• March 25 10

    My First Cerpen (Dua Gelar)

    Kuingat lagi peristiwa itu ketika kubuka album kenangan duapuluh tahun lalu. Masih teringat jelas dibenakku tentang apa yang kualami saat itu. Saat dimana susahnya menghidupi diri sendiri, mendapatkan cibiran dari orang lain, hingga bekerja keras demi mencapai cita-cita. Namun hasil akhir tidaklah selalu seperti apa yang kita harapkan. Semua kemungkinan bisa saja terjadi bahkan kemungkinan yang tak pernah kita bayangkan sekalipun.

    *

    Sinar kehidupan telah masuk kesela-sela jendela yang rapuh dan tua itu. Seekor burung pun sedang terbang bahagia dengan semua keluarganya. Bahkan ayam jago pun dengan bangga memamerkan suara jantannya. Sontak aku langsung terbangun dari tidur nyeyakku. Mencoba beralih dari dunia mimpi ke dunia yang sebenarnya. Aku terdiam untuk sesaat hingga aku menyadari bahwa sinar kehidupan telah tersenyum lebar diatas sana. Tak lama dari itu, aku segera membersihkan kamarku dan bergegas untuk mandi.

    Muhammad Isa, itulah nama lengkapku. Aku tinggal di sebuah desa kecil di pinggir kota Palembang. Aku adalah anak kedua dari lima bersaudara. Aku mempunyai satu kakak perempuan dan tiga adik laki-laki. Ayahku hanyalah seorang petani biasa yang mempunyai sepetak tanah. Ibuku ialah seorang pedagang harian. Barang yang biasa dijual ibu pun tak menentu. Ibu hanya menjual bahan-bahan pokok dalam jumlah kecil. Namun kadang kala ibu pergi ke desa sebelah untuk menawarkan kain yang dibuatnya sendiri.

    Aku duduk dikelas satu SMA sekarang. Aku bersekolah disalah satu SMA di desaku. Ahyar salah satu adikku tepat satu tahun dibawahku memutuskan untuk tidak lanjut sekolah. Ia lebih memilih untuk langsung bekerja dan membantu ekonomi keluarga kami. Semua anggota keluarga menghargai keputusan Ahyar tersebut. Adik laki-lakiku yang lain, Umar dan Abu sedang menempuh pendidikan di salah satu MTS didesa tersebut. Kak Amnah, saudara perempuanku satu-satunya, sekarang sedang fokus pada pendidikannya karena sebentar lagi ia akan menghadapi ujian nasional.

    *

    Angin berhembus melewati setiap daun di pepohonan. Memberikan udara sejuk bagi semuapenduduk desa. Sama halnya dengan angin yang berhembus, hari pun berganti dengan cepatnya. Dua tahun berlalu tanpa terasa. Tidak banyak perubahan yang terjadi di kehidupanku dan begitu pula keluargaku. Aku yang kini telah lulus dari SMA sedang bingung lantaran tidak tahu bagaimana cara untuk melanjutkan sekolah. Aku menyadari bahwa ayahku tak mungkin bisa membiayaiku untuk pergi ke universitas. Namun menempuh pendidikan di universitas dan menjadi guru kelak adalah sebagian dari mimpi-mimpiku.

    Dua bulan kuhabiskan hanya untuk bertani dan mengerjakan lahan sawah orang lain. Akubiasanya mendapat uang upah setiap minggu sore. Desas desus isu dan dan sindiran pun terus tak henti-hentinya menghampiri. Maklum hampir semua pemuda di desa ini hanya bisa menempuh pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama, bahkan hanya sampai pendidikan dasar.Kebanyakan dari mereka pun tak pernah mencicipi bangku sekolah sama sekali.�Toh walaupun kamu anak pintar, kamu tetap menjadi petani biasa. Kalau bibitnya petani ya buahnya juga bakal petani�, ujar tetanggaku penuh sindiran. Aku hanya diam dan tak menghiraukan kalimat tak berbobot itu.

    Sore harinya, aku duduk di halaman depan rumahku dan memandangi hamparan tumbuhan hijau yang ditanam oleh ibu. Kopi hitam manis pun tak tinggal untuk menemaniku. Sesaat kemudian terbesit didalam pikiranku tentang perkataan tak berbobot tadi. Aku terus berusaha untuk tidak mengigatnya, namun sia-sia. Semakin keras usahaku untuk melupakan kata-kata itu, semakin keras pula kata-kata itu menghantui pikiranku. Aku berjanji kepada diriku sendiri didepan hamparan tanaman tersebut untuk membuktikan bahwa apa yang dilontarkan oleh tetanggaku itu tidaklah benar.

    *

    Aku memutuskan untuk tetap meneruskan sekolahku bagaimanapun caranya. Aku membicarakan keinginanku tersebut kepada kedua orangtuaku. Ayah menyetujuinya dan mengatakan sebisa mungkin akan membantu biaya kuliahku kelak. Hingga pada akhirnya,satu bulan kemudian, Aku merasa telah mendapatkan uang cukup untuk biaya pergi ke kota. Aku pun berangkat menuju terminal dengan diantar oleh semua keluargaku. Ketika ingin menaiki mobil, Aku tak bisa menahan air mataku. Butir demi butitran air mata pun terus mengalir deras. Aku semakin tak kuat ketika melihat ibuku yang seakan tak merelakan keberangkatanku. Namun aku harus tegar, demi cita-citaku kelak.

    Dua kali kurayakan ulang tahunku dikota ini, tepatnya dikediaman paman yang telah kuhuni selama ini. Berita tentang keadaanku dikota pun menimbulkan banyak tanda tanya bagi penduduk desa. Kabar-kabar tak jelas asal usulnya pun bertaburan didesa. Banyak yang mengatakan bahwa aku tak bisa lagi melanjutkan kuliahku karena kekurangan biaya. Ada pula yang berpendapat bahwa aku hanya bisa menumpang dirumah keluaraga tanpa melakukan apa-apa. Bahkan tidak sedikit yang percaya bahwa aku telah melakukan sebuah tindakan kriminal dan tak berani lagi pulang kedesa. Semua berita itu sampai ketelinga ibuku. Kurangnya komunikasi membuat ibuku terpengaruh. Ibuku membayangkan apa yang dikatakan berita tak jelas itu memang benar-benar terjadi. Sejak itu ibuku tak pernah berhenti memikirkannya.

    *

    Kini masa kuliahku telah memasuki tahun keempat. Tahun dimana aku harus memulai menyusun skripsi. Aku mencurahkan seluruh perhatianku di tugas akhirku ini. Semua proses berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Saat aku mengajukan judul skripsi, guru pembimbingku jarang sekali menolaknya. Selain itu beliau juga sangat mudah untuk diajak diskusi sehingga mempercepat proses penyusunan skripsiku. Pengumuman bagi para calon sarjanawan yang akan diwisuda akan diumumkan akhir pekan ini. Aku tidak sabar untuk menunngu hari itu. Ketika hari pengumuman tiba, ternyata namaku tertera dikertas pengumuman tersebut. Aku pun mengucap syukur tiada henti. Aku pun tak sabar untuk memberitahu keluargaku tentang kabar bahagia ini.

    Aku pun menelpon ayahku untuk memberitahunya.

    �Tuut�tuut�tuut��, suara yang selalu terdengar ketika kita menelpon seseorang.

    �Halo? Ini siapa?�, sambut ayahku.

    �Ini aku Yah, Isa. Apa kabar Yah?�, jawabku

    �Oh Isa. Kabar ayah baik-baik saja. Kabarmu bagaimana Nak?�

    �Aku juga baik, Yah. Aku hanya ingin mengabarkan kalau aku telah menyelesaikan kuliahku dan akhir bulan ini akan diwisuda. Herlan sangat mengharapkan ayah dan ibu dapat menghadiri acara tersebut�.

    �Syukur alhamdullilah, selamat ya Isa. Ayah akan memberitahu keluarga yang lain. Ayah akan mengusahakan untuk datang ke acara tersebut�.

    �Diusakan?, kenapa masih diusahakan yah?�.

    �Ada urusan penting yang harus ayah urusi terlebih dahulu dan �tuut�tuuuut�.tuuuutt�..�

    Telpon pun terputus karena pulsaku telah habis. Tanda tanya besar bersarang di dalam benakku. Mengapa ayahku begitu sulit memutuskan untuk menghadiri acara wisudaku?. Apakah memang ada hal yang begitu penting? Apakah terjadi sesuatu dikeluargaku? Entahlah, pertanyaan itu akan selalu berdatangan jika aku terus memikirkannya.

    Hari demi hari kupersiapkan untuk menyambut wisuda. Semua sudah kupersiapkan dengan baik. Aku hanya tinggal menunggu datangnya hari itu. Tiga harisebelum acara,aku menerima pesan singkat dari ayahku. Ayahkku mengatakan bahwa ayahdan ibu tidak bisa menghadiri acara wisudaku. Karena hal yang sangat penting yang tak bisa mereka tinggalkan. Aku hanya terdiam setelah membaca pesan singkat itu. Aku bingung, heran dan tak menyangka. Bagaimana mungkin orangtua kandungku tidak bisa menghadiri acara penting bagi anaknya sendiri. Aku kesal sekali saat itu sehingga tidak lagi membalas pesan singkat itu. Aku memberi tahu pamanku tentang ketidakhadiran orangtuaku kelak. Paman pun berkata �yasudah besok paman akan mendampingimu di acara wisuda, tenang saja�. Aku lega mendengarnya. Setidaknya aku mempunyai seseorang yang mendampingiku besok walau bukan orangtua kandungku.

    *

    Ditengah larut malam paman datang ke kamarku. �Tookk�tokk..tokk�, terdengar jelas suara ketukan dari belakang pintu kamarku. Aku langsung terbangun dan segera membuka pintu. Lalu, tanpa ragu paman memasuki kamarku yang berantakkan itu. Ia langsung menyampaikan berita yang baru saja ia dapatkan.

    �Isa, barusan ayahmu menelpon ke telepon rumah�, kata paman

    �Benarkah, Paman?Lalu, apa yang Ayah katakan? Apakah mereka akan datang?. Jadi, mereka akan menghadiri acara wisudaku besok?, alhamdulillah akhirnya mereka mau mengubah keputusan�, balasku dengan semangat.

    �Tidak, bukan begitu. Mereka memintamu untuk pulang besok. Ada hal penting yang harus kau ketahui�, paman membalas tanggapan ku tadi.

    �Hal penting? Hal penting apa Paman?. Ayah selalu begitu, selalu beralasan ada hal penting tanpa memperjelas apa hal penting terebut. Bagiku, wisuda adalah hal terpenting dalam hidupku sekaran. Aku tak mau mengacaukan hal pentingku tersebut�, jelasku pada paman

    Badmoodku tambah menjadi-jadi setelah aku mengetahui kabar itu. Aku langsung pergi ketempat tidurku lagi dan berselimut ria diatasnya. Aku tak lagi menghiraukan paman sangking kesalnya. Paman pun meninggalkan kamarku.

    Hari itu pun tiba, aku telah siap sejak pukul enam pagi. Telah kulupakan semua masalah yang terjadi. Pikiranku hanya terfokus pada acara wisudaku saja . Aku berangkat dengan penuh semangat dan suka cita. Paman juga turut mendampingiku dengan kemeja hitamnya yang gagah. Satu jam kemudian kami tiba di tempat acara. Terasa sekali aura semangat para calon sarjanawan. Mereka terlihat sangat bahagia dengan didampingi kedua orangtua mereka. Aku hanya bisa menghela nafas dan ya, aku harus mensyukuri apa yang ada. Para calon sarjanawan duduk dengan rapi di tempat yang telah disiapkan, menunggu gilliran mereka untuk dipanggil kedepan dan menerima ijazah. Satu per satu nama dipanggil hingga giliran itu jatuh pada namaku. Entah mengapa perasaan yang tadinya penuh dengan suka cita pun berubah menjadi perasaan khawatir yang amat sangat. Angin yang berhembus pun terasa begitu kencang. Entahlah, namun ini terasa sangat aneh. Aku tetap maju kedepan dengan mengumpulkan kepercayaan diriku yang masih terisisa. Aku tak percaya bahwa aku akan menjadi seorang sarjanawan. Senyum bahagia kuberikan kepada rektor yang hendak memberikan ijazahku. Dengan semangat aku menyambutnya tapi tiba-tiba,�BRAAAKKKK� ijazah itu pun terjatuh sebelum aku sempat menyambutnya.

    *

    Kuusap lagi album penyesalan itu. Sungguh kusesali keputusanku saat itu. Tak kusangka, Tuhan memiliki skenarionya sendiri. Manusia tak akan pernah bisa berperan sesuka mereka. Karena sesungguhnya, Tuhanlah pemilik skenario kehidupan. Maafkan aku yang lebih memilih kehormatan dan kebanggaan atas namaku. Mungkin pantas bagiku untuk melepaskanmu, wahai ibuku. Dan kini aku Muhammad Isa, seorang anak yang mendapat dua gelar di hari yang sama, sarjana pendidikan serta piatu.

    ***

    by : Srimuliyana OJT