan berbahasa seseorang (Oller, 1979: 304).

 

2.1.4. Kelancaran

Lado mengartikan kemampuan berbicara sebagai kesanggupan mengungkapkan situasi kehidupan pembicara sendiri atau kesanggupan untuk bercerita, melaporkan sesuatu, dan mengungkapkan sesuatu itu dengan lancar (Lado, 1961: 240). Harris mengatakan bahwa kemampuan berbicara tidak hanya ditunjang oleh berfungsinya alat-alat bicara dalam proses penyandian suatu ujaran, tetapi juga oleh cara bagaimana ujaran dengan tepat dapat diujarkan dan diterima oleh pendengar. Di dalam berbicara yang diperhatikan adalah penguasaan ucapan termasuk unsur-unsur segmental, vokal, tekanan, intonasi, kosa kata, dan penguasaan materi agar pesan dapat diterima dengan efektif dan baik oleh pendengar (Harris, 1969: 82).

           

2.2. Hakikat Kompetensi Gramatika

Gramatika menurut Richards adalah sebagai sebuah frasa, klausa, atau kalimat yang berterima disebabkan ia mengikuti aturan tata bahasa. Sedangkan tata bahasa (grammar) adalah sebuah deskripsi suatu struktur bahasa dan cara di mana unit-unit linguistik, seperti kata dan frasa dikombinasikan untuk menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa tersebut serta mempertimbangkan makna dan fungsi bahasa yang terdapat dalam kalimat-kalimat tersebut secara keseluruhan.

 

2.2.1. Fungsi dan Kategori Gramatikal

Istilah gramatikal melekat pada kata-kata lain, yakni fungsi gramatikal dan kategori gramatikal. Fungsi gramatikal berarti hubungan antara satu konstituen dan konstituen lainnya berada dalam satu kalimat. Sedangkan kategori gramatikal adalah sekelompok butir yang menempati fungsi-fungsi yang sama dalam bahasa tertentu, seperti: case, person, tense, dan aspect.

 

2.2.2. Jenis Kata

Sementara beberapa linguis mengartikan tata bahasa sebagai kelompok kata yang saling berhubungan seperti kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan. Pengkategorian semacam ini sering disebut sebagai part of speech. Hubungan antarkata ini terjadi di dalam kalimat, dan kalimat-kalimat ini kemudian membentuk hubungan antarkata, baik kata benda dengan kata kerja, kata benda dengan kata sifat, dan sebagainya. Oleh Wilkinson, jenis kata dibagi menjadi content words dan structure words. Content words meliputi kata benda, kata kerja, dan kata keterangan. Sedangkan structure words meliputi determiner, modal, negative, intensifier, conjunction, preposition, subordinate, dan personal pronoun (Wilkinson, 1971: 27).

 

2.2.3. Sistem Bunyi

Harmer mendeskripsikan gramatika sebagai apa yang diketahui oleh penutur asli mengenai bahasanya. Gramatika ini meliputi tekanan kalimat, jeda, dan intonasi (Harmer, 1983: 74). Model ini memungkinkan seseorang untuk menggunakan kalimat secara lebih hidup. Ini berarti bahwa untuk membuat kalimat, tidak hanya mengacu pada aspek kata, frasa, dan klausa, tetapi juga memadukan dengan bagaimana kalimat yang disusunnya digunakan sebagai alat komunikasi dengan mempertimbangkan tekanan, jeda, dan intonasi. Dengan demikian, keberterimaan pesan bergantung pada hal ini.

 

2.2.4. Bentukan Kalimat

Pengertian gramatika menurut Savignon adalah bentukan kalimat. Demikian pula yang dimaksudkan dengan kompetensi gramatika sebagai kemampuan untuk mengenali kalimat dari segi bentukannya dan memanipulasikannya dalam bentuk satuan-satuan yang lebih kecil seperti kata dan morfem maupun satuan-satuan yang lebih besar seperti paragraf dan wacana (Savignon, 1983: 37). Deskripsi kemampuan ini dimaksudkan bagi pembicara untuk berkomunikasi. Kalimat-kalimat yang dihasilkan adalah kalimat-kalimat yang dapat dipahami oleh pendengar di mana pendengar mampu menangkap makna antarkalimat yang didengarnya. Demikian juga kalimat-kalimat yang dihasilkannya merupakan kalimat yang berfungsi secara komunikatif efektif.

       

2.3  Hubungan antara Kompetensi Gramatika dan Keterampilan Berbicara

Telah dijelaskan bahwa berbicara mencakup aktivitas tukar menukar informasi melalui bahasa lisan yang melibatkan dua orang atau lebih. Pembicara mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara tepat sehingga dapat diterima oleh pendengar. Sebaliknya, pendengar memahami secara tepat apa yang dikatakan oleh pembicara, sehingga ia dapat memberi respon secara tepat pula sesuai dengan yang dikehendakinya. Kompetensi ini disebut keterampilan berbicara.

Agar dapat berkomunikasi dengan baik, orang perlu memiliki kompetensi-kompetensi tertentu. Salah satunya adalah kompetensi gramatika. Dengan kompetensi ini seseorang mampu menghasilkan dan memahami kalimat-kalimat yang jumlahnya tak terbatas. Seseorang memungkinkan untuk dapat mengidentifikasi dan sekaligus memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh orang lain. Dengan memadukan hubungan antarunsur suatu kalimat dan mengetahui kaidah-kaidah untuk berbahasa dengan benar diharapkan seseorang mampu menyampaikan pesan-pesan melalui komunikasi. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah gramatika berfungsi sebagai monitor ketika seseorang hendak berbicara. Atas dasar pemikiran itu, diduga bahwa kompetensi gramatika memiliki hubungan pengaruh pada keterampilan berbicara.

 

 

 

2.4. Analisis Korelasi Kanonik

2.4.1. Persamaan Kanonik dan Korelasinya

Korelasi kanonik merupakan perluasan dari regresi multipel dengan variabel terikat lebih dari satu. Analisis korelasi kanonik merupakan analisis  regresi multipel dengan p buah variabel terikat dan m buah variabel bebas. Apabila variabel terikat itu Y1, Y2, . . . . , Yp  dan variabel bebas X1, X2,..., Xm, data hasil penelitian dinyatakan dalam bentuk matriks. Struktur data pengamatan untuk n respons dinyatakan dalam bentuk matriks berikut (Dillon dan Goldstein, 1984: 343).

Pemikiran dasar tentang korelasi kanonik adalah menggunakan kombinasi linear, satu dibentuk dari  variabel terikat Y1, Y2, . . . . , Yp  dan yang lain dibentuk dari variabel bebas X1, X2, . . .  , Xm, kemudian menggunakan metode kuadrat terkecil dicari koefisien korelasi antarkedua kombinasi linear tersebut.  Kombinasi linear yang dibentuk oleh X1, X2,..., Xm  dan Y1, Y2,...,Yp masing-masing dinyatakan sebagai berikut (Dillon dan Goldstein, 1984: 341).

X* = a1X1 + a2X2 + . . .  + am Xm

Y*= b1Y1 + b2Y2 +  . . . + bpYp           

Dalam bentuk vektor kombinasi linear variabel bebas X dan variabel terikat Y dituliskan (Johnson, 1982: 440).

                   U = a'X

V = b'Y  

Pasangan U = a'X dan V = b'Y disebut variabel kanonik. Jika q minimum di antara m dan p, ditulis q = min (m,p), yang berarti sebanyak q buah pasangan kombinasi linear yang dibentuk oleh variabel bebas dan variabel terikat, dapat dinyatakan sebagai berikut.

Text Box: U1 = a'1 X                                            V1 = b'1Y
U2 = a'2 X                                            V2 = b'2Y
.                                                           .
.                                   dan                   .
.                                                           .
Uq = a'q X                                            Vq = b'qY

 

 

 

 

 

 

 

 


 

dengan vektor konstanta

       

Text Box:        

 

 

 

 

 

 

 


 

sedangkan vektor variabel bebas dan vektor variabel terikat

Text Box:

 

 

 

 

 

 

 


 

Kombinasi linear Uq dan Vq digunakan untuk mencari korelasi kanonik, yakni dengan menentukan pasangan kombinasi linear yang memiliki sifat U1 dan V1 terbesar korelasinya, korelasi U2 dan V2 terbesar kedua dan tidak berkorelasi dengan pasangan kanonik pertama, korelasi U3 dan V3 terbesar ketiga dan tidak berkorelasi dengan pasangan kanonik pertama dan kedua, korelasi U4 dan V4 terbesar keempat dan tidak berkorelasi dengan pasangan kanonik pertama, kedua, dan ketiga. Demikian seterusnya untuk semua pasangan yang mungkin yang banyaknya adalah q = min (k, p).

Untuk mencari korelasi kanonik adalah dengan memanfaatkan gabungan matriks varians-kovarians untuk variabel-variabel bebas dan variabel-variabel terikat. Kemudian dengan menggunakan kombinasi linear Uq dan Vq, diperoleh persamaan karakteristik. Dari persamaan karakteristik ini dicari eigen value dan eigen vektor, dan akar-akar inilah yang menghasilkan korelasi kanonik.

Korelasi antara U dan V yang dinyatakan sebagai fungsi a' dan b'  dirumuskan sebagai berikut.

  

di mana 

                   Var (U)       = a' å11 a

                   Var (V)       = b' å22 b

                   Cov(U,V)   = a' å12 b    

       å12             = matriks kovarians  gugus variabel  X dengan gugus

     variabel Y

Vektor  a dan vektor b dicari dengan menyelesaikan persamaan berikut.

           

Persamaan ini menghasilkan eigen value  l12l22,  .  .  . , lq2  dan eigen vektor ­­a dan b  yang bersesuaian dengan eigen value l12l22,  .  .  . , lq2. Akar positif dari eigen value li2  adalah |l1| merupakan koefisien korelasi kanonik antara variabel kanonik  Uq dan Vq.  Eigen vektor ­­a dan b adalah vektor pembobot kanonik (Gittins, 1985: 16-7).

Dari korelasi kanonik, dihitung korelasi antara variabel asal dan variabel kanoniknya, baik pada gugus variabel X maupun pada gugus variabel Y. Korelasi ini disebut beban kanonik atau korelasi intraset. Besar nilai dan tanda pada beban kanonik ini menggambarkan kontribusi variabel-variabel asal terhadap variabel kanoniknya, dan dari sini dapat dilihat variabel-variabel yang memiliki peran dominan dalam gugus variabel bebas maupun dalam gugus variabel terikat.  Variabel yang memiliki peran dominan dalam gugus adalah variabel yang mempunyai muatan signifikan, yakni lebih besar dari 0,30 (Tabachnick dan Fidell, 1989: 228).

 

2.4.2. Varians yang Dijelaskan Variat Kanonik

Besarnya varians gugus variabel asal X yang dijelaskan oleh variabel kanonik (U) dinyatakan dengan rumus.

                       

di mana        m         = banyaknya variabel asal X

                   rUXj       = korelasi antara variabel asal Xj dan variabel

                                   kanonik.(U), j = 1, 2, . . .m

Korelasi ini disebut dengan bobot kanonik (loading) dari variabel kanonik U.

Besarnya varians gugus variabel asal Y yang dijelaskan oleh variabel kanonik (V) dinyatakan dengan rumus.

 

 

 

          

di mana        p          = banyaknya variabel asal Y

                   rVXj       = korelasi antara variabel asal Yj dengan variabel

    kanoniknya.(V), i = 1, 2, . . .p

Korelasi ini disebut juga dengan bobot kanonik (loading) dari variabel kanonik V.

Besarnya varians dari setiap variabel asal Y yang dijelaskan oleh variabel kanonik U (yang dibentuk dari variabel bebas X) dinyatakan dengan rumus.

  

di mana             =   eigen value ke-i (i = 1, 2, . . . p)

         = varians gugus variabel Y yang  dijelaskan oleh        

                        variabel kanonik (V).

Total varians redundansi yang menjelaskan total varians gugus variabel Y yang dijelaskan oleh variabel kanonik U, dirumuskan (Gittins, 1985: 57):

            Redy|x =                          

 

2.5. Hipotesis Korelasi Kanonik

Hipotesis untuk analisis korelasi kanonik, secara statistik dinyatakan sebagai berikut (Dillon dan Goldstein, 1984: 353).

 

H0:   åXY = 0

H1:   åXY ¹ 0                    

H0 menyatkan bahwa korelasi antara variabel kanonik X dan variabel kanonik Y adalah nol atau tidak ada hubungan yang signifikan. H1 menyatakan bahwa korelasi antara variabel kanonik X dan variabel kanonik Y  tidak sama dengan nol atau terdapat hubungan yang signifikan.

Hipotesis tersebut dapat juga dituliskan sebagai berikut (Gittins, 1985: 57).

H0:   r12r22  =  .  .  .  = rq2 =  0

H1:   rk2 ¹ 0                                          

H0 menyatakan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan di antara pasangan variabel kanonik. H1 menyatakan paling sedikit ada satu pasang variabel kanonik yang memiliki korelasi signifikan.

Untuk menguji signifikansi hipotesis ini dapat digunakan prosedur menurut Bartlett (Tabachnick dan Fidell, 1989: 353) yang didefinisikan sebagai berikut.

Di mana N adalah banyaknya kasus (individu), kx banyaknya variabel bebas dan ky banyaknya variabel terikat. Hipotesis nol ditolak jika c2  > c2 tabel  dengan derajat bebas  mp  dan taraf nyata  a.                         

 

2.6. Asumsi terhadap Data Asal

Beberapa asumsi yang diperlukan berkenaan dengan korelasi kanonik adalah data asal berdistribusi multinormal, gugus variabel asal dapat dibentuk dalam suatu kombinasi linear (linearity), dan homosedastik (homoscedastic). Asumsi multinormal, diperlukan jika digunakan pendekatan likelihood dalam pendugaan parameter. Selain asumsi-asumsi yang disebutkan tersebut, hal-hal lain yang perlu diperiksa sebelum analisis dilakukan adalah screening data, yang meliputi: data hilang (missing data), data pencilan (outlier), dan multikolinearitas (multicolinearity) (Tabachnick dan Fidell, 1989: 195-96). Asumsi linearitas dan homosedastik diperlukan karena analisis korelasi kanonik dalam prosesnya dibentuk oleh matriks korelasi dan matriks varians-kovarians variabel asal yang sangat sensistif dengan kedua asumsi ini. Sedangkan data hilang, pencilan, dan multikolinearitas diperlukan untuk menyelesaikan matriks yang dibentuk oleh data asal. Apabila terdapat data hilang, pencilan, atau multikolinearitas akan menimbulkan masalah penyelesaian matriks yang dibentuk oleh data asal. Dalam hal ini matriks menjadi tidak berpangkat penuh sehingga tidak memberikan solusi.

 

3. Metodologi Penelitian

3.1. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua gugus variabel, yaitu gugus variabel bebas dan gugus variabel terikat. Gugus variabel bebas terdiri atas empat variabel indikator, yakni:

X1: Fungsi dan Kategori Gramatikal

X2: Jenis Kata

X3: Sistem Bunyi

X4: Bentukan Kalimat

 

 

 

 

Sedangkan gugus variabel terikat terdiri atas empat variabel indikator, yakni:

Y1: Pemahaman Makna

Y2: Kaidah Tata Bahasa

Y3: Kosa Kata

Y4: Kelancaran

 

3.2. Metode Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian di muka, penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survei dengan korelasi kanonik. Penggunaan metode survei ini dimaksudkan untuk membahas derajat hubungan antarvariabel dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini terdapat dua gugus variabel yakni gugus variabel bebas dan gugus variabel terikat. Gugus variabel bebas adalah kompetensi gramatika (X) dan gugus variabel terikat adalah keterampilan berbicara (Y).

 

3.3. Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang telah tersedia sebanyak tiga puluh variabel, kemudian dipilih delapan variabel. Variabel yang terpilih dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu gugus variabel bebas yang dinamakan kompetensi gramatika (X) dan gugus variabel terikat yang dinamakan variabel keterampilan berbicara (Y). Masing-masing gugus variabel ini terdiri atas beberapa variabel indikator sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya.

Dari sumber data dipilih X1, X2, X3, dan X4 sebagai variabel indikator kompetensi gramatika (X), dan  dipilih  Y1, Y2, Y3, dan Y4 sebagai variabel indikator keterampilan berbicara (Y). Data dalam penelitian ini merupakan hasil pengukuran dari 120 individu, sehingga setiap variabel terdiri atas 120 data hasil pengamatan.

 

3.4. Desain Penelitian

Desain hubungan antarvariabel tersebut digambarkan sebagai berikut.

Text Box: X1
 
X2
 
X3
 
X4
 
 
Text Box: Y1
 
Y2
 
Y3
 
Y4

 

 

 

 

 


 

           

Desain hubungan antara variabel indikator dan variat kanoniknya digambarkan sebagai berikut.

 

            Variabel indikator            Variabel kanonik

Text Box: X1
 
X2
 
X3
 
X4
Text Box: Uk
 

 

 

 

 


 

                       

Variabel indikator             Variabel kanonik

Text Box: Y1
 
Y2
 
Y3
 
Y4
Text Box: Vk

 

 

 

 

 

 


 

3.5. Metode Analisis

&     Analisis data dilakukan dengan langlah-langlah sebagai berikut.

1.    Melakukan pemeriksaan data (screening data), meliputi pemeriksaan data hilang dan data pencilan (outlier).

2.    Melakukan pemeriksaan matriks korelasi antarvariabel indikator dengan menggunakan korelasi product moment. Tujuannya, untuk melihat keeratan hubungan antarvariabel indikator. Analisis korelasi kanonik bermanfaat apabila antarvariabel indikator saling berkorelasi, sehingga memenuhi asumsi bahwa variabel-varibel itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, tetapi harus dianalisis secara simultan. Namun korelasi yang dinginkan tidak terlalu tinggi, yaitu lebih kecil dari 0,90 (Tabachnick dan Fidell, 1989: 87). Korelasi yang terlalu tinggi menyebabkan adanya multikolinearitas, dan ini akan melahirkan masalah pada penyelesaian matriks korelasi mupun matriks varians-kovarians dalam analisis korelasi kanonik.

3.    Melakukan perhitungan korelasi kanonik. Analisis ini digunakan matriks varians-kovarians karena variabel penelitian dianggap memiliki satuan ukur yang sama. Dalam analisis ini, dilihat besarnya korelasi kanonik antara gugus variabel bebas X dan gugus variabel terikat Y, dilihat besarnya eigen value antarpasangan variabel kanonik, dan besarnya proporsi data asal yang dijelaskan oleh variabel kanoniknya. Kriteria yang digunakan adalah Lambda Willk's pada taraf nyata a = 0,05. Apabila  nilai signifikan yang dihasilkan lebih kecil dari 0,05, H0 ditolak, dan jika sebaliknya H0 diterima.

4.    Melihat korelasi antara variabel asal dan variat kanoniknya melalui korelasi antara sekor setiap variabel asal dan sekor variat kanonik. Besarnya korelasi ini dilihat dari nilai beban kanonik atau koefisien variat kanonik. Dari korelasi ini diketahui variabel indikator yang memiliki korelasi tinggi dengan variat kanonik yang dibentuk. Korelasi yang tinggi menggambarkan peran penting atau dominasi variabel indikator.

5.    Sebelum simpulan dibuat berdasarkan pada hasil analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan asumsi normalitas, linearitas, dan homosedastik. Pemeriksaan terhadap asumsi ini dilakukan dengan melihat distribusi sekor variat kanonik yang dihasilkan. Apabila distribusi menunjukkan normal, asumsi homosedastik juga dipenuhi. Demikian pula apabila asumsi multivariat normal dipenuhi, semua kombinasi linear adalah berdistribusi normal (Tabachnick dan Fidell, 1989: 82). Jadi pemenuhan terhadap distribusi normal berarti pula asumsi linearitas dan homosedastik dipenuhi. Untuk pemeriksaan asumsi ini digunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Indikasi normal adalah apabila plot dari sekor variat kanonik mendekati sebuah garis linear atau memberikan nilai signifikan yang lebih besar dari 0,05.

6.    Setelah asumsi dipenuhi, dibuat interpretasi dan kesimpulan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan bantuan komputer, program SPPS 10.1 dan SAS. SPPS digunakan untuk pemeriksaan data hilang dan korelasi antarvariabel indikator. SAS digunakan untuk memperoleh persamaan kanonik (variat kanonik), eigen value, korelasi kanonik, beban kanonik, serta nilai signifikansi korelasi kanonik. Pemilihan program dalam analisis didasarkan pada fasilitas yang tersedia dari setiap program dan kemudahan dalam menginterpretasikan hasil yang dikeluarkan.

 

4. Analisis Data

4.1. Deskripsi Data

Deskripsi data hasil penelitian dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum mengenai data gugus variabel kompetensi gramatika dan gugus variabel keterampilan berbicara.

Dari analisis simpangan baku dan rerata, disimpulkan bahwa rerata tertinggi terjadi pada variabel fungsi dan kategori gramatikal (X1) pada gugus variabel kompetensi gramatika sebesar 40,54 dengan simpangan baku 2, 91; dan pada variabel pemahaman makna (Y1) pada gugus variabel keterampilan berbicara sebesar 45,83 dengan simpangan baku 12,99.

Dari korelasi antarvariabel kompetensi gramatika, disimpulkan bahwa masing-masing variabel di dalam variabel kompetensi gramatika saling berkorelasi. Ini merupakan syarat korelasi kanonik.

Dari korelasi antarvariabel keterampilan berbicara, disimpulkan bahwa masing-masing variabel di dalam variabel keterampilan berbicara saling berkorelasi. Ini juga merupakan syarat korelasi kanonik.

Dari korelasi antara kompetensi gramatika dan keterampilan berbicara, disimpulkan bahwa variabel-variabel indikator pada masing-masing gugus variabel saling berkorelasi.

Dari korelasi kanonik, disimpulkan bahwa korelasi kanonik sebesar 0,74 yang berarti bahwa antara variabel kompetensi gramatika dan variabel keterampilan berbicara memiliki hubungan yang kuat dengan ditandainya sumbangan kompetensi gramatika terhadap variabel keterampilan berbicara sebesar 0,55.

Dari perhitungan eigen value, disimpulkan bahwa besar varians dari variabel asal yang dijelaskan oleh 1,19 sebesar 0,69. Demikian pula, besar varians dari variabel asal yang dijelaskan oleh 0,39 sebesar 0,23 dan kumulatif sebesar 0,92.

Dari perhitungan korelasi kanonik antara kompetensi gramatika dan keterampilan berbicara, disimpulkan bahwa korelasi kanonik antara kompetensi gramatika dan keterampilan berbicara sangat signifikan yang ditunjukkan oleh probabilitas lebih besar dari nilai F 0,0001.

Dengan menggunakan perhitungan statistika multivariat Wilks Lambda, disimpulkan bahwa keempat pasang kanonik yang dihasilkan adalah signifikan yang ditunjukkan dengan nilai sebesar 0,29.

Dari analisis korelasi kanonik untuk kompetensi gramatika, disimpulkan bahwa variabel asal yang dominan yang menjelaskan kompetensi gramatika yakni X4 sebesar 0,05.

Dari analisis korelasi kanonik untuk keterampilan berbicara, disimpulkan bahwa variabel asal yang dominan atau berperan penting yang menjelaskan keterampilan berbicara yakni Y1 sebesar 0,047.

Dari perhitungan kompetensi gramatika dan variabel kanoniknya, disimpulkan bahwa variabel asal yang membentuk korelasi yang kuat terhadap variabel kanonik adalah X3 sebesar 0,719.

Dari perhitungan keterampilan berbicara dan variabel kanoniknya, disimpulkan bahwa variabel asal yang membentuk korelasi yang kuat terhadap variabel kanonik adalah Y1 sebesar 0,883.

Dari perhitungan korelasi kompetensi gramatika dengan variabel kanonik keterampilan berbicara, disimpulkan bahwa variabel X2, X3, dan X4 dari kompetensi gramatika memiliki korelasi yang signifikan dengan variabel kanonik keterampilan berbicara sebesar 0,52; 0,53; dan 0,53.

Dari perhitungan korelasi keterampilan berbicara dengan variabel kanonik kompetensi gramatika, disimpulkan bahwa variabel Y1, Y2, dan Y3 dari keterampilan berbicara memiliki korelasi yang signifikan dengan variabel kanonik kompetensi gramatika sebesar 0,65; -0,42; -0,33.

Dari analisis redundansi kanonik, disimpulkan bahwa kompetensi gramatika dijelaskan oleh variabel kanoniknya sebesar 50,18%. Sedangan dari analisis redundansi kanonik, disimpulkan bahwa keterampilan berbicara dijelaskan oleh variabel kanoniknya sebesar 41,88%.

             

 4.2. Uji Persyaratan

Uji persyaratan yang dipenuhi untuk analisis data adalah pemeriksaan data hilang dan asumsi data berdistribusi normal. Dari perhitungan dengan menggunakan SPSS 10.1 diketahui bahwa syarat-syarat tersebut dipenuhi. Setelah ini dipenuhi, maka keeratan hubungan antarvariabel indikator dihitung dengan menggunakan program SAS.

 

5. Simpulan

Dari hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa:

1.         Uji persyaratan yang berupa data hilang telah terpenuhi yakni tidak ada data yang hilang sehingga memungkinkan untuk dilakukannya korelasi kanonik.

2.         Data pencilan sebagaimana persyaratan juga telah terpenuhi sehingga memungkinkan untuk dilakukannya korelasi kanonik.

3.         Bahwa variabel-variabel indikator pada kompetensi gramatika saling berkorelasi dengan variabel-variabel indikator pada keterampilan berbicara.

4.         Bahwa variabel-variabel indikator saling berkorelasi dengan dirinya baik pada kompetensi gramatika maupun pada keterampilan berbicara.

5.         Bahwa besarnya varians dari variabel asal yang dijelaskan oleh variabel kanonik sebesar 0,69.

6.         Bahwa korelasi kanonik antara kompetensi gramatika dan keterampilan berbicara sangat signifikan.

7.         Bahwa variabel asal yang dominan yang menjelaskan kompetensi gramatika adalah X1 (Fungsi dan Kategori Gramatikal).

8.         Bahwa variabel asal yang dominan yang menjelaskan keterampilan berbicara adalah Y1 (Pemahaman Makna).

9.         Bahwa variabel asal yang membentuk korelasi kuat terhadap variabel kanonik kompetensi gramatika adalah X1 (Fungsi dan Kategori Gramatikal).

10.     Bahwa variabel asal yang membentuk korelasi kuat terhadap variabel kanonik keterampilan berbicara adalah Y1 (Pemahaman Makna).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Chomsky, Noam. Language and Mind. USA: Harcourt Brace Jovanovich, 1968.

Corder, S. Pit. Introducing Applied Linguistics. Great Britain: Hazell Watson &             Viney Ltd., 1973.

Dillon, William R. and Matthew Goldstein, Multivariate Analysis, Methods and Applications. Jhon Wiley & Sons. Inc. New York, 1984.

Fries, C.C. Teaching and Learning English as a Foreign Language. Ann Arbor:         Michigan University, 1986.

Gittins, R. Canonical analysis, Areview with Applications in Ecology. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg New York, Tokyo, 1985.

Harris, David P. Testing English as a Second Language. New York: McGraw Hill, 1969.

Hidayat, Rahayu S. Pengetesan Kemampuan Membaca secara Komunikatif.   Jakarta: Intermasa, 1990.

Johnson, Richard A. Aplied Multivariate Statistical Analysis. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 1982.

Jusczyk, Peter W. The Discovery of Spoken Language. USA: Massachussetts

            Institute of Technology, 1997.

Krashen, Stephen D. dan Tracy D. Terrel. The Natural Approach: Language Acquisition in the Classroom. Oxford: Pergamon, 1983.

Lado, Robert. Language Testing. London: Longman, 1961.

Lyons, John. Pengantar Teori Linguistik. Jakarta: Gramedia, 1995.

Oller, John W. Language Tests at School. London: Longman, 1979.

Robins, R.H. Linguistik Umum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Savignon, Sandra J. Communicative Competence: Theory and Classroom         Practice. USA: Addison Wesley Publishing Co., 1983.

Tabachnick, Barbara G., Linda S. Fidell. Using Multivariate Statistics. Harper   Collins Publishers, Inc. New York, 1989.  

Wilkinson, Andrew. The Foundations of Language. London: Oxford University, 1971.


 

* Saat ini sedang menempuh Program Doktor pada Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta.

Tema dan Ruang Lingkup

Tema dan ruang lingkup permasalahan yang dapat dikirimkan ke LINGUA berhubungan dengan ilmu humaniora dan budaya termasuk pendidikan dan pengajaran.

 

Jenis Tulisan

Jenis tulisan yang diterima ialah:

a.        Artikel hasil penelitian

b.       Artikel ilmiah

Naskah belum pernah dipublikasikan

 

Format Naskah

Naskah tulisan dapat dikirimkan dalam bentuk:

a.        Naskah tercetak (6-15 halaman, termasuk daftar pustaka, ketik spasi rangkap diatas kertas quarto ukuran 28 cmx 21,5 cm).

b.       Disket dengan tetap menyertakan satu eksemplar naskah tercetaknya), berukuran 3.5 inci, format IBM dengan program pengolah kata MS Word versi 95 ke atas denga jenis huruf Times New Roman 12.

 

Bahasa dan Abstrak

a.        Bahasa yang digunakan dalam jurnal ini adalah bahasa Indonesia, Inggris atau Jepang.

b.       Naskah berbahasa Indonesia ditulis dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

c.        Istilah dalam bahasa daerah atau bahasa lain hendaknya disertai pelafalannya bila cara pelafalannya tidak terwakili dalam EYD.

d.       Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris/Jepang dan Indonesia, diketik satu spasi dengan jenis huruf Times New Roman 10. Abstrak dilengkapi dengan kata kunci.

 

Daftar Acuan

Daftar acuan disusun dengan ketentuan berikut:

a.        Sumber tertulis disusun secara alfabetis, dengan mengikuti urutan sebagai berikut.

1.  nama penulis sumber.

2.  judul sumber (di miringkan)

3.  nama penerjemah (jika ada)

4.  tempat dan nama penerbit (sertakan pula keterangan cetak ulang dan edisi perbaikan jika ada)

5.  tahun terbit sumber

 

Contoh:

Croft, W. Explaining Language Change:   An Evolutionary Approach. Singapore: Longman, 2000.

Jawa Pos. Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hlm. 3. 22 April 1995.

Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan; cet. ke-10, 1985.

Okamura, Masu. Peranan Wanita Jepang. Terj. oleh Emy Kuntjorojakti. Yogyakarta: Gajah Mada Press. 1983.

b.       Sumber lisan (wawancara) disusun setelah sumber tertulis dengan menyebutkan nama sumber disertai umur (dalam tanda kurung), tempat, dan tanggal wawancara.

Contoh:

Wawancara dengan R. Abimayu (65 th), Depok, 12 Juli 1993.

c.        Sumber dari internet

Disusun setelah sumber lisan  dengan menyebutkan judul artikel dan alamat situs web dalam kurung siku.

Contoh:

“Sociocultural Access in Vietnamese Society,” <http:www.cnet.com/html.1>

 

Pengutipan sumber

Pengutipan sumber tercetak mengikuti sistem MLA, yaitu menuliskannya diantara tanda kurung nama belakang penulis yang diacu, tahun terbit acuan, titik dua, dan halaman acuan yang dikutip, setelah akhir kalimat kutipan pada batang tubuh karangan.

Contoh:

…(Croft 2000:49)

 

 

www.geocities.com/liacybercampus/lingua2 

Hosted by www.Geocities.ws

1