Home > Artikel > (Lagi-Lagi) Jangan Bayangkan Linux itu Gratis

(Lagi-Lagi) Jangan Bayangkan Linux itu Gratis

Lanjutan dari Jangan Bayangkan Linux itu Gratis, Apalagi Murah (?)

Tidak diduga, dalam jangka waktu kurang dari sebulan penulis menemukan tiga tulisan megenai Linux di tiga media komputer yang selama ini, seperti menjadi bukan rahasia umum, selalu Windows-minded. Yang pertama, sudah diulas di tulisan terdahulu. Lalu, ada tes perbandingan sistem operasi desktop. Ceritanya, Linux diadu melawan Windows XP (yang masih beta), Windows 2000, dan BeOS. Kesimpulannya, sudah dapat ditebak, Linux dianggap hanya cocok buat para maniak komputer yang hobinya ngoprek semata. Lalu, ada tulisan lain di media lain yang isinya mirip dengan tulisan pertama, menyoal mahalnya Linux. Tanpa harus menyebut nama media tersebut, kebetulan ketiganya berasal dari satu grup penerbitan besar di Indonesia. Lucunya, satu media lain dari grup yang sama, sudah lama mengakomodasi Linux dengan menyediakan Rubrik Linux dan Tanya Jawab seputar Linux.

Untuk tulisan soal perbandingan antarsistem operasi, itu sepenuhnya hak pengujinya. Yang penting jelas parameternya. Dalam tulisan yang penulis baca, mirip dengan tulisan serupa sekitar tiga tahun yang lalu di salah satu media komputer, yang merupakan saduran dari artikel di PCWorld. Kesimpulannya, Linux belum cukup mudah digunakan, namun di masa yang akan datang akan lebih baik lagi. Sulit dibayangkan tiga tahun setelah itu, salah satu media memuat kesimpulan yang sama. Linux memang belum sempurna, namun bila dikatakan belum layak dicoba dan hanya cocok untuk opreker, ya tidak terlalu tepat. Ini terjadi akibat mispersepsi dalam memandang Linux. Pertama, Linux mencakup sebuah komunitas, bukan sebuah sistem tertutup yang dikuasai satu perusahaan tertentu seperti Microsoft, Be, atau Apple. Linux, dalam pengertian definisi, hanyalah kernel. Diibaratkan PC, Linux cuma prosesornya thok. Untuk menjadi satu sistem operasi lengkap, dibutuhkan komponen-komponen lain antara lain dari GNU, Apache, XFree86, KDE, GNOME, dan puluhan projek lain. Distro diibaratkan merk PC. Jadi, RedHat, Caldera, Slackware, SuSE bisa diibaratkan Dell, Compaq, IBM, atau Acer yang siap digunakan.

Jadi, tidak mungkin menghakimi Linux hanya dari satu atau dua distro. Dari jutaan user Linux, sebagian besar di antaranya pernah mencoba lebih dari dua distro dan punya preferensi lebih dari satu distro. Untuk mewakili komunitas Linux, mungkin memang bisa dilakukan tes terhadap minimum sekitar enam distro populer (RedHat, SuSE, Caldera, TurboLinux, Debian, dan Slackware). Namun, harus diingat varian dari satu distro pun beragam, seperti RedHat yang punya tiga varian untuk platform Intel (belum termasuk versi download), ditambah versi Alpha, atau Debian yang punya empat varian platform (Intel x86, PowerPC, Alpha, M68k). Namun, sebagian besar distro komersial punya minimum dua versi (download dan boxed).

Lalu, sekali lagi mengenai gratis dan murah. Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan gratis dan murah ? Yang dibagikan cuma-cuma ? atau yang tidak berharga ? Seperti misalnya buah mangga di rumah tetangga yang gratis namun anda harus memanjat dan memetiknya sendiri (bukan nyuri lho...). Begitu pun dengan Linux (dalam pengertian kernel) adalah gratis, segratis-gratisnya. Namun anda harus ambil sebdiri di internet, atau anda bisa pinjam dari teman dan mengopinya sebanyak yang anda mau. Distro pun bisa didownload gratis atau bisa anda pinjam dari teman atau anda dapatkan dari bonus pembelian majalah atau buku, dan bisa anda kopi sesuka hati dan kopiannya anda jual lagi, asal masih pakai nama distronya, tentu saja :).

Tulisan-tulisan di atas mempermasalahkan biaya pelatihan yang mahal. Ini bukan berarti Linux itu mahal, hanya karena belum banyak dan menyebarnya tempat-tempat kursus Linux. Harus diingat, dulu pun kursus komputer berbasis DOS pun masih sulit dan elite, begitu pun saat Windows hadir pertama kali. Jadi, kesulitan bukan karena Linux itu susah dan mahal, namun karena keengganan atau kebiasaan, atau ekstremnya, ketergantungan yang tinggi terhadap sistem Windows. Di sisi lain, ada skeptisisme terhadap Linux, menganggap rendah karena Linux itu gratis dan murah, dan rendahnya minat untuk mendalami komputer. Bagi yang menganggap komputer hanya sekadar alat untuk menyelesaikan pekerjaan, sistem apapun yang terpasang sebenarnya tidak jadi masalah, masalahnya terletak pada kebiasaan, dan penghargaan yang rendah tadi. Bagi yang menggunakan komputernya sebagai pengganti mesin ketik sebenarnya bisa langsung menggunakan Linux dengan StarOffice atau KOffice, Klyx, AbiWord, Maxwell, atau WordPerfect tanpa banyak kesulitan baik teknis maupun legal (karena semua tadi gratis dan cukup user-friendly) dan malahan bebas virus (macro). Bagi yang suka berinternet, tersedia aplikasi-aplikasi browser, IRC, messaging, FTP, dan e-mail di Linux yang tidak kalah dengan platform lain (kecuali QuickTime :(). Dan pengguna di level itu mungkin adalah sebagian besar pengguna komputer di Indonesia. Jadi, kalau anda beli Windows (dengan sah) ditambah aplikasi Office, Graphic, Drawing, Utilities, Antivirus, dan lain-lain (dengan sah juga), harganya akan jatuh di atas harga hardware yang anda punyai. Kalau anda pakai Linux, anda cuma beli satu distro (boxed) atau anda bisa download, pinjam dari teman dan dikopi, atau beli di Glodok/ Toko Linux, atau beli majalah dan buku berbonus CD Linux, dan anda cuma membayar seharga itu. Dan Linux nyaris tidak membutuhkan aplikasi utilities (sudah built-in) dan antivirus (kecuali anda bekerja di jaringan).

Jadi, apa yang salah dengan komunikasi 'pemasyarakatan' Linux selama ini? apakah hanya dengan klaim Linux itu murah dan gratis cukup menarik perhatian? Apakah tidak bisa kita (komunitas Linux) menekankan pada legalitas, penghargaan hak cipta, kemudahan dan kehandalan sistem Linux itu sendiri ? Munculnya Trustix Merdeka adalah salah satu terobosan besar, sebagai distro Linux yang dirancang sesuai perilaku pengguna komputer di Indonesia. Munculnya media InfoLinux juga harus disambut gembira, meskipun bagi penulis isinya masih terlalu teknis dan 'berat' bagi pemula (mungkin kita perlu satu media lagi yang agak 'gaul' soal Linux). Buku-buku Linux pun terus bermunculan. Cuma, untuk mendapatkan CD Linux itu sendiri masih dirasakan sulit kalau tidak secara online, apalagi aplikasinya. Selain itu, even-even Linux (seminar, workshop, pameran) masih jarang, dan kalaupun ada, masih terpusat di Jakarta. Peran serta KPLI daerah memang perlu dioptimalkan lagi. Akan lebih baik lagi bila sosialisasi OSCA (Open Source Campus Agreement) lebih digalakkan.

Artikel Terkait

back to index


Homepage ini seisinya © 2002-2007 oleh Imam Indra Prayudi 1