My Growing Up Places Semarang
Photo By
(Setyono Budhy Santosa, 2001)
Kawasan Pecinan Gang Pinggir Semarang Kelenteng Tong Pek Bio Di Gang Pinggir 70
BERWISATA KE PECINAN SEMARANG

Terhampar di kawasan padat penduduk yang bersesakan dengan pedagang kaki lima, ke-sibukan Kampung Tionghoa, yang biasa disebut Pecinan Semarang, memiliki daya tarik tersendiri. Selain menjadi salah satu pusat perdagangan di Se-marang, kawasan ini menjadi pusat peribadatan umat Kong Hu Cu.

Tujuh dari sekitar 20-an kelen-teng yang ada di Semarang terdapat di kawasan ini. Salah satunya adalah Kelenteng Tay Kak Sie. Kelenteng yang di-bangun tahun 1746 atau 256 tahun yang lalu ini juga dikenal dengan sebutan Kelenteng Gang Lombok. Kelenteng tertua ini tampak terawat rapi dan menjadi center warga Pecinan yang mayoritas dari etnis Tiong-hoa.

Daerah Pecinan Semarang ini sebentar lagi akan dikembang-kan menjadi kawasan wisata bu-daya. Pecinan dinilai memiliki ni-lai yang luar biasa, baik dari po-tensi kesenian maupun sosial budayanya.

"Ada aset wisata yang luar biasa di kawasan Pecinan Semarang ini. Ada apa di Pecinan saja su-dah merupakan daya tarik ter-sendiri. Aset ini strategis kaitan-nya dengan nation character building," kata Ketua Tim Pe-ngembangan Pariwisata Pecinan Jawa Tengah di Semarang, Ir Widya Wijayanti MURP MPH kepada Pembaruan di Sema-rang belum lama ini.

Menurut Widya, budaya Pecinan yang berkembang di Indonesia tidak lagi asli seperti di negeri Tiongkok. Namun dengan ada-nya pertautan budaya yang ter-jadi secara berangsur-angsur selama berabad-abad lamanya, Pecinan di Indonesia memiliki nilai khas tersendiri.
Kelenteng Sam Po Kong,Gedong Batu  yang dulunya adalah Masjid tempat sembahyang Cheng Ho dan pengikutnya
Kelenteng Ling Hok Bio, gang Pinggir 110 Semarang
Senada dengan itu, budayawan Darmanto Jatman menyatakan, adanya interaksi antara orang-orang Tionghoa dengan masya-rakat Jawa, bisa membuat per-bedaan yang sangat signifikan dengan orang-orang Tionghoa yang merantau di negara-negara lain. Pertautan budaya antara Tionghoa dan Jawa telah mela-hirkan satu subkultur baru.

Misalnya di Kelenteng Sam Poo Kong, orang telah sulit menge-nali, apakah kelenteng itu untuk Tridarma, atau untuk agama Buddha dan Kong Hu Cu saja. Bahkan di sekitar kelenteng itu terdapat kuburan Islam dan ada-nya orang-orang yang berinter-aksi menggunakan bahasa Arab. Daerah seperti ini, lanjutnya, menjadi menarik dan penting untuk dielaborasi lebih jauh.

Namun selain ciri-ciri khusus subkultur baru yang bisa mem-perkaya atraksi wisata, budaya Cina yang universal pun bisa di-kemas menjadi aset. "Lebih mu-dah bila turis dari luar mengenal Pecinan ya... sebagai China town seperti di kota-kota lain, namun China town gaya Se-marang yang memiliki linkage dengan daerah-daerah lain, se-hingga menjadi satu kesatuan wisata Pecinan," papar Darman-to.

Antropolog Undip, Mujahirin Thohir MA, mengatakan, ketika Pecinan mau diangkat sebagai kawasan wisata, terdapat tiga potensi penting. Yaitu dunia fisik berupa artefak atau hasil-hasil warisan budaya, seperti kelen-teng, kesenian, dan upacara-upacara keagamaan, yang bisa menjadi objek wisata konkret.

Sementara itu, tingkah laku baik yang eksklusif dalam kekerabat-an masyarakat Cina di Sema-rang maupun yang inklusif ketika berinteraksi dengan masyarakat Jawa dan etnis lain, bisa juga menjadi daya tarik. Selain itu, juga konsep-konsep agama, di mana terjadi akulturasi.

"Pecinan bisa menarik bila paket pariwisata bisa menampakkan tiga hal itu sekaligus. Baru ke-mudian persoalan-persoalan se-kunder, seperti penataan ling-kungan," kata Mujahirin.

Objek Jualan

Robert Budi Wijaya (56), Ketua Pengurus Kelenteng Gang Lom-bok yang juga sesepuh warga Tionghoa di Pecinan Semarang kepada Pembaruan, awal Juli lalu mengatakan, Karnaval Sam-poo yang secara rutin diadakan dua kali setiap tahun, betul-betul bisa menjadi objek turis yang dijual.

Setiap tahunnya, ada dua upa-cara yang wajib dilaksanakan. Sampoo Tay Jien yang disebut juga Sampoo besar, yaitu arak-an Dewa Dagang dari Kelenteng Gang Lombok ke Kelenteng Ge-dung Batu, yang dikenal dengan Kelenteng Sampoo Kong. Se-mentara upacara Poo Seng Tay Tee atau Sampoo kecil, yang mengarak Dewa Obat dari ke-lenteng Gang Lombok menuju petilasan Boom Lama di Ban-darharjo.

Di masa Orde Baru, ketika upa-cara ritual Kong Hu Cu masih dilarang, kegiatan tersebut tetap dilaksanakan di Semarang. "Upacara ini tak pernah terputus, selalu ada setiap tahun," papar Robert. Bedanya, di masa Orba, para patung dewa diangkut dengan truk. Di zaman reformasi ini, arak-arakan patung dewa, Liong - Barongsai, Behun (pe-ngawal Sampoo) dan kuda Sampoo dilakukan berjalan kaki.

Mulai tahun 2001 lalu, arak-arakan Liong-Barongsai yang turut meramaikan Karnaval Sampoo, tidak saja diikuti pe-serta dari Semarang, tetapi juga dari Surabaya, Bandung, dan Jakarta.

Selain dua upacara ritual itu, tambah Kwa Tong Hay, Sekre-taris Badan Pembangunan Ke-lenteng Sampoo Kong, masih ada bentuk kesenian Tionghoa lainnya. Seperti sandiwara Mih Cicih yang menggambarkan kondisi orang Tionghoa dengan gaya Melayu, wayang kulit Ti-onghoa berbahasa Jawa seperti cerita Si Jin Gui yang diganti dengan nama Jawa Joko Sudiro, serta wayang golek khas Tiong-hoa bernama Potehi.

Ia menambahkan, hasil kreasi seniman Tionghoa juga mulai dikenal di mana-mana, yang di-tunjukkan dengan keramik Ti-ongkok, seni lukis, dan batik-membatik Yunan.

Alamiah

Ide mengembangkan pariwisata berciri wisata heritage atau wa-risan budaya di Pecinan ini, me-nurut Robert, bermula dari Dinas Pariwisata Kota Semarang. Se-bagai orang Tionghoa yang ber-asal dari keluarga yang telah ti-ga generasi hidup di Pecinan, Robert mengatakan, bila daerah-nya akan dikembangkan menjadi China Town, yang paling penting adalah prosesnya secara ala-miah.

Alamiahnya kehidupan Pecinan di Semarang tidak dapat dile-paskan dari adanya proses akulturasi antara orang Tiong-hoa dengan orang Jawa, serta orang Tionghoa dengan etnis lain, seperti Arab.

"Contohnya dengan Arab, Peci-nan Semarang langsung berba-tasan dengan kampung orang keturunan Arab, yaitu Pekojan. Secara otomatis, ada proses sa-ling mengisi yang terjadi, baik dari bentuk keseniannya, tingkah lakunya, maupun dari makanan-nya," papar Robert pula.

Makanan khas Pecinan, kata Robert, juga menjadi daya tarik tersendiri, tidak hanya untuk orang Tionghoa. Bahkan maka-nan khas yang selalu mudah dicari di China Town di seluruh dunia tersebut, di Semarang ju-ga sudah mengalami akulturasi dengan budaya Jawa.

Dibenahi

Banyak aset, namun masih perlu digali lebih jauh. Kwa Tong Hay mengatakan, bila Pemkot Sema-rang menginginkan Pecinan be-nar-benar menjadi aset wisata, objek-objek wisata yang diingin-kan perlu didekati.

Kelenteng-kelenteng di Pecinan Semarang, menurutnya, meru-pakan kelenteng yang paling terawat rapi, dibanding kelen-teng di kota-kota lain. Ornamen dan atap yang melengkung naik menunjukkan gaya Tiongkok Se-latan. Kelenteng-kelenteng itu merupakan penyembahan bagi Dewa Bumi, karena itu dibangun di tiap mulut gang untuk me-nangkal pengaruh bumi yang bu-ruk.

Adanya kegairahan semangat reformasi, kata Kwa Tong Hay pula, menyebabkan tiap-tiap ke-lenteng ramai-ramai melakukan kirab sendiri-sendiri, yang tidak didasarkan pada ritual Kong Hu Cu. Bahkan terkesan berlomba-lomba. Ia mengatakan, hal itu perlu ditertibkan, agar tidak me-rusak suasana ritual yaitu se-dekah kepada Dewa Bumi.

Selain itu, rumah-rumah obat atau sinshe, rumah-rumah ma-kan, serta gedung-gedung tua bisa menjadi tempat singgah tu-ris. Sayangnya, banyak gedung tua telah dibongkar dan didirikan bangunan baru. Seperti gedung Be Biau Tjoan di Kebondalem yang dulu dikenal dengan Ge-dung Gula dan dilengkapi deng-an taman yang indah.

Kali Semarang yang mengalir persis di tepi Gang Lombok, yang dulu dikenal dengan pera-hu-perahu nelayan membawa ikan hasil tangkapan dari laut utara Semarang, sudah tak me-ngalir karena endapan sampah begitu tebal.

Gang Lombok sendiri yang diharapkan menjadi jalan utama China Town Semarang hanya selebar 6,5 meter, dan kini dipenuhi pedagang barang rong-sokan.

Ir Pandaya, Sekretaris Pengurus Kelenteng Gang Lombok, me-ngatakan, revitalisasi lingkungan menjadi suatu hal yang penting.

Sejauh ini, pihaknya sudah me-ngusulkan penataan jalan di se-kitar Kelenteng Gang Lombok. Gang itu diminta untuk dile-barkan menjadi 11,5 meter dengan revitalisasi yang benar-benar mendukung, seperti pena-naman pohon Yangyu, pohon khas Tiongkok yang menjuntai ke bawah dan membangun ga-pura dengan gaya Cina.

Masih banyak yang bisa dilaku-kan untuk mengembangkan Pe-cinan Semarang kawasan yang punya karakter heritage Peci-nan.

Tiongkok Selatan - Kelenteng Liong Hok Nio di salah satu sisi Gang Pinggir, gang utama di Pecinan Kota Semarang. Orna-men dan atap kelenteng yang melengkung ke atas menun-jukkan gaya Tiongkok Selatan. Pecinan, selain menjadi pusat peribadatan umat Kong Hu Cu, juga menjadi salah satu pusat perdagangan di Kota Semarang.

Gang Lombok - Salah satu sisi Pecinan yang disebut Gang Lombok ini terletak di tepi Kali Semarang yang kumuh karena endapan sungai begitu tebal (tampak di bagian belakang atap Kelenteng Tay Kak Sie). Revi-talisasi lingkungan, termasuk sungai dan jalan, menjadi pra-syarat untuk mendukung Peci-nan Semarang menjadi tempat wisata.

Kelenteng Tertua - Kelenteng Tay Kak Sie yang telah berusia 256 tahun dan terletak di Gang Lombok, Pecinan, merupakan kelenteng tertua dari sekitar 20-an kelenteng yang ada dan menjadi pusat Kampung Tiong-hoa di Kota Semarang. Ling-kungan kelenteng tampak se-dang dibenahi setelah Pemkot Semarang bermaksud menjadi-kannya sebagai aset pariwisata.

Sumber: Suara Pembaruan,
                    21 Juli 2002
Tempat Menarik di Semarang di Semarang

Makam Ki Ageng Pandanaran

Ki Ageng Pandanaran adalah Adipati Semarang yang pertama dan tanggal diangkatnya beliau sebagai adipati dijadikan hari jadi Kota Semarang. Dengan demikian beliau dianggap sebagai pelopor berdirinya kota Semarang. Ki Ageng Pandan Arang atau Pandanaran meninggal pada tahun 1496. Tempat ini banyak dikunjungi oleh peziarah terutama pada acara khol meninggalnya beliau. Makam Ki Ageng Pandanaran ini berada di Jl. Mugas Dalam II / 4 Semarang.

Museum Ronggowarsito

Museum yang terletak di Jl. Abdul Rahman Saleh ini merupakan museum terlengkap di Semarang yang memiliki koleksi mengenai sejarah, alam, arkeologi, kebudayaan, era pembangunan dan wawasan nusantara. Dengan nama yang diambil dari salah satu pujangga Indonesia yang terkenal dengan hasil karyanya dalam bidang filsafat dan kebudayaan, museum ini menempati luas tanah 1,8 ha. Museum ini dibuka setiap hari pukul 08.00-14.00 WIB kecuali hari Senin.

Museum Jamu Jago dan Muri

Meseum yang memiliki koleksi foto-foto, slide dan peralatan tradisional pembuatan jamu pada masa lalu ini berlokasi di Jl. Setiabudi no.179 Srondol Semarang. Museum ini didirikan oleh perusahaan Jamu Jago sebagai pusat informasi dan promosi hasil jamu. Sementara itu museum MURI mengoleksi catatan rekor maupun prestasi luar biasa yang dimiliki orang-orang Indonesia, tercatat 142 data mengenai orang-orang dengan keistimewaan seperti : terberat, pinggang teramping, rambut terpanjang, dan lain-lain.
Disini pengunjung tidak dipungut biaya dan dibuka pada hari Senin � Jumat dari 08.00-16.00 WIB. Pengunjung akan dihibur dengan kesenian karawitan baik yang dilakukan oleh karyawan-karyawati ataupun orang-orang cebol.

Taman Budaya Raden Saleh.

Tempat yang semula merupakan Taman Hiburan Rakyat sebagai kebun binatang yang dimiliki kota Semarang, kini setelah kebun binatang dipindah ke daerah Tinjomoyo, menjadi Taman Budaya Raden Saleh. Dengan fasilitas berupa gedung berkapasitas 1000 orang, taman ini lebih dikenal sebagai tempat pertemuan dan resepsi pernikahan.

Istana Majapahit

Fasilitas hiburan bagi masyarakat yang barada di Jl. Majapahit 288-290 ini memiliki kolam renang, kolam pancing, kereta, mainan anak dan gedung kesenian. Di Gedung Kesenian inilah digelar wayang orang setiap malam dimulai dari pukul 20.00 WIB sampai selesai. Untuk Istana Majapahit sendiri bisa dikunjungi setiap hari dari jam 06.00-21.00 dengan tariff Rp.1.750,00 ; Rp. 2.000,00

Puri Maerokoco

Sebuah obyek wisata yang berada di komplek Tawangmas PRPP ini dimaksudkan sebagai Taman Mini Jawa Tengah yang merangkum semua rumah adat yang disebut dengan anjungan dari 35 kabupaten dan kota yang ada di Jawa Tengah. Di dalam rumah-rumah tersebut digelar hasil-hasil industri dan kerajinan yang diproduksi oleh masing-masing daerah. Selain menampilkan rumah-rumah adat, obyek wisata ini dilengkapi dengan fasilitas rekreasi air seperti sepeda air, perahu juga kereta bagi pengunjung.

Agro Wisata Sodong

Obyek wisata agro yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Semarang ini berada sekitar 20 km dari pusat kota. Kawasan dengan luas areal 350 ha ini juga mengembangkan pertanian, perkebunan dan perikanan selain juga direncanakan akan dibangun kolam renang dan permainan anak. Dengan suasana asri pedesaan, pengunjung akan dapat menikmati kebun bunga dan buah seperti rambutan ataupun sayuran, seperti mentimun dan jagung manis.

Pantai Marina

Pantai Marina adalah tempat rekreasi berupa kolam renang dan pemandangan pantai karena terletak di pinggir pantai Semarang. Selain menawarkan fasilitas kolam renang pengunjung juga bisa menikmati fasilitas taman bermain, gazebo, lapangan volley pantai dan rekreasi air.

Gedung Batu

Klenteng ini dibangun oleh seorang utusan dari Tiongkok yang bernama Sam Poo Tay Djien dalam lawatannya ke Semarang, sebagai salah satu persinggahan dari rangkaian kunjungannya ke negara-negara Asia. Klenteng yang memberikan inspirasi bagi berkembangnya berbagai legenda mengenai kota Semarang khususnya kawasan Simongan ini memiliki bentuk bangunan yang sangat indah. Dengan perpaduan ornamen Cina yang sangat kental dipadu dengan bentuk atap yang mirip joglo, bangunan ini merupakan tempat yang menarik untuk dikunjungi.

Kebun Binatang Tinjomoyo

Taman Margasatwa dan Kebun raya, atau yang Secara resmi disebut Taman Margaraya Tinjomoyo, oleh masyarakat Semarang lebih dikenal dengan sebutan "Bon-bin" Tinjomoyo", merupakan re-lokasi dari Kebun Binatang Tegal Wareng pada tahun 1985. Obyek Wisata ini berada di bagian selatan kota Semarang, menempati lahan seluas 57 hektar berupa hutan kota yang didalamnya terdapat berbagai jenis binatang serta tempat bermain anak-anak.


Gereja Blenduk

Dibangun pada tahun 1750 dan dipugar pada tahun 1894 HPA de Wilde Westmas, gereja ini merupakan peninggalan Belanda. Disebut gereja Blenduk karena bentuk kubahnya yang seperti irisan bola,maka orang mengatakan �mblenduk�....

Tugu Muda

Sebuah tugu berbentuk lilin berdiri tegak di tengah persimpangan Jl. Sutomo, Jl. Pandanaran, Jl. Imam Bonjol dan Jl. Soegiyopranoto. Tugu ini dibangun sebagai monumen untuk mengenang heroisme pejuang Semarang melawan penjajah Jepang yang dikenal sebagai pertempuran selama lima hari di kota Semarang dari tanggal 14-19 Oktober 1945

Sejarah dan Tradisi Pecinan Semarang


Sejarah munculnya kawasan pecinan berdasar buku Kota Semarang dalam Kenangan karangan Jongkie Tio bermula dari pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740.

Dalam peristiwa itu, banyak orang Tionghoa yang melarikan diri meninggalkan Batavia melalui darat sepanjang utara ke arah timur. Sepanjang perjalanan itu mereka terus melawan tentara Belanda, perlawanan ini dipimpin oleh Ni Hoe Kong atau lebih dikenal sebagai Captain Souw Panjang, seorang jago silat.

Sesampai di Semarang, Souw Panjang menghimpun orang-orang Tionghoa, di antaranya pesilat di Semarang yang terkenal di masa itu bernama Sing She. Perlawanan terhadap penguasa Belanda ini terus berlanjut hingga tahun 1743, tetapi akhirnya Belanda berhasil menumpas pemberontakan itu.

Akibat peristiwa itu, penguasa Belanda kemudian memaksa orang-orang Tionghoa pindah dari daerah Simongan dan masuk ke Semarang agar dapat dikonsentrasikan di daerah sekitar Kali Semarang sehingga mudah diawasi. Simongan adalah tempat pendaratan pertama kali Laksamana Cheng Ho pada sekitar abad ke-15 di wilayah Semarang.

Di sekitar Kali Semarang inilah awal munculnya permukiman penduduk Tionghoa yang kemudian dikenal masyarakat Semarang sebagai daerah pecinan. Pada masa itu, daerah tersebut terdiri atas daerah Beteng, Wotgandul, Cap Kau King, Gang Pinggir, dan Kalikoping. Dan untuk pengamanan, Belanda mendirikan satu tangsi militer De Werttenbergse Kazerne di Jalan Jurnatan. Sayangnya, gedung itu kini telah dibongkar dan digantikan Pertokoan Semarang Plaza.

Luas kawasan pecinan Semarang saat ini, menurut Widya Wijayanti, Koordinator Tim Revitalisasi Kawasan Pecinan Semarang, sekitar 40 hektar.

Nama jalan Cap Kau King yang saat ini berubah menjadi Jalan Wotgandul Timur, menurut cerita masyarakat pecinan, memang bermula dari munculnya 19 rumah di daerah itu
Gereja Blendhoek
http://students.ukdw.ac.id/~22012749/blenduk.html
Tugu Muda
"Karena ada 19 rumah yang berdiri di jalan itu, lama kelamaan masyarakat mengenalnya sebagai Jalan Cap Kau King," ujar Ong Bing Hok (57), warga Gang Cilik yang berprofesi sebagai pembuat alat-alat ritual sembahyangan Konghucu.

Ong, yang sedari kecil tidak pernah meninggalkan kawasan pecinan, mengaku senang dengan rencana menjadikan kawasan pecinan sebagai kawasan wisata dan warisan nasional.

"Rencana itu cukup baik, supaya nilai-nilai kebudayaan dan tradisi China tidak punah mengingat tradisi itu sudah berusia ribuan tahun. Siapa lagi yang akan mengingat dan melestarikannya," harapan Ong.

Ong sempat menceritakan tradisi seperti pemasangan ting kematian, yaitu sejenis lampion berwarna putih yang digantung di depan rumah dan di dalamnya dipasangi lampu kecil. Saat ini ting itu sudah tidak pernah lagi dijumpai di rumah-rumah di kawasan pecinan.

"Ting ini dipasang untuk menandakan penghuni rumah sedang berada dalam suasana dukacita karena ada kerabatnya yang meninggal. Dahulu, banyak rumah di kawasan pecinan memasang ting kematian ini, bahkan ada yang memasangnya hingga seribu hari," papar Ong.

Menurut Ong, kini, sebagian besar masyarakat pecinan sudah mengenyam gaya hidup modern sehingga hanya tersisa sedikit orang Tionghoa yang mau meneruskan tradisi-tradisi China itu.

"Zaman sudah modern, kemungkinan sudah banyak warga Tionghoa yang tidak memerlukan lagi tradisi pemasangan ting semacam itu. Sekarang, tanda kematian cukup memasang bendera wara putih sebagai tanda lelayu," tutur Ong datar.             

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/tanahair/1246797.htm
Bila Berniat Jajan di Semarang
TEH POCI ALA CAFE IKUT MERAMAIKAN


Jajanan Semarang umumnya terletak di daerah Simpang Lima. Selama 24 jam, makanan silih berganti dijajakan di sana. Ada 5 buah jalan yang menuju bundaran Simpang Lima, yaitu jl. Gajah Mada, jl. KHA. Dahlan, jl. Ahmad Yani, jl. Pahlawan, dan jl. Pandanaran. Di ke-5 jalan inilah bermacam makanan bisa Anda temui dalam tenda-tenda warung sederhana. Namun tentu saja selain di Simpang Lima, masih ada jajanan lain yang membuat Semarang digemari para pencinta makanan. Misalnya, lumpia atau wingko. Nah, mari kita simak satu per satu.

NASI AYAM

Nasi ayam amat populer di Semarang. Dijual dalam pincuk-pincuk yang isinya nasi gurih, suwiran daging ayam yang dimasak opor, telur ayam bacem, dan sambal goreng jipang. Selain dijual secara berkeliling, kita bisa juga menemukannya di tempat tertentu. Salah satunya,di depan Supermarket Matahari Simpang Lima. Ada sekitar 12 mbok-mbok penjual nasi ayam di sana.

Rata-rata mereka sudah lama berjualan nasi ayam. Surtini, misalnya, sudah 20 tahun berdagang nasi ayam. "Tetapi mangkal di sini, sih, baru 11 tahun," katanya. Di lokasi ini nasi ayam standar dengan menu di atas, dijual dengan harga Rp. 2000.

Tetapi kalau Anda mau lebih lengkap, tersedia juga lauk tambahan seperti opor ayam, ati ampela, sate telur puyuh bacem, sate usus ayam, dan sambalnya.

Begitu cintanya masyarakat Semarang dengan hidangan ini, sampai-sampai meski jumlah pedagangnya sudah banyak, toh, masih laris juga. Surtini, contohnya. Ia berjualan sejak pukul 06.00 hingga siang hari. Selama waktu itu ia menghabiskan 7 kilogram beras. Padahal tak sedikit jajanan lain serupa di kota Lumpia ini. Malam hari nasi ayam juga bisa ditemui di tempat yang sama. Jangan terkejut bila Anda melihat antrean yang cukup panjang plus ayam dan nasi berbakul-bakul. Karena jumlah sebanyak itu pun umumnya ludas tanpa sisa.


NASI LIWET

Sepintas sama saja dengan nasi liwet, toh, orang tetap menamakannya nasi liwet. Isinya pun sama persis dengan nasi ayam Cuma penyajiannya saja yang berbeda. Nasi ayam disajikan dalam pincuk, nasi liwet di atas piring yang diberi alas daun pisang dan ditambahkan kerupuk rambak.

Banyak sekali tenda-tenda nasi liwet lesehan di Semarang. Antara lain di Simpang Lima, di jl. Pahlawan. Hartini, penjual yang sudah mangkal di situ selama 20 tahun di situ melengkapi jualannya dengan ayam goreng, ayam bumbu, ati ampela goreng, usus sapi goreng, babat goreng serta koyor (urat sapi yang kenyal). Ia juga menjual nasi pecel.

Waktu "operasi" Hartini lumayan panjang. Ia sudah berangkat sejak menjelang sore dari rumahnya di daerah Pleburan, tak jauh dari lokasi. Tendanya mula dibuka sejak pukul 4 sore. "Hari biasa pukul 9 malam sudah habis, tetapi kalau malam Minggu bisa semalam suntuk," kata Hartini yang sehari bisa menghabiskan 20 kilogram beras itu.


MI KUPAT

Sesuai dengan namanya, sajian ini berisi ketupat dan mi. Tetapi akhir-akhir ini mulai berganti menjadi mi lontong. Karena sulitnya mencari daun janur. Dagangan ini biasa dijual berkeliling. Isinya lumayan sederhana. Cuma irisan ketupat, mi telur yang direbus bersama irisan sawi dan taoge lalu diberi air bawang putih, taburan seledri, bawang goreng, dan kerupuk gendar. Sebagai penyedap juga ditambahi kecap.

Mugi Suharto yang sudah 20 tahun berkeliling Semarang menjual mi kupat menjual makanan ini hanya seharga Rp 1.000. Makanya tak heran kalau sehari ia bisa menghabiskan 6 kilogram mi. Padahal dalam tiap mangkuk mi yang dibutuhkan pun cuma setumpuk kecil.


LUMPIA SEMARANG

Coba Anda keliling dalam kota Semarang. Di tiap pelosok pasti ada 1 atau 2 tukang lunpia (nama sebenarnya adalah lunpia, tetapi karena masyarakat sering menyebutnya lumpia, maka sebutan lumpialah yang populer kemudian). Tetapi lumpia yang paling laris adalah lumpia Mbak Lien yang terletak di Jl. Pemuda dan lumpia Gang Lombok di daerah pecinan.

Meski lumpia keduanya berbeda, ternyata keduanya masih memiliki hubungan keluarga. "Kami sama-sama keturunan Tjoa Thay You yang sudah berdagang lumpia sejak tahun 1920," kisah Iriani, pemilik warung lumpia Mbak Lien. Di balik hidangan ini, terselip cerita unik. Konon, kata Iriani, pemuda Tjoa saat pertama kali membuka kedai lumpianya mendapat saingan dari gadis Jawa, Wasi, yang juga berjualan lumpia. Yang satu lumpianya bergaya Cina, sementara lumpia buatan Wasi manis rasanya sesuai lidah Jawa.

Bukannya malah saling bersaing dan bermusuhan, keduanya malah jatuh cinta dan meleburkan usaha mereka dalam lumpia baru yang punya cita rasa agak manis.

Di warung Iriani tersedia 3 macam lumpia, spesial, ayam, dan udang. Yang spesial berisi rebung, udang, telur, dan ayam. Anda bisa memesan lumpia basah maupun kering. Keduanya dalam ukuran yang relatif besar.

Setiap hari Lien, nama panggilannya bisa menghabiskan 2 kuintal rebung. "Tapi rebung saya pilihan, lo. Saya cuma mau rebung dari bambu ampel dan bambu petung. Karena keduanya lembut dan enak," tutur Lien.

Masih ada lagi rahasianya yakni mengenali musim. Karakteristik rebung, jelas Lien berbeda saat musim kemarau dan musim hujan. Nah, ini mempengaruhi penambahan gula. "Ada rebung yang tidak berani gula, Ada juga yang malah tambah enak kalau dibubuhi gula," imbuhnya.

Kualitas bahan juga turut mempengaruhi kelezatan sebuah lumpia. "Makanya saya selalu memilih bahan nomor 1 walaupun harganya mahal," tegas Lien yang menjual lumpianya seharga Rp 2.300- Rp 2.900.

Lain lagi dengan lumpia Gang Lombok, milik paman Lien. Ia tidak mengutamakan rebung, tetapi udang dan telur. "Saya cuma menyempurnakan resep," kata Purnomo Usodo (60), sang pemilik. Lumpia tersebut dijualnya Rp 2.500. Sehari ia bisa menjual 500 buah lumpia. Selain mutu isi lumpia, Purnomo menyebut faktor kulit lumpia juga pegang peran penting. "Kulit lumpia harus kenyal dan tidak mudah sobek. Apalagi untuk lumpia basah yang bisa bertahan sampai 5 hari di dalam kulkas," jelas Purnomo.

Lumpia keluarga Tjoa ini bisa ditemukan di jl. Pandanaran, jl. Sultan Agung, Jl. Mataram, Jl. Pemuda, dan Gang Lombok. "Di luar itu, bukan keluarga kami," ujar Mbak Lien.


TAHU PONG
 
Sesuai namanya tahu ini kopong dan kosong di bagian tengahnya. Tahu ini disajikan dengan nasi hangat, petis yang sudah dicampur kecap, bawang putih, dan acar ketimun. Tetapi di kedai milik Miharto (57) di Jl. Gajah Mada Semarang disediakan juga bentuk lainnya seperti tahu pong gimbal, tahu pong telur, atau tahu pong gimbal telur. Gimbal adalah sejenis bakwan udang.

Untuk menjaga rasa tahu pong, Miharto tetap menggunakan tahu dari daerah Pragen, yang sejak dulu digunakan oleh ibunya. �Lebih halus dan mengembang jika digoreng," ujarnya.

Dalam satu hari ia bisa menghabiskan 100 tahu emplek (tahu ukuran 10 x 10 cm yang kemudian dipotong kecil saat akan digoreng). Untuk menambah semarak jualannya, Miharto yang sudah berjualan tahu pong selama 27 tahun ini juga menyediakan acar lobak. Acar ini tersaji dalam bentuk parutan tipis yang rasanya manis segar. "Pas sekali dimakan bersama tahu pong," ujar Sapto, karyawan swasta yang tengah makan siang di situ.


WINGKO BABAT

 
Wingko pasti bukan makanan asing buat Anda. Kue pipih putih yang rasanya kenyal ini biasanya dijual dalam amplop kertas bergambar kereta api. Nah, di Semarang kudapan ringan ini tersebar di mana-mana. Tetapi kalau Anda bertanya di mana sebaiknya membeli wingko, dengan serta-merta orang yang ditanya akan mengarahkan Anda ke Jl. Cendrawasih. Di sini memang ada sebuah toko yang sekaligus jadi pabrik pembuatan wingko. Pemiliknya adalah keluarga Sinata. "Ini usaha turun-temurun dari nenek saya, Loe Soe Liang sejak tahun 1958," tutur Ny. Sinata yang mengeluarkan wingkonya dengan merek Kereta Api D. Mulyono.

Selain di tokonya sendiri, wingkonya bisa ditemukan di toko-toko lain yang menjual oleh-oleh khas Semarang. Tetapi karena takut mengeras, Sinata tidak berani menjualnya di banyak toko. "Maklumlah kue ini cuma bertahan 5 hari," jelasnya.

Harga wingko per buah antara Rp 900 - Rp1.400, tergantung dari rasanya. "Yang rasa durian lebih mahal," kata Sinata yang juga mengeluarkan wingko rasa nangka pisang, dan cokelat. Harga ini sama di setiap toko. "Karena kami sudah memberi diskon pada toko."


TAHU GIMBAL
 
Tahu gimbal sebenarnya masih kerabat jauh tahu pong. Makanan ini terdiri dari irisan lontong, tahu biasa yang digoreng, irisan gimbal, kol, dan taoge. Kemudian disiram bumbu yang terdiri dari bawang putih, kacang tanah, cabe, petis, serta air gula. Terakhir diberi sepotong telur mata sapi yang diiris-iris, lalu disiram kecap.

Makanan ini dijual secara berkeliling dengan harga Rp. 3.000 per porsi. Tetapi ada juga beberapa pedagang yang mangkal di Simpang Lima. Winarsih (33), salah satunya. Ia sudah berjualan tahu gimbal 6 tahun di persimpangan Jl. Pandanaran dan Jl. Gajah Mada, di depan Masjid Raya Baiturrahman.

"Dulu sebelum krismon saya bisa menghabiskan 1 peti telur, tetapi sekarang ramainya cuma malam Minggu saja," kata Winarsih. Namun seperti jajanan lain di Semarang, tahu gimbal termasuk yang disukai masyarakat Semarang.


SOTO BANGKONG 

Mendengar namanya banyak orang mengira soto ini terbuat dari daging kodok. "Bangkong memang artinya kodok," ujar H. Soleh Sukarno, pemilik Warung Soto Bangkong yang terletak tepat di samping Kantor Pos Bangkong, jl. MT Haryono. Konon nama ini muncul karena kawasan tersebut tadinya berupa sawah luas dan banyak kodoknya.

Sudah sejak tahun 1950 ia berjualan soto bangkong. "Tetapi dulu namanya belum soto bangkong," ujarnya. Nama Soto Bangkong mulai digunakan tahun 1960. "Soalnya orang yang mau membeli soto saya selalu menyebut soto bangkong, jadi, ya, saya gunakan saja," jelas pria yang tampak segar di usia 80 tahun ini.

Soto bangkong dihidangkan dalam mangkok berisi nasi, bihun, taoge, irisan telor rebus, bawang daun, dan daging ayam. Tentu dilengkapi kuah soto yang gurih. Sebagai temannya, Anda bisa menambahkan sate ayam, sate kerang, sate telur puyuh, tahu, tempe, serta perkedel kentang. Harganya cuma Rp. 2.500 semangkok.

Sehari pria asli Semarang ini membutuhkan 50 ekor ayam kampung. Ayam ini langsung dimasak oleh sang istri, Hj. Musinah (70). Soleh sendiri sehari-hari masih melayani pembeli. "Karena kata para pembeli, racikan saya lebih sedap," kata Soleh bangga.

Biasanya ia dan istrinya meracik soto seusai salat subuh. Waktu mereka buka sejak pukul 07.00 hingga pukul 13.00. "Setelah itu kami istirahat dan baru buka kembali pukul 15.00 hingga pukul 22.00," jelas Soleh.

Usaha soto bangkong ini kini menyebar di berbagai kota di Indonesia seperti Surabaya, Jakarta, dan Bandung. "Anak sayalah yang mengembangkannya".




BANDENG DURI LUNAK DAN AYAM TULANG LUNAK
 
Inilah satu keajaiban olahan bandeng. Bandeng diproses dalam pressure cooker hingga durinya lunak dan bisa disantap. Tetapi ajaibnya daging ikan tetap utuh dan keras, tidak hancur. Salah satu bandeng duri lunak yang cukup top di Semarang adalah Bandeng Presto, milik Agus Pradekso (65), letaknya di Jl. Pandanaran.

Awalnya, menurut Agus, cuma karena kegemaran sang istri membuat pindang bandeng. Suatu ketika,Agus membelikan Hana, sang istri panci tekan bermerk Presto. Hana pun lalu mencoba membuat pindang dengan panci itu. Ajaibnya, bukan cuma dagingnya yang empuk, tetapi juga tulang-tulangnya.

Pindang ini lalu ditawarkan pada rekan-rekannya. Tak dinyana, banyak yang menyukainya. Agus pun memutuskan untuk membuatnya sebagai usaha di rumahnya Jl. Pandanaran no. 33. Semakin lama usahanya meningkat sehingga ia memutuskan pindah ke tempat yang lebih besar di jl. Pandanaran 67-69, tepat di persimpangan jl. Pandanaran dan jl. Kyai Saleh.

Selain bandeng duri lunak, tersedia juga bandeng isi (otak-otak bandeng), dan pepes bandeng. Semuanya tetap dilunakkan hingga durinya bisa disantap.

Tiap jenis bandeng bisa bertahan sampai 2 hari dalam kemasan biasa dan 5 hari dalam kemasan kedap udara. "Tetapi yang dibungkus kedap udara harganya lebih mahal Rp 5.000," kata Agus yang menjual bandengnya seharga Rp 30 ribu per kilo ini.

Untuk meningkatkan kualitas rasa, sudah 5 tahun ini Agus menggunakan teknologi steam boiler. Panci ini bisa memuat 50 kilogram bandeng sekali produksi. "Hasilnya lebih empuk dan bersih," ujar Agus yang mampu menjual 50 kilogram bandeng per harinya.

Tak cuma bandeng duri lunak yang kini bertebaran di Jl. Pandanaran. Sekarang Ayam tulang lunak pun marak di situ. Harganya sekitar Rp 25 - Rp 30 ribu per ayamnya. Setelah di rebus dalam steam boiler, ayam dilumuri tepung dan digoreng. Tentu penemuan ini pun pantas dikagumi karena seperti bandeng juga, meski tulangnya lunak, daging ayam tetap utuh dan tidak hancur.


TEH POCI
 
Sudah tiga tahun terakhir ini di Simpang Lima digelar warung lesehan teh poci. "Dulu kan ngetren kafe, hingga kami tertarik mencoba lebih sederhana," ujar Wasto (37 th), yang sudah 2 tahun membuka lesehan teh poci.

Setiap pengunjung yang memesan teh mendapat 1 poci teh tubruk dan cangkir-cangkir tanah liat yang berisi gula batu. Selain menyediakan aneka gorengan dan mi rebus, tak jarang penjual nasi liwet bakul ikut bergabung di warung yang dibuka mulai pukul 17.00 hingga pukul 04.00 subuh ini. Banyak muda-mudi yang gemar lesehan di sini. Sambil menyantap hidangan ringan dan tentu saja sambil mengobrol seru.
Miftakh Faried

http://www.sedap-sekejap.com/artikel/2000/edisi3/files/jalan2.htm/
Soto Bangkong Tahu Pong Semarang Nasi Liwet dg lauknya
My Favorite Sites
My Link
The History from Semarang on Photos, Film, Sound etc. SEMARANG DALAM FOTO, HISTORIE VAN SEMARANG OP FOTO'S, Java, Indonesia, Indie ...

http://www.semarang.nl/
Ayo Jajan
Objek Wisata di Semarang
Pemerintah Daerah Semarang
Hosted by www.Geocities.ws

1