Ku teteskan air mata rindu yang mengalir seakan tak mau berhenti meluncur di pipiku. Ketika, aku menatap dalam-dalam, gambar-gambar buram yang kian kusam dalam album yang berwarna hitam jelaga. Ku sentuh gambar-gambar itu dengan jari telunjukku secara perlahan-lahan, dengan menggunakan perasaan yang semakin tak karuan. Semakin ku resapi kerinduan itu, semakin deras aliran air di pipiku. Aku rindu akan pelukan seorang wanita perkasa yang telah rela berjuang antara hidup dan matinya hanya untuk melahirkan seorang anak seperti aku. Aku selalu bertanya dalam hati kecil ku yang paling dalam, mengapa aku tak bisa membenci beliau yang sering memarahiku, bertindak kasar padaku sampai-sampai pernah pada suatu hari, darah pun mengalir dari lubang hidungku. Karena, benturan keras yang kualami ketika beliau menghentakkan kepalaku ke lututku.

               Ketika sedang menonton acara telivisi yang membuatku terlarut dalam kegembiraan dan membuat ku tertawa sampai terpingkal-pingkal seakan-akan seluruh badanku digelitik olehnya, dan aku berhasrat tak mau meninggalkan moment itu. Tiba-tiba saja, seorang wanita yang hampir setengah abad dengan kain berwarna cokelat, bercorak batik yang dililitkan di pinggangnya, memanggilku dengan suara lantang yang menggelegar dan membuat perasaan bahagiaku sekonyong-konyong menghilang dari hatiku, karena firasatku berkata sesuatu yang buruk akan terjadi.

 

               “Viaaaa, viiiiiiiiaaaaa ! Sudah nyuci piring belum ? Ini sudah hampir Maghrib, nak ! Apa yang kamu lakukan dari tadi ? Hanya tertawa-tawa tak jelas ! Ayo cuci piring sana !.” Ujar ibuku. “Nanti aaah !! tanggung nih bu, sebentar lagi juga habis ni program televisinya !!” Ujar ku dengan suara yang lantang, seakan menyaingi suara Ibuku tadi. Lalu ibuku langsung datang menghampiriku dan dengan sigap tangannya yang kekar merebut remote dari tanganku. Lalu, di tekannya tombol bulat merah dan akhirnya tontonan yang membuat ku tertawa itu pun, dalam waktu sekejap menghilang dari layar televisiku.

 

               Aku geram, aku marah, aku menggerutu dalam hatiku. Sungguh aku merasa dongkol dengan kelakuan seorang wanita yang telah melahirkan aku itu. Aku pun bergegas berjalan ke tempat dimana banyak sekali piring-piring, gelas, cangkir, dan peralatan memasak yang sangat kotor. Langsung saja tanganku mengambil sabun colek untuk membersihkan barang-barang yang amat kotor itu. Pada saat aku menatap piring yang berbentuk bulat, langsung saja otakku membayangkan muka Ibuku, lalu mulailah datang kembali pikiran yang negatif dan membuat hatiku kembali geram dan malah lebih geram dari sebelumnya. Dan langsung spontan saja bibirku mengeluarkan kata-kata kasar yang mengekspresikan kekesalan. Aku tahu, nada suara yang ku gunakan dan kata-kata yang ku keluarkan memanglah kasar. Tetapi, mau bagaimana lagi ? Aku sudah terlanjur, melontarkan kata-kata itu dan kata-kata itu terus ku ulang sampai aku merasa puas.

 

               Tanpa aku ketahui, tiba-tiba saja Ibuku sudah berada ditempat yang sama denganku. Lalu, dengan tangannya yang kuat dan kekar itu, dihentakkannyalah kepalaku kearah lututku sendiri. Spontan saja aku menjerit, karena benturan yang kurasa itu amatlah kuat. Ternyata perasaanku memang benar, benturan itu menyebabkan hidungku megeluarkan darah yang mengalir, dan tetes demi tetes darah itupun jatuh di lututku. Sungguh aku kaget dan merasa takut, mengapa Ibuku sendiri sampai teganya melakukan hal itu padaku. Dan anehnya, Ibuku malah langsung pergi tanpa menanyakan Sakit nak ? maaf sayang, Ibu tidak bermaksud seperti itu. Sungguh pada saat itu aku berpikir bahwa Ibuku adalah Ibu kandung yang paling kejam daripada seorang Ibu tiri.

 

               Selang beberapa jam dari kejadian itu, aku pun hanya berdiam diri dirumah tanpa menegur Ibuku sendiri. Yaa apabila mau dibilang jujur, sungguh aku kesal dengan perbuatan itu. Aku hanya bisa menangis dan menangis dikamarku. Suaraku yang melengking menggemparkan seisi ruang kamarku, sampai-sampai kucing peliharaanku sendiri terus mengeong, seakan berbicara padaku Mengapa kau menangis ? Berhentilah, percuma saja kau teteskan beratus-ratus air mata. Percuma .. Walaupun, kucing tercintaku itu terus mengeong, aku tetap bersikap acuh saja dan terus menangis. Sampai-sampai akhirnya, aku pun terlelap dengan posisi memeluk bantal guling kesayanganku yang berwarna merah marun.

 

 

               Yaah, kejadian itu tidak pernah terlepas dari ingatanku. Itu bukan karena kejadian tersebut telah menyebabkan cidera didiriku. Tapi, karena aku sadar akan apa maksud dari tindakan Ibunda tercintaku itu. Dia ingin mendidikku dengan cara yang keras. Karena, Ibuku menyadari bahwa sifatku memang susah diatur, apabila di peringati dengan cara yang lembut dan halus.

 

               Ku buka lagi lembaran demi lembaran album poto itu. Sampai akhirnya, aku melihat potoku bersama Ibuku di sekolahku semasa aku SMA dulu. Dan ada juga poto kami berdua yang sedang menikmati indahnya kerlap-kerlip jembatan ampera pada saat datangnya gelap. Tanpa aku sadari aliran air mata di pipiku perlahan-lahan berhenti, dan digantikan dengan ukiran senyum kecil di bibirku sembari menahan tawa.

           

               Awalnya aku tak percaya, aku bisa bersekolah di sebuah Sekolah Menegah Atas Bertaraf Internasional yang berlokasi di Palembang. Bukan hanya aku saja yang tidak percaya akan hal ini, Ibuku adalah salah satu orang yang merasa “Wah” dan menaruh perasaan bangga yang besar kepadaku, anak sulungnya. Sampai-sampai seluruh perlengkapan yang aku butuhkan untuk merantau nan jauh dari kampung halaman tercinta telah dipersiapkan satu bulan sebelum aku pergi untuk menuntut ilmu di sekolah yang beken tersebut. Dan bukan hanya itu, Ibuku juga rela menyisihkan waktunya untuk menghantarkan aku ke Palembang. Aku sangat memberikan apresiasi yang sangat besar kepada Ibuku akan hal itu. Karena aku tahu, Ibuku sedang tidak mempunyai uang yang cukup untuk membiayai ongkos kami untuk pergi ke Palembang.

 

Pada saat kami berdua telah tiba dikota Palembang. Kami sama sekali tidak menyangka bahwa si sopir mobil travel yang kami naiki, tidak mau menghantarkan kami ketempat tujuan. Rasa jengkel dan panik pun mulai mewarnai pikiranku.

 

               Kami pun di turunkan di loket mereka, dan mereka menyarankan kepada kami agar kami menaiki mobil Trans Musi saja. Dan kami pun hanya mengiyakan saja. Bagaimana tidak mengiyakan ? Itu kami lakukan karena kami tidak tahu jalan. Lalu, kami pun menaiki becak untuk menyebrang, karena jarak halte Trans Musi dan loket yang harus menyebrangi jalan raya besar, dan di dukung juga dengan keadaan kami yang membawa banyak barang dan berat.

 

Dan pada saat kami di halte, lalu datanglah mobil Trans Musi dan kami pun langsung saja naik. Sang petugas pun bertanya, “Mau kemana, Dek ? Bu ?” “Mau ke Jakabaring, Pak” Jawab Ibuku dengan spontan. “Ha? Jakabaring ? Maaf bu, Ibu salah jurusan. Mobil Trans Musi ini tidak menuju daerah Jakabaring. Mobil TM yang lain yang seharusnya Ibu pilih”. Aku pun terkejut, Ha? Dua kali ? Dua kali salah pilih kendaraan ? Bagaimana ini ?. Lalu, pada saat Bus Trans Musi itu berhenti di halte selanjutnya, kami pun langsung turun untuk melanjutkan perjalanan.

 

Aku semakin dongkol dengan keadaan yang aku alami. Ya Allah, apabila ini memang benar jalan takdir hidupku, tolong berikanlah pencerahan kepada hamba-Mu ini Ya Allah. Itulah do’a yang ku ucapkan didalam hati selama perjalanan sembari mendorong koper, dan menggendong tas jinjing yang besarnya tak kalah dari koper yang kubawa. Namun, mataku langsung tertuju pada raut wajah Ibuku yang terlihat lebih merasakan penat yang sangat berat di bandingkan aku. Tetapi, tetap saja beliau menorehkan rasa damai untuk diriku dengan menggunakan senyuman manis yang tersungging di bibirnya. Setelah bertanya kesana kesini, akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan dengan naik mobil angkot jurusan pasar induk Jakabaring. Dan sekitar dua puluh menit perjalanan, akhirnya kami pun sampai di SMA yang kujadikan tempat menuntut ilmu selama tiga tahun.

           

Di saat aku ingin membuka halaman album poto selanjutnya, telepon genggamku pun berbunyi. Ternyata ada panggilan dari rumah sakit. Setelah pembicaraan di telepon berakhir, aku pun bergegas pergi menuju rumah sakit dengan album yang masih berada di dekapanku. Disepanjang perjalanan,  timbul sosok Ibu yang perkasa di benakku dan dihatiku. Bu, sebagai salah satu wujud dari cintaku padamu. Kini, aku akan membantu seorang wanita yang sedang menunggu bantuanku dirumah sakit, untuk melahirkan malaikat kecil yang lucu nan indah ke dunia ini.

              

 

 

ALBUM

 

 

 

 

 

 

 

 

ANALISA SWOT

ANALISA RESIKO

ANALISA PEMASARAN

ALBUM

PARAGRAF (CONTOH)

OTHERS

PILIHAN LAINNYA :)

 

 
  TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

 
 Large Rainbow Pointer