Apr 17

tinta manis di asrama

Posted By: erick setiyawan

Sudah hampir tiga bulan ini, aku berada dalam sebuah tempat yang sangat aku dambakan sejak dahulu. Tempat yang menurutku adalah tempat terasing yang belum pernah aku kenal sebelumnya, tempat ini adalah tempat baru untuk menitih sebuah kehidupan baru bagiku. Aku datang kesini hanya dengan bermodalkan ilmu, dan  beberapa potong kain saja. Gedung-gedung yang mencakar langit menjadi pemandangan sehari-hari.

Aku adalah seorang anak dari orang yang tak mampu, bapakku yang hanya seorang petani padi biasa dan ibuku sebagai ibu rumah tangga. Kami hidup sederhana di sebuah kampung kecil di pelosok Musi Rawas nan jauh  sana. Sebelumnya aku tak menyangka bisa sampai kesini, sebuah surat kecillah yang membuat aku bisa berada di sini. Tapi dengan tekat yang kuat aku datang ke tempat ini untuk menggapai sebuah cita-cita.

Pertama kali aku menginjakan kakiku disini, aku langsung di suguhkan dengan sambutan kakak senior yang penuh taburan senyum manis padaku. Tak perlu waktu lama, aku langsung berbaring di sebuah kasur empuk. Rasa letih silih berganti dengan perasaan yang penuh bahagia. Aku tidak percaya kalau malam itu begitu cepat rasanya. Malam itupun berakhir dengan mimpi yang indah, aku baru sadar kalau mimpi itu karena kasur yang empuk, hehehe tawaku dalam hati.

Pagi yang cerah itu membuat aku langsung bergegas untuk mandi. Meskipun dinginnya pagi itu membuat ngilu gigiku dan badan yang terus menggigil, aku tetap menyiramkan air itu pada seluruh tubuhku. Aku heran kenapa air disini begitu dingin di bandingkan dengan air di kampungku, padahal di kampungku dekat dengan perbukitan. Begitu selesai mandi, aku langsung pergi kedepan gedung. Aku tidak tahu aku mau kemana, aku hanya mengikuti langkah kaki ku.

Hei.. terdengar suara yang memanggilku, tapi aku tidak tahu siapa yang memanggilku. Aku pun langsung mencari sumber suara itu.

Ternyata suara itu berasal dari seseorang yang sedang berdiri di samping tiang teras gedung. Aku pun langsung mendekatinya.

Hey..siapa namamu? kataku padanya sambil menjabat tangannya.

Hey juga, namaku Agung Kurniawan. Siapa namamu? katanya.

Ow, namaku  Erick Setiyawan sautku untuk memulai perbincangan pada hari itu dengannya.

Kamu berasal dari mana? katanya padaku.

Aku berasal dari Musi Rawas,bagaimana dengan kamu? jawabku.

Dari Muara Enim, katanya padaku.

Dia adalah seorang anak dari keluarga yang mampu, ayahnya seorang direktur dan ibunya yang bernama Siti Muslimah, mempunyai pekerjaan sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, tepatnya seorang principle dari SMA ternama di Palembang. Dari perbincangan pertama dengannya aku sudah tahu banyak hal darinya.

***

Tepat hari Senin, yaitu hari pertama aku masuk sekolah di SMA ini, awalnya aku masih canggung dengan suasana di dalam kelas. Hal ini terjadi mungkin karena aku belum kenal dengan teman-teman.

Selamat pagi? kata seseorang yang berpakaian rapi masuk dalam kelas.

Pagi... jawab kami padanya.

Perkenalkan nama saya Hastuni Wahyuningsih, tapi kalian bisa panggil saya Bu Wahyu, katanya sambil meletakan bukunya di atas meja.

Ternyata dia adalah seorang guru Bahasa Indonesia di kelas sekaligus sebagai wali kelas kami. Orangnya sangat ramah tapi aku masih canggung dengan penampilannya sangat elegan buatku. Hari itu tidak terasa begitu cepat berlalu, padahal aku masih perlu adaptasi dengan keadaan dalam kelas.

Erick, kenapa kamu belum pulang? kata seorang sahabatku.

Aku masih canggung dengan keadaan kelas kita, jawabku.

Kenapa? sautnya lagi.

Kamu masih ingat tidak tentang Bu Wahyu tadi? jawabku lagi.

Iya, emangnya kenapa? katanya.

Aku heran kenapa penampilan Bu Wahyu begitu elegan ya? Padahal kan badannya agak lebar. Jawabku sambil tertawa tidak sengaja.

Huss..! Tapi dia punya kelebihan lain, lihat aja apa kata-katanya tadi dengan kita di dalam kelas. Kata-katanya sangat penting, kata-katanya telah membuatku bersemangat untuk belajar dengannya.  Jelasnya padaku.

Hal itu terjadi berulang-ulang dengan pertanyaan yang berbeda, hingga aku hampir melupakan sholat ashar. Untung saja ada seorang teman yang mengingatkan hal itu padaku, namanya sangat mudah untuk di ingat, Camelia Natasyari. Dia adalah satu-satunya cewek yang pertama kali memperkenalkan namanya di depanku. Aku merasa nyaman dengannya, selain ramah dan pintar, dia juga mempunyai paras yang cantik.

Pulang yuk? kataku untuk mengakhiri perbincanganku dengannya.

Yuk, aku juga belum nyuci pakaian, selain itu aku juga belum ngerjai tugas yang di berikan Bu Wahyu tadi,  jawabnya.

Betul itu.. saut Camelia.

Kami pun pulang menuju dorm masing-masing. Dengan hati yang geriang, aku melangkahkan kakiku seperti nada berirama. Sesampainya di kamar aku langsung meletakkan bebanku dan bergegas untuk berbaring di tempat tidur untuk melepaskan penatku.

Kenapa dek senyum-senyum seperti itu?  kata kakak senior yang sekamar denganku.

Haa..kakak sudah pulang dari tadi ya.. jawabku dengan kaget.

Belum, ya mungkin lima menit yang lalu, jawabnya.

Aku pun menceritakannya dengan terpaksa hal itu padanya, karena dia begitu memaksaku. Sehabisnya, dia malah tertawa terbahak-bahak sambil memukul pundakku dengan kerasnya. Aku heran kenapa dia malah tertawa, dan malah menyuruhku untuk sholat ashar lagi.

***

Tidak terasa enam hari telah berlalu, kini malam minggu telah datang. Aku begitu heran setelah melihat begitu ramainya kerumunan orang-orang di depan gedung. Ada yang bermain sepak bola, bulu tangkis, bahkan ada juga yang lagi ngobrol dengan berpasang-pasang. Aku pun berjalan keluar untuk memanggil Agung yang dormnya bersebelahan dengan kamarku. Kemudian kami berjalan-jalan mengikuti langkah kaki.

Kenapa kamu ngajak aku keluar? katanya sambil menggaruk- garuk kepalanya karena binggung.

Ya tidak apa-apa. Lihat aja kerumunan orang-orang di depan gedungku. Mereka begitu gembira kelihatannya. Kataku sambil menunjukkan kerumunan orang-orang itu.

Emang kenapa? tanyanya lagi.

Makanya ikut denganku, kataku sambil mempercepat langkah kaki.

Iya-iya, jawabnya dengan rasa penasaran.

Sesampainya di tempat itu, dia malah bergabung dengan mereka dan meninggalkan ku sendirian. Aku pun langsung mengambil tempat untuk menikmati rembulan, yang kebetulan sedang purnama pada malam itu. Berbaring dengan menulis kata-kata puisi sangat mengasyikan, sampai kini sudah hampir puluhan puisi pendek yang  aku hasilkan.

Hei..Erick , ngapain kamu tiduran di sini? katanya tiba-tiba.

Hehehe, tidak apa-apa sih. Jawabku sambil menyembunyikan puisiku.

Kamu tidak gabung sama mereka? katanya sambil menunjukkan kerumunan orang-orang itu.

Tidak! jawabku.

Kenapa? sautnya.

Tidak apa-apa, aku dari dulu enggak suka seperti itu, mendingan aku liatin bulan itu. Kamu mau ikut tidak? tanyaku.

Boleh juga itu. Jawabnya.

Itu apa? katanya.

Apaan? jawabku.

Itu..? katanya sambil menunjuk kertas putih yang berisi puisi-puisiku.

Aku pun bergegas untuk menutupinya, namun dia terlanjur meliahatnya dan berusaha untuk mengabilnya. Dengan perdebatan yang panjang, akhirnya aku memberikan kertas itu padanya.

Haha..katanya.

Itukan malah tertawa, kataku sambil tersipu malu.

Bagus banget puisi yang kamu buat ini, katanya lagi padaku.

Yang bener?. Bagus kok malah tertawa, kata ku sambil menutup mukaku.

Beneran, aku tidak bohong. Lihat aja kata-kata sangat tinggi maknanya. Bagaimana kalau puisi ini buat aku aja..!! Katanya padaku.

Ya, itu puisi boleh kamu ambil. Jawabku dengan bahagia.

Hampir tengah malam aku dan Camelia masih berbincang-bincang, padahal di luar tidak ada orang satupun selain kami berdua. Aku tidak menyadari kalau Camelia mempunyai sesuatu yang berbeda daripada yang lain, dia sempat melihat sesosok makhluk yang sedang berjalan melewati tempat kami. Aku pun merasa takut dengan keadaan itu, bulu tanganku berdiri semua. Lebih parahnya dengan Camelia, dia begitu ketakutan, hampir menangis tersengak-sengak malah. Aku pun langsung bergegas mamanggulnya pergi dari tempat itu.Sehabis hal itu, bukannya pulang ke kamar, aku malah tidur di kamar Agung yang berbeda gedung, aku sudah tidak punya nyali lagi untuk pulang ke kamar aku. Mungkin ini semua karena aku belum pernah sama sekali melihat hal-hal seperti itu. Aku berharap kejadian ini menjadi yang pertama dan terakhir dalam hidupku.

Satu bulan kemudian�.

            Hari-hari terasa begitu cepat, tidak di sangka graduation telah menanti kami. Untuk memeriahkan acara akbar ini, seluruh siswa khususnya grade XII berlatih untuk menampilkan sebuah drama asmatis untuk menghibur dan sekaligus sebagai kenang-kenangan terakhir yang bisa kami lakukan saat ini.

Hei, cepat lakukan perintah yang benar..! kata seseorang yang menatapku sisnis.

Kenapa? jawabku dengan lantang.

Suasana pun semakin menjadi, ketika Agung, seorang sahabatku malah memihak orang yang mempunyai tatapan mata yang sisnis itu, hatiku terasa bagaikan habis tergulung lantunan ombak pantai. Berkeping-keping hancur perlahan laksana bagai bunga mawar yang gugur karena tiupan angin. Hingga acara puncak pun tiba, status persahabatan aku dengan Agung masih berjalan hampa. Meskipun dia sempat menolehkan mukanya ketika kami berpapasan di pintu gerbang, namun hatiku masih saja merasa kesal dengannya. Hal ini pun masih terjadi ketika di atas panggung pementasan, kami melakukan tugas kami masing-masing. Namun itu hanya sekedar acting saja, karena sebenarnya di luar panggung hubungan kami masih berantakan. Kami melakukan itu semua demi para tamu yang hadir saat itu, khususnya kedua orang tua kami. Aku mengganggap itu merupakan kesalahan terbesar, karena aku telah melakukan suatu kegiatan tanpa ada rasa kebersamaan diantara kita.

Namun setelah acara selesai aku terkejut dengan suatu peristiwa yang membuatku menangis bahagia. Ternyata selama ini aku telah berprasangka buruk kepada Agung, dialah orang utama yang membuat terjadinya peristiwa itu. Dia telah membuat sesuatu yang spektakuler, aku lupa kalau hari itu bertepatan dengan hari lahirku. Selain dia, Camelia pun juga mengambil bagian, karena dialah yang merancang acara ini supaya berjalan dengan lancar. Sebuah kue manis hingga di mukaku. Dan tak lupa amisnya telur pun juga melekat pada tubuhku. Namun aku merasa bahagia. Emmmm�.meskipun tubuh terlumuti amisnya telur, aku tetap merayakan hari bersejarah itu bersama sahabat-sahabatku, Agung dan Camelia. Hubungan kami bagaikan bunga yang layu kemudian tersiram air hujan, perlahan-lahan tumbuh tunas baru. Itulah kisah persahabatan kami.