Home > Artikel > How Linux Will Win

How Linux Will Win

Catatan dari Seminar Nasional Linux 2001 UAD

Mengikuti Seminar Nasional Linux 2001 OSCA di UAD tanggal 3 November 2001 ternyata mengejutkan, terutama bagi penulis yang baru pertama kali seumur hidup ikut seminar. Pertama, karena peserta yang begitu membludak, konon mencapai angka 250 orang, kejutan kedua, kala listrik tiba-tiba padam di tengah-tengah acara, dan kejutan ketiga, karena hanya 10 % dari peserta (termasuk penulis) yang nekad mengaku pernah menginstal dan mengoprek Linux. Entah yang lain agak malu-malu untuk mengaku, atau memang mereka datang ke seminar karena ongkosnya relatif sangat murah (untuk kantong mahasiswa) atau memang diundang secara resmi (dari perwakilan PT lain alias abidin [atas biaya dinas]) atau sekadar pengin dapat sertifikat plus makan siang :)

Namun kejutan terbesar tentu saja karena tema yang disodorkan, yaitu OSCA (Open Source Campus Agreement) malah justru tidak disinggung-singgung sama sekali secara literal dan legal. Yang terjadi adalah lebih cenderung pada sosialisasi Linux itu sendiri, selain pengantar mengenai HaKI. Namun setidaknya bagi penulis, membangkitkan kembali spirit ber-Linux yang sempat turun gara-gara kenyataan bahwa sulit sekali menemukan komunitas Linux yang kondusif di Yogya, atau di Indonesia. Dan lebih sulit lagi menemukan even-even Linux berkualitas dengan harga terjangkau. ng ditampilkan, tersibak beberapa fakta mengejutkan, bahwasanya pemerintah melalui BPPT telah berinisiatif untuk memasyarakatkan Linux dan open source ke tengah masyarakat melalui P2LBI. Artinya, Indonesia akan menjadikan Linux sebagai sistem operasi nasional! Entah apakah rencana ini sudah cukup menggemparkan komunitas IT, khususnya komunitas Linux di dunia seperti halnya ketika Cina melakukan hal yang sama. Seingat penulis, waktu itu banyak posting di Slashdot yang berisi pro kontra masalah ini. Yang kontra mempermasalahkan pelanggaran HAM di Cina, salah satu posting malah menyinggung Indonesia sebagai contoh lain pelanggar HAM terbesar, yang dengan demikian tidak berhak menggunakan Linux. Ironis, mengingat open source, khususnya free software movement, justru dibuat untuk menghapus diskriminasi akses teknologi bagi negara-negara miskin untuk mengurangi kesenjangan. Justru di saat mulai menampakkan keberhasilannya (ingat, penduduk Cina itu 2 miliar!), malah dihalang-halangi. Mudah-mudahan itu tidak mewakili pandangan komunitas Linux pada umumnya.

Kalau Linux sudah dijadikan gerakan nasional di dua dari empat negara berpenduduk terbesar di dunia, maka apa artinya bagi dunia IT, khususnya Linux ? Sudah pasti dominasi dunia ! Karena harga perangkat keras relatif terjangkau, dan potensi pasar yang besar manjadikan populasi Linux akan meledak dalam sepuluh tahun ke depan saat penyebaran Linux di dua negara ini (Cina dan Indonesia) telah merata, dan ekonomi kedua negara semakin membaik (semoga). Jadi, dominasi dunia bagi Linux (dan open source software) bukanlah omong kosong (lihat tulisan mengenai Ngoprek, Linux, dan Dominasi Dunia). Secara logika, hal ini tidak mustahil, karena di sisi lain pemasyarakatan HaKI dan pemberantasan pembajakan akan mencapai keberhasilan yang signifikan. Ini sekaligus menjelaskan mengapa di negara-negara miskin pemberantasan pembajakan software dilakukan oleh komunitas open source alih-alih BSA, sebagai wakil produsen software komersial (dan proprietary). Jadi open source software digunakan di negara maju karena kesadaran akan HaKI dan kemampuan menilai kinerja software (atau memang maunya ngirit), sedangkan di negara miskin karena tidak mampu beli lisensi software komersial.

Jadi, tindakan Microsoft (USA) yang menuntut lima vendor komputer lokal (dan menang) justru menguntungkan kita, untuk segera mencari alternatif yang lebih menguntungkan dan halal. Hal lain yang menggelitik penulis adalah soal permusuhan Microsoft dan open source, khususnya Linux. Disebutkan bahwa sebenarnya dengan beralih ke Linux pun, Microsoft masih berpeluang berjaya, misalnya dengan merilis MS Office for Linux yang penulis yakin banyak yang bersedia beralih ke Linux sesegera mungkin, apalagi kalau dirilis distro MS Linux. Dengan sumber daya dan kemauan keras Microsoft pasti bisa bersaing di pasar Linux (ingat kasus Internet Explorer yang mempecundangi Netscape ?). Namun masalahnya di sini adalah dominasi yang hilang, masalah harga diri (seperti judul sinetron saja...) pihak manajemen Microsoft yang membuat sikap permusuhan itu yang mengemuka. Pasar Linux sangat terbuka untuk dimasuki siapa saja, termasuk Microsoft, di lain pihak adalah tidak mungkin Microsoft membuat produk yang tertutup dan dominan di pasar Linux, karena selalu ada alternatif lain. Dengan kata lain, hampir mustahil Microsoft dapat mendominasi pasar Linux seperti yang dilakukan Windows.

Artikel Terkait

back to index


Homepage ini seisinya © 2002-2007 oleh Imam Indra Prayudi 1 1